Mohon tunggu...
WongNdeso
WongNdeso Mohon Tunggu... Guru - ASN di PEMKO Medan, Penulis

#WongNdeso adalah nama pena dari Eko Imam Suryanto. Lahir di Bojonegoro, besar di Malang. Menempuh pendidikan S1 di Universitas Negeri Jember. Sejak tahun 2005 sudah aktif menulis di berbagai media cetak dan media online. Beberapa karya yang dihasilkan : Penghapus Mendung (kumpulan cerita motivasi, terbit tahun 2010), Antologi Anakku, Sungguha Aku Mencintaimu tanpa tapi (2021), Antologi Bencana bukan hanya tentang tangisan (2022). Aktif menulis di media Gurusiana.Com dan Majalah Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anakku, Jadilah Tongkat Keluarga!

23 Juni 2022   15:00 Diperbarui: 23 Juni 2022   15:03 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya. Itulah yang selalu saya ingat sampai saat ini. Kata kata itu ibarat kata kata sakti yang datang dari nasehat bapakku pada saat kami mengalami masa masa sulit, pada saat usia sekolah sampai menjelang dewasa

SEPATU BOT UNTUK KESAWAH

Aku adalah seorang anak desa yang akrab dengan kehidupan serba kekurangan dan kesulitan hidup. Bapak saya seorang karyawan kecil di sebuah Perusahaan Negara. Jangan bayangkan seperti sekarang,saat itu PLN adalah Persero yang gaji Karyawannya sangat pas pasan. Apalagi Bapak hanya karyawan proyek yang kerjanya hanya memasang instalasi tiang listrik didaerah daerah terpencil yang belum teraliri listrik. Pada saat ada pemasangan jaringan listrik di daerah, Bapak baru bekerja. Jika tidak ya menganggur. Sedangkan Ibuku adalah Ibu Rumah Tangga biasa kebanyakan ibu ibu di desa yang menunggu suami di daerah.Walaupun hidup kami di desa, kami tidak punya tanah yang luas, yang cukup untuk menanam sayur untuk kebutuhan di rumah. Maka, penghasilan keluarga kami adalah mengandalkan upah dari Bapak yang kadang kerja kadang tidak.

Walaupun kami keluarga tidak punya, orangtuaku punya harapan yang tinggi akan keberhasilan anak anaknya. Mereka, terutama bapak tidak malu menyekolahkan kami di SD Negeri di dalam komplek AURI, yang rata rata siswanya adalah anak anak anggota AURI.

Ya,......bapakku mengajarkan anaknya untuk tidak rendah hati dan mau menerima keadaan.

'"Ko, awakmu anak seng paling gede. Kowe kudu dadi contoh adek adekmu. Sembarang kalire kudu dadi contoh. Temasuk Sekolah' 1. Tuntutan itu menjadi hal yang tidak mudah bagi diriku. Terutama dalam hal sekolah. Di Sekolah SD waktu kelas satu aku harus masuk sekolah memakai sandal jepit. Karena saat itu bagi kami sekeluarga, sepatu adalah hal yang sangat mewah. Setiap hari aku menjadi bahan ejekan dari teman temanku.

'Hei Sandal Jepit'. ' Anak mana ini?' ..anak sawah dan ejekan ejekan lain yang membuat sakit hati.

Pernah aku harus pulang cepat, karena sandal jepitku diumpeti oleh kawanku yang bernama Yono.Dia adalah teman satu kelas yang memang kutahu bapaknya adalah salah satu perwira di komplek AURI. Karena saking asyiknya memperhatikan guru, saat itu Bu Guru itu Ibu Tatik (mdh2an beliau masih sehat. Kalau sudah wafat, doa terbaik untuk beliau kupanjatkan) menerangkan tentang operasi pembagian. Tak sadar, selop jepitku pelan pelan digeser oleh kawan yang dibelakang bangku, lalu dioper ke Yono, dan dibuang keluat kelas dari Jendela kelas.

"Eko, coba kerjakan soal itu dipapan tulis, Lengkap dengan caranya ya Nak!". Tanpa pikrr panjang lansung kujawab, " Ya Bu!... Tapi apa yang terjadi? Selop jepitku yang sebelah kanan kucari cari di bawah meja tak ada. Agak lama kucari cari, tidak jumpa. Sampai akhirnya Bu Guru Tatik berteriak , " Eko. Kenapa kamu nggak mau maju?". Mendengar bentakan itu, aku memberanikan diri dengan memakai selop satu aja yang sebelah kiri. Dengan menahan amarah dan rasa malu, akhirnya aku jadi bahan tertawaan kawan kawan satu kelas. Yang sangat menyanyat hati, Ibu Tati bukan malah membelaku, tapi malah memarahiku. ' Makanya kalau mau sekolah itu pakai sepatu! Masak untuk beli sepatu aja nggak bisa? Kalau nggak bisa beli sepatu, maunya sekolah di SD Inpres jangan di sini!". Mendengar cemohan itu, akhirnya aku lari keluar kelas, menangis dan pulang.

Sesampai di rumah. Adikku yang paling kecil perempuan bertanya ; " Nopo muleh Mas? Didukani Bu Guru yo Mas?" 2 " Ora ndok, Mas isin? Mosok ambek Bapak ra ditumbaske sepatu. Mas Eko Ndhisek kan ra gelem sekolah nang kono.Mas sekolah nang SD Inpres yo rapopo".3 Tidak berapa lama, Ibuku keluar dari Pawon (Dapur). " Ono opo to le, koq wes muleh sekolah ? Opo gurune do rapat? Lah...ndadak nangis pisan!'4. Kujawab, " Aku isin Buk, di gawe nyek nyek an karo konco koncoku! Bu Tatik Guru malah ndukani aku!"5 Sambil terisak isak kujelaskan kejadian di kelas. Ibuk malah dawuh (menasehati)

" Le, yo pancen ngono kuwi nek arep urip mulio. Godane akeh. Neng, nek awakmu kuwat Insha Allah Gusti Allah ngijabahi"6. " Lah kulo kan sampun matur, sekolah SD Inpres mawon bu!"7,Ibuku menjawab " Bapakmu kuwi pengen anak anak e iku maju, koyok wong wong hebat kae. Mben uripe anak anak e mulio. Mangkane Bapakmu pengen anak anak e yo iso ketularan pinter Coba dieleng eleng piwulange Yai Dul Manaf Guru Nagjimu, dawuhe Rasul Carilah ilmu sampai ke negeri Cina. Dadi golek ilmu iku ora gampang. Wes saiki mlebu ngomah, ojo nangis.Cah lanang kog gembeng".8

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun