Mohon tunggu...
Oky Ade
Oky Ade Mohon Tunggu... -

Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Refleksi Pemungutan Suara Negeri Adikuasa (Part 1)

14 November 2016   07:32 Diperbarui: 14 November 2016   09:51 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

8 November 2016 kemarin menjadi puncak dari serangkaian pemilihan umum di Amerika Serikat. Warga negeri Paman Sam memadati tempat pemungutan suara untuk memilih orang-orang yang akan mengisi jabatan eksekutif dan legislatif baik di tingkat federal maupun lokal. Meskipun tanggal pemungutan suara telah dijadwalkan pada 8 november, beberapa negara bagian telah membuka pemungutan suara lebih awal (early voting) beberapa minggu sebelum hari H. Kedutaan Amerika Serikat di berbagai penjuru dunia pun menyediakan fasilitas early voting bagi warga Amerika Serikat yang berada di luar negeri. Hasil pemilu ini akan menentukan arah kebijakan Amerika Serikat selama 4 tahun (eksekutif) atau 2 tahun (legislatif) kedepan. Hasilnya, tidak terlalu mengejutkan, namun tidak pula sesuai perkiraan, di tingkat federal, berdasarkan hasil pemungutan suara, Partai Republik menyapu bersih kemenangan di Eksekutif dan legislatif.

Pemilu paling ketat dan keras sepanjang sejarah

Pemilu 8 November kemarin disebut-sebut sebagai pemilu paling ketat, bahkan keras dan “kasar” dalam sejarah Amerika Serikat. Hal tersebut sudah terlihat bahkan sejak masa nominasi calon presiden, baik dari partai Demokrat dan Republik, setiap calon sudah saling menyerang dengan keras satu sama lain. Mungkin kita masih ingat perseteruan antara Ted Cruz, John Kasich dan Marco Rubio dengan Donald Trump semasa Konvensi Partai Republik, serta Bernie Sanders dengan Hillary Clinton di Konvensi Partai Demokrat. 

Mereka lebih banyak mengejek pribadi satu sama lain, bahkan dengan nominee dari partai lain, daripada beradu program. Hal tersebut terus terjadi bahkan hingga konvensi berakhir dan partai telah menentukan calon mereka masing-masing. Ted Cruz misalnya, dia memilih untuk tidak mendukung Donald Trump sebagai Capres Amerika Serikat dari Partai Republik, meski mereka separtai dan hal tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. Biasanya ketika Partai telah menentukan calonnya, semua peserta konvensi akan kompak bersatu dan mendukung calon tersebut.

Hal yang sedikit berbeda terjadi pada konvensi partai Demokrat. Meskipun Hillary Clinton harus sedikit berjuang memenangkan konvensi dari lawannya Bernie Sanders, namun setelah konvensi selesai, keduanya sepakat untuk bersatu dan berkampanye bersama. Meskipun demikian, Konvensi Demokrat bukan tanpa masalah. Beberapa hari menjelang puncak konvensi, Wikileaks membocorkan surat elektronik petinggi partai Demokrat yang tampaknya lebih berpihak pada Hillary Clinton. Hal ini menjadi masalah serius karena berkaitan dengan independensi konvensi. Meski Bernie Sanders tetap mengakui kekalahannya dan bersatu dengan Hillary, namun hal tersebut tampaknya tidak berlaku bagi pendukung Sanders sehingga bisa jadi menjadi salah satu penyebab kekalahan Calon Presiden Wanita Pertama dari partai besar di Amerika Serikat itu.

Begitu kerasnya pemilu kali ini, hingga setiap kampanye tidak lepas dari saling ejek dan serangan terhadap pribadi masing-masing capres dari capres lainnya. Misalnya saja Donald Trump yang menyebut Hillary berbohong selama karir politiknya, termasuk soal skandal surat elektronik pribadi Clinton, serta penyerangan Kedubes Amerika Serikat di Benghazi Libya, dan berdirinya ISIS yang menurut Trump merupakan ciptaan Hillary semasa ia menjabat sebagai menteri luar negeri. Hillary pun demikian, ia menyebut Donald Trump anti demokrasi karena tidak menghargai perbedaan, skandal kata-kata kasarnya yang disebut melecehkan perempuan, serta berbahaya karena sikap Trump yang sering berubah-ubah, bisa memicu ketidakpastian dan menyulut Perang Dunia.

Berbagai sumpah serapah dan cemoohan yang muncul selama pemilu menyebabkan warga Amerika Serikat bahkan dunia disuguhi saling serang, baik dalam kampanye maupun debat yang berlangsung. Masing-masing calon presiden lebih sibuk untuk menangkis serangan dan cemoohan yang ditujukan kepadanya daripada menjabarkan kebijakan yang akan diambil apabila terpilih dan menjabat sebagai presiden Amerika Serikat ke-45. Beberapa kebijakan yang sempat terucap pada kampanye, Donald Trump mengenai pengetatan imigrasi, pemotongan pajak besar-besaran, serta renegosiasi perjanjian keamanan AS dengan negara sekutu. Adapun beberapa kebijakan yang pernah diucapkan Hillary diantaranya mengenai peningkatan pajak dan upah minimum, pemberlakuan zona larangan terbang di Suriah, serta pengetatan kepemilikan senjata api.

Hasil Pemilu tidak sesuai harapan, meski tidak terlalu mengejutkan

Kemenangan partai Republik memang sudah diprediksi banyak pihak, mengingat secara “tradisi”, biasanya setiap 8 tahun, meskipun tidak selalu, terutama pada jabatan eksekutif akan ada perubahan partai yang berkuasa. Jika Demokrat melalui Barack Obama telah menjadi penguasa selama 8 tahun, maka wajar jika pada pemilu ini dimenangkan Republik. Selain itu, partai Republik memang sering memenangi pemilu dengan kemenangan tipis. Berdasarkan hasil pemungutan suara,  Donald Trump dinyatakan terpilih sebagai presiden karena mencapai suara elektoral melampaui standar yang diperlukan untuk memenangkan pemilihan. Meskipun demikian, hal ini belum bisa dinyatakan resmi, karena untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan yang sebenarnya baru dilaksanakan pada pertengahan Desember dan dilakukan dengan sistem yang disebut “Electoral College”.

Perlu diketahui bahwa warga Amerika Serikat tidak secara langsung memilih Presiden, melainkan “Elector” yang merupakan utusan partai yang bukan anggota DPR maupun Senat di setiap negara bagian. Elector inilah yang kemudian memilih presiden dan wakil Presiden AS dalam suatu pertemuan yang disebut “Electoral College”. 

Namun, hampir dipastikan Elector tersebut akan memilih calon sesuai dengan partai yang mereka wakili. Belum pernah terjadi dalam sejarah ada Elector memilih calon selain dari partai yang mereka wakili, meskipun tercatat setidaknya dalam 3 kali pemilu, dan tahun ini akan jadi yang keempat kalinya calon dengan suara terbanyak tidak terpilih sebagai presiden karena kalah secara suara elektoral. Uniknya, keempat pemilu tersebut dimenangkan oleh partai Republik, jadi memang bisa dibuat istilah partai Republik adalah spesialis suara elektoral, istilah lainnya "Selected not Elected" (diucapkan Hillary Clinton menanggapi kemenangan George W. Bush atas Al Gore pada pemilu 2000).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun