Kasus babi ngepet di kelurahan Bedahan, kecamatan Sawangan, Depok, yang viral beberapa waktu lalu, membuat saya sangat terheran-heran. Kok ya berani-beraninya para pelaku di balik aksi tipu-tipu itu mengelabui polisi.
Sebagai manusia biasa, saya juga tidak luput dari pikiran jahat. Namun untunglah sejak kecil saya sangat suka membaca novel-novel, serta menonton kisah detektif dan polisi. Sebut saja novel-novel Sir Arthur Conan Doyle, Agatha Christie, S. Mara Gd., serial CSI: Crime Scene Investigation, Law and Order: Criminal Intent, dan masih banyak lagi.
Saya tidak tahu pasti bagaimana cara kerja polisi. Saya juga tidak punya privilese atau hak istimewa untuk bisa ikut terlibat dalam penyelidikan polisi. Namun dengan membaca dan menonton kisah-kisah investigasi, kita bisa mengira-ngira cara kerja mereka.
Semakin banyak saya membaca novel serta menonton film detektif dan polisi, semakin saya tidak berani melakukan tindak penipuan dan kejahatan. Apa pasal? Para detektif dan polisi itu pintar-pintar, punya metode khusus, dan punya informan-informan rahasia dalam mengusut kasus-kasus kriminal. Mereka tidak percaya takhayul dan amat sulit dibohongi.
Hercule Poirot, tokoh detektif dengan kumis paling menakjubkan sepanjang masa, terang-terangan berkata bahwa ia hanya percaya kepada fakta. Orang boleh bicara apa saja, namun jika omongannya tidak sesuai fakta, Poirot tidak akan percaya.
Jika keterangan seseorang tidak sesuai fakta, mudah ditarik kesimpulan bahwa ia berdusta. Berangkat dari menyelidiki dusta, para penyelidik bisa sampai kepada kebenaran. Gill Grissom dari CSI dalam salah sebuah episode pernah mengatakan, "We chase the lie, till it leads us to the truth." Kami mengejar kebohongan, hingga ia menuntun kami pada kebenaran.
Saya yakin, polisi di dunia nyata juga demikian. Berangkat dari fakta. Menelusuri dusta. Sebagai contoh, pada saat mendatangi tempat kejadian perkara babi ngepet, polisi memastikan bahwa babi ngepet itu adalah seekor babi hutan sungguhan berbulu hitam. Itu adalah fakta. Fakta-fakta semacam inilah yang dikumpulkan oleh polisi.
Hal ini sesuai dengan ucapan Sherlock Holmes dalam kisah berjudul Petualangan Noda Kedua, "Adalah merupakan kesalahan besar bila kita menyusun teori sebelum mendapatkan fakta-fakta secara lengkap."
Orang boleh bercerita tentang warga yang kehilangan uang secara misterius. Tentang munculnya tiga orang mencurigakan yang salah satunya lantas berubah menjadi seekor babi. Tentang babi yang hanya bisa ditangkap oleh orang yang tidak mengenakan busana. Tentang babi yang awalnya bertubuh besar lalu kemudian mengecil. Namun faktanya, babi tersebut adalah seekor hewan biasa.
Terlebih, babi hutan bukanlah hewan yang lazim ditemukan di area pemukiman padat penduduk seperti Depok. Sependek pengetahuan saya, sesuai namanya, babi hutan hanya tinggal di hutan-hutan yang jauh dari pemukiman manusia.
Dengan indera penciumannya yang sangat tajam, seekor babi hutan bisa mengendus keberadaan manusia dari jarak jauh. Lantaran takut, biasanya mereka akan pergi menjauh jika mencium bau manusia. Jadi jika Anda masuk ke hutan lebat pun, kecil kemungkinannya Anda bertemu dengan babi hutan. Mereka yang tidak mau bertemu dengan Anda soalnya.
Karena itu, jelas sangat tidak mungkin bagi seekor babi hutan untuk keluar dari hutan, lantas berjalan hingga sampai ke tempat pemukiman penduduk. Apalagi babi yang ditangkap ini masih anakan. Orang mungkin bisa bilang, "ya wajar sajalah, namanya juga pesugihan babi ngepet. Tidak perlu dipersoalkan dari mana datangnya, namanya juga makhluk jadi-jadian."
Tidak bisa begitu, Sergio Marquina! Polisi hanya percaya fakta. Seperti Hercule Poirot yang hanya mengandalkan otak alias sel-sel kecil kelabunya. Tidak ada tempat untuk takhayul. Pasti ada orang yang dengan sengaja mendatangkan babi itu, entah dari mana, dan dengan cara bagaimana. Bisa jadi, dari situlah penyelidikan bermula.
Saya jadi ingat ujaran Sherlock Holmes dalam novel bertajuk Empat Pemburu Harta, "Kalau kamu menyingkirkan yang mustahil, apa pun yang tersisa, betapa pun mustahilnya, adalah kebenaran." Barangkali itulah langkah polisi selanjutnya. Menyingkirkan hil-hil yang mustahal.
Polisi memiliki teknik wawancara yang sangat mumpuni. Pada saat menanyai warga yang mengaku menangkap babi ngepet, bisa jadi polisi bersikap simpatik, seolah-olah percaya begitu saja, dan mendengarkan kisah mereka dengan penuh perhatian. Duh, siapa sih yang nggak suka dibegitukan?
Tapi jangan salah. Diam-diam polisi mencatat keterangan orang-orang itu dengan teliti. Jika kasus babi ngepet itu memang hoaks alias berita bohong, pasti akan ditemukan kejanggalan, bagian kisah atau jawaban yang tidak konsisten satu sama lain. Pasti ada potongan puzzle yang tidak pas.
"Kau tak pernah sadar bahwa hal-hal yang paling rumit biasanya sangat bergantung pada hal-hal yang paling sepele," ujar Sherlock Holmes dalam kisah Petualangan Lelaki Merangkak. Wawancara yang detil dan teliti sangat berguna bagi penyelidikan polisi.
Orang biasanya sulit berbohong dengan konsisten, kecuali kalau ia jenius atau supercermat. Pasalnya, kebohongan satu akan menuntun ke kebohongan berikutnya, dan mengingat-ingat semua kebohongan sekaligus itu seringkali tidak mudah. Nah, begitu menemukan kejanggalan, polisi akan terus mencecar dengan berbagai pertanyaan, hingga akhirnya pelaku kehabisan akal, mentalnya jatuh, dan mengakui semua perbuatannya.
Saya tidak tahu apakah komplotan penyebar isu hoaks babi ngepet di Depok itu membaca novel-novel Sir Arthur Conan Doyle, Agatha Christie, S. Mara Gd., atau tidak. Menonton CSI atau tidak. Besar kemungkinannya tidak. Sebab jika iya, mereka tidak akan berani berbohong kepada polisi sedemikian rupa.
Hmmm, perlukah novel-novel serta film-film detektif dan polisi dijadikan bacaan dan tontonan wajib, supaya orang berpikir ribuan kali terlebih dahulu, sebelum melakukan tindak kriminal?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H