Mohon tunggu...
Oky Ade
Oky Ade Mohon Tunggu... -

Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menuju 4 November, (Apakah) Hukum jadi Panglima, (Masihkah) Bhinneka Tunggal Ika?

3 November 2016   07:23 Diperbarui: 3 November 2016   07:36 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini berbagai media dipenuhi dengan adanya berita tentang rencana diadakannya unjuk rasa besar-besaran pada hari Jumat 4 November 2016 yang rencananya dilakukan oleh beberapa ormas Islam di beberapa wilayah se-Nusantara, dengan dipusatkan di Ibukota Jakarta. Massa yang dikerahkan pun tidak main-main, rencananya antara 100-200 ribu orang akan berkumpul dan melakukan unjuk rasa dengan rute mulai dari Masjid Istiqlal, menuju gedung Parlemen dan Istana Merdeka. Adapun tuntutan yang hendak mereka sampaikan adalah agar Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok diadili atas Penistaan Agama yang diduga dilakukan saat kunjungannya ke Kepulauan Seribu.

Tafsiran Surat Al Ma’idah ayat 51 memicu Kontroversi

Unjuk rasa besar-besaran yang direncanakan dilakukan pada 4 November nanti bermula dari tafsiran surat Al Ma’idah ayat 51 yang disampaikan Ahok saat kunjungannya ke Kepulauan Seribu, ayat tersebut berkaitan dengan memilih pemimpin dalam Islam. Menurut Ahok, ayat tersebut selalu digunakan kelompok tertentu untuk menghadang dirinya maupun orang-orang non muslim lainnya menjadi pemimpin, baik di pusat maupun daerah. Hal ini kemudian berkembang menjadi kontroversi, beberapa pihak menganggap pernyataan tersebut mendiskreditkan Islam sebagai agama yang tidak toleran terhadap penganut agama lain. Kemudian berkembanglah ini menjadi masalah yang justru lebih jauh dari awal kejadian tersebut. Ahok sendiri telah menjelaskan maksud pernyataannya bahwa tafsiran itu dilakukan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan mereka, bukan tafsiran yang sebenarnya, meskipun demikian, Ahok kemudian meminta maaf atas dampak perkembangan yang sebenarnya tidak diinginkan. Namun tampaknya masalah tidak selesai disitu, Majelis Ulama Indonesia kemudian mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahok melakukan penistaan agama Islam, menjadikan tekanan untuk mengadili secara hukum bahkan memenjarakan Ahok menguat.

Pada perkembangannya, masalah yang awalnya merupakan kasus penistaan agama, berubah menjadi semacam badai politik yang simultan dengan potensi masalah stabilitas keamanan nasional. Badai Politik menguat ketika selain beberapa Ulama berpengaruh, dua wakil ketua DPR rencananya juga akan ikut dalam unjuk rasa tersebut. Mereka beralasan bahwa siapapun tidak kebal dari hukum dan diperlakukan sama di muka hukum tanpa kecuali, termasuk Ahok dengan kasus penistaan agama ini. Mereka menganggap ini merupakan masalah besar yang mampu mengganggu stabilitas dan kesatuan nasional. Meskipun demikian, beberapa pihak menganggap sikap dua orang wakil rakyat tersebut dipenuhi dengan nuansa politik. Tentu bukan rahasia umum jika Fadli Zon dan Fahri Hamzah merupakan dua orang yang tidak senang dengan Ahok, bahkan menjadi lawan politik Ahok. Mereka juga dikenal sering melancarkan kritik keras pada Ahok atas kinerjanya sebagai gubernur DKI Jakarta, terutama setelah Ahok keluar dari partai Gerindra. Dengan demikian, tidak heran jika ikut sertanya mereka dalam unjuk rasa kental dengan nuansa politik. Lebih jauh lagi, posisi Ahok yang dianggap dekat dengan Presiden Joko Widodo bahkan menciptakan dugaan yang jauh lebih buruk, yakni adanya dugaan adanya kemungkinan penggulingan Presiden sebelum masa jabatannya berakhir pada 2019. Jika diamati kembali sejak awal munculnya masalah ini, tentu sangat jauh dan liar, namun kenyataannya hal tersebut yang tengah menjadi pembicaraan banyak orang dan memicu kekhawatiran akan adanya instabilitas politik dan keamanan.

