Mohon tunggu...
Oky Ade
Oky Ade Mohon Tunggu... -

Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

71 Tahun PBB, Masih "Perkasa" Atau Telah "Renta"?

5 November 2016   12:41 Diperbarui: 5 November 2016   12:48 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanggal 24 Oktober lalu, menandai 71 tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai aktif bekerja setelah sebelumnya piagam PBB ditandatangani pada bulan Juni 1945. Selama puluhan tahun, badan internasional ini telah turut campur pada berbagai masalah di seluruh penjuru dunia, mulai dari konflik, bencana, maupun peristiwa kriminal luar biasa. Meskipun demikian, terdapat perbedaan pendapat apakah PBB benar-benar mampu melaksanakan fungsinya setelah lebih dari tujuh dekade berdiri.

Berawal dari Impian Perdamaian Abadi

Lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak terlepas dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB), lembaga internasional yang ada setelah perang dunia I (1914-1918) hingga menjelang berakhirnya Perang Dunia II pada 1945. Jika diamati sekilas, kedua lembaga tersebut memiliki kemiripan sebagai sebuah lembaga internasional penjaga perdamaian. Liga Bangsa-Bangsa kemudian dibubarkan karena dianggap gagal menjaga perdamaian dunia. Fungsinya kemudian digantikan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa hingga saat ini. Namun, apakah PBB mampu menjalankan tugas yang tidak mampu dijalankan pendahulunya?

Jika melihat usia PBB saat ini, setidaknya PBB berumur jauh lebih lama dari LBB. Meskipun hal ini tidak bisa menjadi ukuran yang benar-benar valid tentang keberhasilan PBB dibanding LBB, setidaknya hingga saat ini, dengan tidak terjadi Perang Dunia III bisa dikatakan PBB lebih baik dari LBB yang tidak mampu menjaga dunia dari perang besar. Meski tidak dapat dipungkiri berbagai konflik besar juga terjadi pada masa berjalannya PBB, namun mayoritas konflik tersebut mampu diselesaikan dengan baik tanpa meninggalkan dampak yang besar. 

Kita tentu masih ingat saat PBB membentuk UNCI (United Nations Commisions for Indonesia) sekitar tahun 1947 pada masa perang kemerdekaan Indonesia serta UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) pada 1962-1963. Lembaga ini berperan besar dalam membantu bangsa kita dalam mempertahankan kemerdekaan hingga mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda pada 1949 serta pengembalian Papua pada Indonesia pada 1963. 

Hal tersebut perlu mendapat apresiasi, karena hal tersebut menunjukkan kepedulian PBB akan bangsa yang terjajah dan memperjuangkan kebebasan bangsanya. Hal ini merupakan salah satu contoh fungsi PBB yang tidak hanya pasif, namun aktif dalam melakukan intervensi dalam menjaga perdamaian dunia.

Kemudian, PBB memiliki pasukan penjaga perdamaian yang berasal dari negara anggota PBB. Pasukan ini memiliki tugas menjaga stabilitas wilayah konflik, beberapa wilayah penempatan pasukan perdamaian PBB adalah di Kongo dan Serbia. Kedua hal ini menjadikan PBB setidaknya lebih “bergigi” daripada LBB, karena LBB tidak memiliki instrumen yang jelas dalam mengikat negara anggotanya, yang ada hanyalah perdebatan panjang pada sebuah ruang sidang yang seringkali tanpa solusi yang jelas serta tiadanya kemampuan dalam memberikan tekanan. 

Selain itu, adanya Mahkamah Internasional yang merupakan lembaga peradilan lintas negara yang mampu mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan perang tanpa dibatasi teritori negara. Beberapa kasus yang telah dan sedang diadili diantaranya adalah Jenderal Nazi pada masa Perang Dunia II, Khmer Merah Kamboja dan Genosida di Rwanda. Hal ini menunjukkan adanya kemajuan PBB sebagai lembaga internasional penjaga perdamaian dunia.

Kadang Terlalu Kuat, Kadang Terlalu Lemah

Berbicara tentang PBB tentu tidak lepas dari adanya kontroversi seputar fungsi PBB. Selain adanya apresiasi tentang keberhasilannya, banyak pula kritik pada lembaga ini, mulai dari adanya “standar bias” pada kasus-kasus tertentu yang mengarah pada ketidaknetralan PBB, adanya anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang dianggap memunculkan oligarki kekuasaan yang mengendalikan arah kebijakan PBB, termasuk didalamnya hak veto yang menurut banyak pihak seringkali digunakan untuk keuntungan beberapa kelompok tertentu,  hingga ketidaknyamanan negara anggota yang menganggap PBB terlalu jauh melampaui kewenangannya dengan mencampuri urusan dalam negeri suatu negara berdaulat.

Adanya standar bias yang dilontarkan beberapa pihak, setidaknya tampak pada dua kasus, yakni masalah semenanjung Korea dan konflik Israel-Palestina. Pada masalah semenanjung Korea, yang bermula pada perebutan pengaruh pasca Perang Dunia II antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, menciptakan Perang Korea yang secara teknis masih berlangsung hingga sekarang, karena belum ada perjanjian perdamaian, melainkan hanya kesepakatan gencatan senjata yang belakangan telah dibatalkan Korea Utara sehingga sewaktu-waktu perang dapat kembali terjadi dengan tiba-tiba. 

Hingga saat ini tidak tampak solusi yang jelas dan permanen dari PBB, bahkan lembaga ini cenderung berpihak pada pihak Blok Amerika Serikat bersama sekutunya dan terus-menerus menekan Korea Utara dengan berbagai sanksi. Meskipun beberapa kali diadakan pembicaraan perdamaian, semuanya selalu berakhir dengan jalan buntu karena PBB tidak mampu menjaga citra lembaganya yang netral sehingga Korea Utara enggan berunding jika difasilitasi PBB, karena mereka menganggap PBB dikendalikan Amerika Serikat yang notabene merupakan musuh Korea Utara. 

Adapun kasus Israel-Palestina, lagi-lagi PBB tidak menunjukkan bentuk jelas intervensinya dalam menciptakan perdamaian berupa solusi yang benar-benar permanen dan dipatuhi kedua belah pihak. 

Dewan Keamanan PBB sebenarnya telah mengeluarkan beberapa Resolusi terkait masalah ini, anehnya, PBB tidak bisa menekan, baik Israel maupun Palestina untuk mematuhi resolusi tersebut, PBB malah terkesan membiarkan kedua negara ini terus berkonflik, jadilah beberapa kali peperangan, pengusiran warga Palestina dari tanah mereka hingga adanya peristiwa Intifada’ yang mencerminkan rasa putus asa penduduk Palestina atas tekanan Israel.

PBB juga tampak tidak berdaya saat terjadi invasi ke Afghanistan oleh Uni Soviet, hingga kemudian setelah Uni Soviet runtuh dan Afghanistan dikuasai Taliban, ganti Amerika Serikat melakukan invasi yang mampu menggulingkan Taliban dari kekuasaan. Selain itu, invasi Amerika Serikat dan sekutunya atas Irak, Libya dan terbaru di Suriah tampak tidak mendapat sentuhan intervensi yang jelas dari PBB. Lembaga ini justru mengekor Amerika Serikat, padahal sebagai lembaga internasional yang menjaga perdamaian, PBB seharusnya netral dan menempatkan posisinya diantara pihak yang berkonflik, bukan memihak salah satunya. 

Pembiaran konflik ini menciptakan gelombang pengungsi terbesar sejak perang dunia II. Ketidakjelasan posisi PBB ini, pada beberapa kondisi menempatkan PBB masuk terlalu dalam pada urusan dalam negeri yang memicu kritik keras, Pemimpin negara seperti Hugo Chavez, Mahmoud Ahmadinnejad, hingga yang terbaru, Presiden Filipina Rodrigo Duterte tampak jengah dengan hal tersebut dan memberikan kritik keras pada PBB. 

Presiden Duterte bahkan mengancam akan keluar dari PBB dan membuat lembaga tandingan. Sebenarnya jauh sebelum itu, Presiden Soekarno, bisa dikatakan menjadi pelopor yang memberikan kritik keras atas ketidaktegasan PBB sebagai lembaga internasional, menyusul sikap PBB atas konflik Indonesia-Malaysia pada waktu itu. Indonesia bahkan menjadi satu-satunya negara yang pernah keluar dari PBB.

Masih Perkasa atau telah Renta?

Berbagai pemaparan diatas menjelaskan berbagai capaian besar yang dicapai PBB sebagai penjaga perdamaian, serta masalah besar, yang beberapa diantaranya disebabkan ketidakjelasan bahkan pembiaran PBB atas masalah yang oleh beberapa pihak seharusnya bisa dihindari jika PBB menunjukkan ketegasan dan posisi yang netral dalam menciptakan solusi bersama yang kuat dan permanen. Pertanyaan berikutnya, masihkah PBB mampu bertahan sebagai penjaga perdamaian yang “Perkasa”, atau telah menjadi “renta” karena ditarik-tarik oleh lingkaran kekuasaan negara-negara besar?

Sebagai lembaga yang telah berusia lebih dari tujuh dasawarsa, tidak banyak perubahan pada struktur PBB, selain dibubarkannya lembaga perwalian, itupun dikarenakan semua negara perwalian telah merdeka penuh, selain itu, semuanya nyaris sama saat lembaga didirikan. Hal ini menjadi salah satu sumber masalah yang dialami PBB, karena struktur lembaga seperti saat ini menguntungkan negara-negara besar pemenang Perang Dunia II yang tercermin pada anggota tetap Dewan Keamanan PBB beserta hak veto yang mereka miliki, menjadikan negara-negara tersebut seakan-akan menjadi satu-satunya yang menjadi pemandu arah PBB. 

Jika negara-negara tersebut bersepakat tidak masalah, namun jika kesepakatan negara tersebut tidak memposisikan PBB sebagai lembaga netral, PBB menjadi alat intervensi atas negara-negara yang mereka inginkan. Lebih parah lagi jika tidak ada kesepakatan diantara mereka, PBB hanya menjadi “macan ompong”, seperti yang terjadi pada konflik Suriah, konflik Israel-Palestina dan semenanjung Korea, dimana seakan-akan PBB hanya dianggap angin lalu tanpa wibawa dan kekuatan dalam mengintervensi. 

Hal tersebut harus segera diatasi dengan penyeimbangan kekuasaan antara negara-negara anggota PBB lainnya melalui proses reformasi yang tepat, menjadikan PBB lembaga yang disegani dan dipatuhi semua negara, Perkasa dalam menentukan posisi dan kebijakan, tidak justru semakin renta karena hanya menjadi alat dan mainan negara-negara besar dalam mencapai keinginan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun