Bulan September tahun ini tampak riuh di berbagai media internasional. Bukan karena ada Konferensi Internasional atau Pernikahan Termahal abad ini, tetapi karena ada dua tragedi yang berlangsung dalam waktu yang berdekatan. Yang lebih miris, tragedi itu terjadi di dua kota yang dianggap suci oleh banyak orang. Mekah dan Yerussalem, dua kota suci menjadi saksi dua tragedi yang tidak pernah diharapkan akan terjadi.
     Tanggal 11 September, Alat Pengangkat (Crane) di kawasan Masjidil Haram ambruk dan menimpa jemaah yang sedang melaksanakan ibadah di area tersebut. Tercatat tidak kurang dari 111 jemaah wafat dan ratusan lainnya luka-luka dan mendapatkan perawatan intensif di beberapa rumah sakit disana. Peristiwa ini terjadi saat Masjidil Haram bersiap menyambut Ibadah Haji akhir bulan ini, menjadikan adanya peningkatan kekhawatiran kondisi keamanan Jemaah Haji mengingat renovasi termasuk perluasan Masjidil Haram masih akan berlangsung setidaknya hingga tahun depan. Otoritas Arab Saudi telah memerintahkan penghentian sementara proses pembangunan dan melakukan investigasi menyeluruh mengenai penyebab peristiwa ini. Dugaan sementara Crane ambruk karena diterjang angin kencang yang jarang melanda kawasan Mekah, ditambah kurangnya antisipasi pihak pengembang terhadap kemungkinan adanya bencana alam seperti ini.
      Kedua peristiwa tersebut menyita perhatian banyak media selain pemberitaan tentang gelombang pengungsi ke Eropa. Tentunya kedua peristiwa tersebut tidak berkaitan satu sama lain dan hendaknya disikapi secara berbeda. Dalam kaitan tragedi di Mekah, semua pihak tentu menyambut baik niat Kerajaan Saudi yang berupaya melakukan investigasi menyeluruh untuk memastikan penyebab tragedi dan menghindari terulangnya peristiwa tersebut. Penyampaian informasi kepada publik hendaknya juga dilakukan secara terbuka dan menyeluruh sehingga publik mendapat kepastian penyebab dan penanganan yang dilakukan, serta pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa mendatang.
       Untuk tragedi di Yerussalem memang lebih rumit, selain karena masalah ini bukan hanya sekali terjadi, kontrol kawasan yang tidak jelas mengakibatkan adanya ketidakpastian posisi penjaga / pengatur kawasan Yerussalem. Israel dan Palestina sama-sama mengaku sebagai pemilik sah Yerussalem, akibatnya konflik sering terjadi antara dua negara yang sebenarnya saling menegasi (menolak) wilayah satu sama lain. Sejarah panjang perebutan kawasan tersebut menjadikan kondisi semakin rumit karena kedua negara sama-sama memiliki dukungan yang kuat dan sulit melakukan komunikasi langsung. PBB sendiri tampaknya menghadapi dilema karena ketidaksempurnaan kuasanya menjadikan berbagai redolusi yang dikeluarkan tidak dipatuhi. Jika PBB memiliki otoritas penuh sebagai lembaga antarbangsa, akan lebih baik jika Yerussalem sementara dibawah pengawasan langsung PBB hingga baik Palestina dan Israel berhenti berkonflik. Masalah Yerussalem hendaknya diselesaikan terpisah dengan konflik Israel dan Palestina karena status Yerussalem sebagai kota suci tiga agama menjadikannya sangat sensitif dan perlu perhatian khusus.
      Dalam hal ini bukan berarti saya berpikiran untuk menjadikan Yerussalem terpisah dari Israel dan Palestina, melainkan untuk menyelesaikan konflik kawasan ini, konflik lain harus diselesaikan terlebih dahulu agar tidak mengganggu negosiasi soal Yerussalem. Pembaca tentu sudah mengetahui konflik panjang antara Israel dan Palestina karena keduanya mengaku menjadi penguasa sah dari wilayah yang sama, hendaknya konflik ini diselesaikan terlebih dahulu, setelah itu barulah masalah Yerussalem diselesaikan.
      Menyelesaikan masalah Yerussalem bukan sekedar jadi milik siapa, tetapi bagaimana menjaga Yerussalem agar adil bagi semua pihak yang berkaitan dengannya, termasuk pengelolaan kawasan kota tua dan situs-situs suci, serta pengembangan dan pembangunan kota juga harus dipikirkan. Jangan sampai Yerussalem langsung diserahkan begitu saja tanpa pengelolaan masa depan yang jelas. Karena Yerussalem, sekali lagi, merupakan Kota Suci bagi Tiga Agama (Islam, Kristen, Yahudi), maka tanggung jawab pengembangan masa depan nasib Yerussalem akan berdampak pada ketiga agama tersebut. Semua pihak yang berseteru harusnya mampu menahan diri dan tidak mengunggulkan ego masing-masing yang justru menjadikan perundingan makin sulit dan tidak selesai. Setiap pihak harus mengedepankan pandangan untuk menjaga Yerussalem tidak kembali ternoda oleh konflik-konflik yang tidak perlu dan merugikan daripada hanya saling klaim tanpa pengelolaan masa depan yang jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H