Masalah tidak berakhir disitu. Adanya manuver Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui kunjungannya kepada Menkopolhukam Wiranto dan Wakil Presiden Jususf Kalla tepat menjelang unjuk rasa 4 November semakin menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. SBY kemudian melakukan konferensi Pers pada 2 November, memberikan penjelasan berkaitan dengan kunjungannya itu. Dalam konferensi Pers itu, SBY menekankan bahwa Ahok harus diperlakukan sama dengan warga lainnya, yakni diperiksa dan diadili apakah dia bersalah atau tidak, lebih lanjut, kata SBY, jika terjadi pengerahan massa yang besar pada suatu demonstrasi, pasti ada hal besar pula yang menyebabkan itu, pemerintah diminta waspada dan menyikapi hal ini dengan bijak. Hal yang mengejutkan adalah, SBY menyampaikan bahwa dia mendapat informasi tentang dugaan intelijen jika aksi unjuk rasa digerakkan oleh partai politik tertentu. SBY beberapa kali menekankan bahwa dia mendapat informasi tersebut secara akurat dan mengingatkan agar intelijen tidak ngawur dalam membuat dugaan karena memicu masalah lain yang tidak perlu.

Selain politik, masalah keamanan menjadi perhatian setelah beberapa pengamat terorisme mengungkapkan berdasarkan sumber-sumber terpercaya tentang adanya intervensi eksternal, dalam hal ini organisasi tertentu yang menginginkan adanya “Arab Spring” di Indonesia dengan menunggangi aksi unjuk rasa pada 4 November. Pengamat tersebut bahkan menunjukkan beberapa bukti berupa gambar yang menunjukkan adanya kemungkinan teori tersebut benar-benar akan dilakukan oleh organisasi seperti AL Nusra. Hal ini menambah rumit masalah yang terjadi, berawal dari tafsiran surat Al Ma’idah ayat 51, menjadi masalah multibidang yang rumit dan dapat menimbulkan masalah besar jika tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu baik Polisi maupun TNI telah mempersiapkan kemampuan mereka dalam mengawal aksi unjuk rasa ini agar dapat menghindari adanya dampak buruk yang bisa saja terjadi.

Dari Manuver Politik hingga Menyebabkan Ketakutan

Adanya manuver berbagai politisi, pada satu sisi memberikan peringatan pada berbagai pihak terkait agar dapat mengantisipasi dan mengelola peristiwa ini sehingga dapat berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan masalah lain. Misalnya, pernyataan Fadli Zon dan Fahri Hamzah tentang perlunya penegakan hukum yang adil dan sama kepada semua warga negara merupakan hal yang harus dijaga dan dipertahankan, merujuk pada Indonesia sebagai negara hukum. Berikutnya, pendapat SBY tentang perlunya kewaspadaan pemerintah pada pengerahan massa yang besar juga memberi masukan yang baik, karena massa yang besar rawan adanya gesekan, dan gesekan kecil bisa memicu konflik yang lebih besar, sehingga pengelolaannya harus tepat.

Namun, Berbagai manuver politik yang dilakukan itu pula, menurut saya pribadi, merupakan salah satu penyebab masalah berkembang menjadi lebih besar dan rumit dari sebelumnya, mengapa? Karena manuver itu dilakukan pada momentum yang tidak tepat dan cenderung menguntungkan pihak-pihak tertentu, sehingga manuver ini tidak lagi menjadi ajang mengawal hukum, tapi memancing di air keruh. Haruskah anggota DPR RI ikut unjuk berunjuk rasa tentang dugaan penistaan agama seorang gubernur? Tidak bisakah mereka melalui kolega mereka di DPRD DKI Jakarta mengadakan pertemuan dengan pihak terkait (Ahok selaku gubernur non-aktif dan pihak keamanan), lalu menyampaikan aspirasi pengunjuk rasa tersebut? Saya pikir bukanlah hal yang tepat menjadikan masalah pribadi mereka kedalam masalah publik. Tentu saja hak mereka untuk menyukai atau tidak menyukai seseorang, namun tidakkah cukup kritikan mereka selama ini hingga mereka ikut berunjuk rasa, yang lucunya (menurut saya) dilakukan di gedung Parlemen dan Istana. Apakah DPR dan Presiden yang menentukan seseorang bersalah atau tidak berkaitan dengan penistaan agama? Atau ini hanya unjuk kekuatan saja didepan lembaga eksekutif dan legislatif. Jika menginginkan penegakan hukum, bukankah lebih tepat langsung disampaikan pada penegak hukumnya, dalam hal ini Kepolisian, tentu tidak perlu mengerahkan 100 ribu orang untuk menyampaikan hal tersebut. Bukankah sudah jelas bahwa Penegakan hukum bersifat independen dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun? Presiden Joko Widodo sendiri telah mengungkapkan bahwa dirinya tidak akan melakukan intervensi pada masalah ini.

Pertanyaan yang selalu muncul di benak saya, apakah Ahok begitu kuat dan berbahaya? Hingga sekedar untuk menuntut agar dia diadili sama seperti warga negara lain di muka hukum, dua wakil ketua DPR dan satu mantan Presiden bahkan sampai harus turun tangan? Saya pikir Ahok saat ini pasti merasa terhormat karena dirinya “dikawal” tiga orang pejabat / mantan pejabat kelas atas di negeri ini. Saya merasa segala keriuhan ini hanya menghabiskan tenaga sia-sia saja, karena kita punya masalah yang lebih besar dengan kemiskinan, pendidikan yang tidak merata, pengangguran, korupsi, masalah HAM, saya pikir masalah itu lebih penting untuk dikawal daripada dugaan penistaan agama. Mereka bahkan tidak menyuarakan apapun ketika seorang nenek dituntut dua tahun penjara karena dituduh mencuri pepaya, apakah nenek itu lebih kuat dan mampu menjalani ketidakadilan yang nyata itu daripada Ahok, yang bahkan dijadikan tersangka pun belum. Seringkali logika seperti ini sulit untuk dipahami. Satu hal lagi, beberapa waktu lalu ada usulan pencabutan TAP MPRS No XXXIII/1967 yang menyatakan Presiden Pertama Soekarno terlibat dalam G30S/PKI sehingga diberhentikan sebagai presiden, tanpa melalui pengadilan yang jelas. Apakah seorang Soekarno tidak berjasa dimata mereka hingga mereka bahkan tidak memperjuangkan pencabutannya dan ketika dikatakan “TAP MPRS itu hanya untuk memberhentikan Bung Karno sebagai presiden, setelah itu selesai”, tidak ada reaksi apapun. Pertanyaan saya, Apakah mencap Bung Karno terlibat G30S/PKI tanpa pengadilan itu bukan masalah besar? Juga Ketika Gus Dur dilengserkan sebagai presiden karena dituduh terlibat skandal Bulog gate dan Brunei gate yang bahkan sampai sekarang tidak jelas karena tidak ada peradilan hukum, bukan masalah besar? Mungkin tidak, Ahok lebih kuat dan berbahaya bagi mereka.

Lebih lanjut, saya membaca dari mendengar dari beberapa media bahwa pada tanggal 4 November, ada sekolah yang diliburkan karena alasan keamanan. Saya terkejut karena sejak reformasi, setidaknya dari yang pernah saya ketahui, belum pernah ada rasa ketakutan hingga menyebabkan sekolah diliburkan seperti ini. Bahkan ada isu akan ada aksi kekerasan yang ditujukan pada kelompok tertentu, saya pikir hal-hal seperti ini malah mengganggu perkembangan bangsa yang majemuk, kita sudah berikrar Bhinneka Tunggal Ika, mengapa hal-hal seperti ini masih saja disebarluaskan? Apakah diskriminasi yang telah terjadi selama puluhan tahun di masa lalu masih belum cukup? Jujur saja, saya tampaknya penuh emosi saat menuliskan opini ini, mungkin juga karena saya masih muda, baru 22 tahun, namun selain itu, karena sering masyarakat Indonesia dikuras tenaganya hanya untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan, hingga menutupi masalah yang lebih besar, penuntasan kasus HAM, seperti terbunuhnya Munir, tragedi 1965-1966, serta 1998, jelas merupakan masalah, namun tertutupi oleh masalah penistaan agama. Apakah karena Ahok keturunan Tionghoa? Karena dia non muslim? Saya tidak tahu, mungkin seperti itu, mungkin juga tidak. Saya berharap masyarakat masyarakat mampu menyikapi masalah ini dengan cerdas dan dengan pikiran terbuka, tidak terpancing pada hal-hal diluar itu, apalagi termakan isu dan manuver politik tertentu. Intinya, saya tetap menghormati aksi unjuk rasa 4 November itu sebagai bagian dari hak masyarakat yang dijamin Undang-Undang, saya juga setuju jika Ahok diproses hukum, agar tidak terjadi “vonis tanpa pengadilan” seperti yang terjadi pada Bung Karno dan Gus Dur. Namun saya menyesalkan munculnya berbagai dugaan dan manuver politik yang justru menghasilkan ketakutan, menguras tenaga untuk hal yang tidak perlu, mengaburkan substansi masalah yang sedang diperdebatkan menuju “vonis tanpa pengadilan”, hingga munculnya ketakutan sehingga kondisi keamanan dan keberagaman dipertaruhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun