Mohon tunggu...
padmono anton
padmono anton Mohon Tunggu... -

saya adalah seorang petani desa di cianjur bagian selatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Apa Katamu? (3)

26 Desember 2010   00:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:24 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian ke-3 dari 4 bagian.

Pernak-pernik Persahabatan

Tahun ajaran 1999/2000 baru saja mulai tergelar. Watik, Yuni dan Dewi sudah berada kembali di tempat kost-nya. Watik memasuki semester tujuh Psikologi, Dewi juga pada semester yang sama tapidi Farmasi. Sedangkan, Yuni biarpun juga memasuki semester yang sama, Pendidikan Sejarah, tapi semester berikutnya harus turun ke semester enam. Itu pun dengan beberapa mata kuliah tidak bisa diikuti, yakni mata kuliah yang merupakan kelanjutan dari semester enam.

Tentu saja, hubungan persahabatan antara ketiganya tidak semanis tahun-tahun sebelumnya. Dewi masih tetap tidak suka dengan tindakan Watik yang membohonginya untuk menolong Yuni.

****************************

Watik masih ingat persis. Sebelum liburan, ia mencoba sekali lagi mengajak bicara Dewi. Maksudnya, agar liburan tidak terbebani oleh permasalahan yang tidak kunjung selesai itu. Menurut Watik, masalahnya sederhana saja, namun menurut Dewi masalah itu amat besar, dan Watik sebagai sumber masalah, tidak terampuni.

Malam hari sebelumnya paginya pulang liburan, Watik mendekati Dewi.

“Wi, boleh masuk tidak?” seru Watik di depan kamar Dewi. Watik tahu dengan pasti, bahwa Dewi ada di dalam kamarnya.

“Untuk apa?” seru Dewi dari dalam. Nada suaranya sungguh tidak bersahabat.

“Ya… untuk ngobrol-ngorol saja!” jawab Watik yang agak terkejut ketika mendengar seruan Dewi.

“Tidak ada waktu!” sahut Dewi.

“Ujian kan sudah selesai!” Watik masih mencoba.

“Lain kali saja,” sahut Dewi lagi.

Watik menghela nafas dalam-dalam. Ia masih berdiri di depan pintu kamar Dewi.

Watik tidak menemukan cara lagi untuk memancing. Namun ia masih menunggu di depan pintu. “Siapa tahu, Dewi berubah pikiran,” harapnya dalam hati.

Ternyata harapannya bagai menjaring angin. Sampai kakinya pegal-kesemutan, Dewi tidak berubah pikiran. Akhirnya, Watik masuk ke kamarnya sendiri.

“Ya, mungkin belum saatnya. Mungkin besok pagi,” pikirnya.

Paginya juga harapan Watik tidak terjadi. Dewi masih bersembunyi di kamarnya. Dipanggilpun tidak ada balasan.

“Ya sudah.. terpaksa sesudah liburan..” pikirkan Watik lalu bergegas menuju sepeda motor yang akan menghantarkan pulang ke rumah orang tuanya.

*****************************

Beberapa hari sebelum masuk semester baru, Watik sudah berada kembali di tempat kost-nya. Hari berikutnya Yuni datang.

“Bagaimana Yun, sisa liburanmu?” tanya Watik pada Yuni.

“Baik. Tak ada persoalan.”

“Baguslah kalau begitu. Saya ikut senang.”

“Oh ya, saya belum ceritera satu hal. Waktu kamu di Jakarta, saya belum sempat.”

“Apa itu?”

“Waktu dengan mama kembali ke Jakarta dulu itu, saya langsung disuruh mama untuk menerima Sakramen Pengakuan.” [Sakramen Pengakuan/Mengaku Dosa: salah satu upacara dalam agama katolik].

“Mengaku dosa?” tanya Watik dengan memandang wajah Yuni tajam-tajam.

“Iya.”

“Bukankah mengaku dosa biasanya sebelum Natal atau Paskah?” tanya Watik dan terkenang kebiasaannya selama ini.

“Itu biasanya. Tapi menurut mamaku mengaku dosa bisa dilaksanakan kapan saja, terutama dalam situasi kedosaan yang berat,” jelas Yuni.

“Iya, ya.. saya lupa. Itu memang betul. Saya baru ingat..” kata Watik sambil tertawa.

“Nah, mama menyuruhku segera mengaku dosa karena saya sudah berhubungan seksual bukan dalam pernikahan.”

“Iya, Yun. Saya jadi ingat, saya pernah membaca, bahwa hubungan seksualitu hanyalah khas dimiliki oleh dua orang laki-laki dan perempuan yang sudah terikat dalam perkawinan yang sah. Artinya, mereka yang belum menikah, tidak dibenarkan melakukan hubungan seksual.”

“Benar, Tik. Menurut romo parokiku, hubungan seksual adalah sesuatu yang suci, persatuan intim antara laki-laki dan perempuan, dan itu hanya dibenarkan dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang terikat oleh perkawinan yang suci pula. Menurutnya, perkawinan itu suci, karena perkawinan adalah lambang hubungan mesra antara Tuhan dan umat-Nya. Jadi perkawinan bukanlah sekedar hubungan antar manusia saja, tapi melibatkan Tuhan juga. Tapi, Tik, saya masih bingung terhadap penjelasan romo itu.”

“Ah, kenapa bingung? Tuh, kamu malah lebih tahu dari saya. Selama ini yang saya tahu, perkawinan adalah sakramen, karena termasuk dalam tujuh sakramen. Nah, dengan penjelasanmu yang kamu sendiri menjadi bingung itu, saya menjadi sedikit mengerti. Perkawinan itu suci, kudus. Tadi apa kamu katakan? Lambang… ya, lambang hubungan mesra antara Tuhan dan umat beriman. Jadi, cinta kasih timbal balik antara laki-laki dan perempuan yang terikat dalam perkawinan suci adalah tanda yang kelihatan dari cinta kasih antara Tuhan dan umat-Nya. Jadi, Tuhan mencintai umat-Nya bagaikan seorang suami mencintai istrinya, dan begitu sebaliknya: saling menyayangi.” [Pembaca hendaknya jangan heran, saat mengetahui Watik bisa memberi penjelasan itu. Wajar aja! Beberapa hari yang lalu ia secara kebetulan baru membaca salah satu buku tentang perkawinan].

“Aneh kamu, Tik! Katanya baru tahu, kok bisa menjelaskan lagi. Penjelasanmu itu dari mana?”

“Biasa.. dari buku..” jawab Watik sambil tertawa.

“Saya perlu ngaku dosa tidak, Yun?” tanya Watik karena Yuni tak bicara lagi.

“Ya, kamu lebih tahu, Tik!” jawab Yuni dengan senyum.

“Nanti ajalah tunggu sebelum Natal. Memang sih, menurut mamamu bisa kapan saja. Tapi saya malu! Lain kalau Natal dan Paskah, karena ramai-ramai. Sebenarnya saya juga ingin… siapa tahu keterlibatan saya membantu kamu juga termasuk dosa besar. Sebaiknya, mengaku dosa tidak, Yun?”

“Terserah kamulah!” tegas Yuni.

“Tidak! Menurut kamu?” desak Watik.

“Menurut saya, ya.. karena sebenarnya kamu malah berbuat baik pada saya, ya tidak usah. Tapi, kalau mengaku dosa, ya.. menurut mama, baik sekali.. kan dosa selalu ada saja.”

Udahlah tunggu saja saat Natal. Biar numpuk sekalian.. Toh, tidak lama lagi!” jawab Watik sambil menyadari dirinya masih jauuuuuuuh… dari sempurna dalam menghayati hidup keagamaannya.

“Dewi belum datang, Tik?’ tanya Yuni pada Watik mengalihkan topik pembicaraan, sesudah sejenak mereka terdiam.

“Belum!” jawab Watik yang langsung teringat bahwa ia belum pernah ceritera tentang perubahan sikap Dewi selama ini.

“Saya sudah kangen. Setengah tahun lebih tidak bertemu. Dia pulang ke Solo, kan?”

Watik mengangguk, lalu berkata, “tapi sekarang Dewi tidak seperti Dewi setengah tahun lalu.”

Kenapa?” tanya Yuni menatap Watik seolah tidak percaya.

“Dia marah”

“Marah sama kamu?”

“Iya… mungkin juga sama kamu!”

“Apa soalnya?”

“Akibat dari “proyek” kita,” jawab Watik sambil tersenyum.

“Saya belum mengerti…” kata Yuni memandang Watik dengan tajam. [Ibunya pun, yang sesungguhnya tahu tentang sikap Dewi pada Watik, juga belum pernah ceritera padanya].

“Jelasnya begini: Dewi marah sama saya, karena selama ini saya berbohong padanya tentang kamu. Saya kan berusaha berpegang teguh pada keinginanmu, jangan sampai orang lain tahu..” jawab Watik terkesan santai.

“Aduh, Tik.. gara-gara saya..” kata Yuni terhenti, memandang Watik lalu menoleh ke samping.

“Yun… saya tidak menyalahkan kamu. Jangan cemas! Kalau memang Dewi marah, ya… terserah dia kan? Hanya.. yang belum saya mengerti, mengapa ia tidak bisa memahami situasi kita? Sampai judeg, saya mikirnya.” Watik menarik nafas panjang.

“Tapi, itu semua gara-gara saya, Tik!” keluh Yuni lagi.

“Ya.. betul. Tapi, seharusnya kan Dewi memahami situasimu. Kamu jangan terpukul Yun!” kata Watik penuh harap. Ia sangat takut jika Yuni akan merasa diasingkan atau dipojokkan.

Udahlah! Apapun yang akan terjadi dari Dewi akan saya hadapi. Ia mau mengejekku, silahkan! Ia omong-omong tentang saya ke teman seluruh kampus, silahkan! Aku tidak mau tahu lagi. Ya, memang saya yang salah, mau apa lagi? Itu adalah resiko dari kesalahan saya. Ya kan?” kata Yuni kemudian.

“Bagus! Saya sangat setuju, Yun, dengan prinsip seperti itu,” sahut Watik senang.

“Iya, Tik. Ketika saya mau bertemu mama, saya juga berpikir begitu. Apapun yang terjadi, silahkan. Saya sudah bersalah.”

“Tapi Yun, masih saja saya sangat heran pada sikap Dewi. Selama tiga tahun, kita mengenal Dewi dengan akrab, dan tidak pernah ada masalah yang serius dengan dia. Seharusnya sebagai sahabat, ia kan bisa memahami persoalan yang dihadapi oleh sahabatnya? Tapi, mengapa Dewi tidak bisa?”

“Mungkin begini Tik, dia tersinggung mengapa sejak awal tidak diberitahu.”

“Itu sudah jelas! Tapi, dia itu kan model orang yang tidak bisa menjaga rahasia. Kepada kita, ia sering ngomong tentang rahasia teman-temannya. Nah, jangan sampai rahasia kita juga begitu!”

“Iya, saya memang kawatir tentang itu, makanya waktu itu saya mau hanya kamu yang tahu, Tik.”

“Aneh betul!”

“Wah Tik, kita ngomongin orang lain terus!” kata Yuni dengan nada bersalah.

“Yun.. saya rasa itu tidak soal. Toh, kita ngomongim Dewi bukan untuk menjelekkannya, atau demi kesenangan kita. Tetapi supaya kita bisa memahamiDewi. Kita bukan membencinya, tetapi berusaha untuk memahamimengapa ia sampai mengambil sikap begitu?”

“Entahlah Tik. Tunggu saja kalau Dewi sudah datang!”

“Teka-teki!” sahut Watik.

************************

Hari berikutnya, tengah hari, Dewi yang sikapnya masih menjadi teka-teki bagi Watik dan juga Yuni, datang. Kebetulan Watik dan Yuni sedang duduk ngobrol di ruang tamu.

Hallo, Wi!” teriak Watik begitu Dewi memasuki pintu.

Hallo!” jawab Dewi hambar tanpa melihat Watik dan Yuni, dan langsung melangkah ke kamarnya.

Watik menyikut Yuni yang duduk di sampingnya. Mereka saling berpandangan. Dalam hati, Watik berkata, “betul, kan kataku!” Dalam hati pula, Yuni percaya pada keterangan Watik tentang Dewi.

Karena situasinya menjadi tidak nyaman, Watik dan Yuni memutuskan untuk masuk ke kamar masing-masing.

Sore harinya, Watik bepergian. Mengetahui hal itu, Dewi bertandang ke kamar Yuni.

“Masuk!” jawab Yuni dan menjadi sedikit gugup ketika baru saja Dewi memanggilnya dari depan pintu kamarnya.

“Boleh aku masuk, Yun?” tanya Dewi sesudah sedikit membuka pintu, cukup untuk menongolkan kepalanya.

“Boleh?” jawab Yuni yang duduk di tepi tempat tidur. Ia merasa heran karena Dewi bersikap biasa, bahkan terbilang sopan.

Dewi menyusul duduk di samping Yuni.

“Sorry ya, tadi aku cuek pada kamu,” kata Dewi mengawali pembicaraan.

“Maksudnya?”

“Tadi.. waktu saya datang, saya langsung ke kamar. Tidak mempedulikan kamu.”

“Memangnya kenapa sih?” tanya Yuni menjadi berani.

“Karena ada psikolog gila itu!” jawab Dewi tegas.

“Watik?” tanya Yuni sambil memandang Dewi dengan tajam.

“Tidak salah!”

“Mengapa begitu?”

“Dia itu bukan sahabat yang sejati. Dia itu pembohong! Penipu!”

Yuni diam, kemudian sedikit cemas.

“Kalau kamu sih tidak bohong sama saya, Yun!” kata Dewi kemudian seolah menjawab kecemasan Yuni.

“Kamu hanyalah bidak catur yang dimainkan oleh si Watik sinting itu,” lanjut Dewi karena Yuni tak segera bicara.

“Ah, saya yang bersalah Wi. Kamu sudah tahu, kan? Saya tidak usah ceritera lagi!” kata Yuni pelan, dan sedikit malu.

“Kamu tidak bersalah pada saya, Yun. Yang bersalah adalah Watik. Ia membohongi saya terus-menerus. Kamu ingatkan? Dahulu, sebelum kamu pergi, saya bertanya pada kamu, ee… dia yang menjawab. Bohong lagi! Dan selanjutnya ia berbohong dan berbohong melulu. Menumpuk! Itulah, kamu menjadi pion Watik yang sok pahlawan itu.”

“Wi.. sayalah yang meminta Watik untuk tidak berceritera pada siapapun. Waktu itu… sayaamat-amat malu. Jadi sayalah yang salah,” kata Yuni membela Watik.

“Ya, itu saya tahu, karena waktu itu pasti kamu sangat bingung. Itu wajar. Tetapi, mengapa Watik tidak berusaha membagi rahasia itu pada sahabatnya, saya? Kenapa? Kamu tidak salah. Watiklah yang salah. Aku tidak akan memaafkannya!” kata Dewi dengan geram.

Yuni diam saja, karena ia merasa heran atas pemikiran Dewi. “Masa, rahasia harus dibagi. Kalau begitu bukan rahasia lagi dong!” pikirnya.

“Apakah Watik mengira saya tidak bisa menyimpan rahasia itu? Kalau begitu ia memang tidak percaya pada saya, dan kalau begitu bukan sahabat!” kata Dewi lagi, masih dengan geram.

“Sudahlah Wi… kita bertiga sudah akrab dari dulu. Tidak usah dipersoalkan lagi! Toh sudah berlalu!”

“Tidak! Saya sudah terlanjur benci pada psikolog gila itu. Mentang-mentang belajar psikologi, jadi sok! Pembohong!”

Yuni tidak tahu yang akan dikatakan untuk menanggapi Dewi yang ternyata tidak marah pada dirinya itu, melainkan hanya pada Watik.

“Tapi kamu jangan kuatir Yun! Sebagai sahabat, aku akan membuktikan bahwa aku bisa menyembunyikan rahasia. Aku bisa menjadi sahabat yang sejati. Kamu percaya, Yun?” kata Dewi dengan nada ramah.

“Percaya,” sahut Yuni lega dan berharap itu perkataan yang sungguhmuncul dari relung hati Dewi yang paling dalam.

“Bagus! Itu baru namanya sahabat. Bisa saling mempercayai.”

“Tadi, Watik ngomongin saya, ya?” tanya Dewi sesudah mereka diam sejenak.

“Mmm…” Yuni tak jadi bicara. Dia bimbang. Serba salah.

“Ya atau tidak? Saya suka sahabat yang jujur, bukan pembohong!” kata Dewi dengan tegas dan membuat Yuni sedikit gugup.

“Ya,” jawab Yuni pelan.

Ngomongin apa?”

“Ya, tentang kamu yang marah-marah. Benar, kan?”

Tuh… benar, kan? Kalau memang sabahat, pasti tidak akan ngomongin saya. Huh… semakin benci saja… saya marah itu kan ada sebabnya. Dia sudah membohongi saya!”

Yuni diam saja. Sedikit menyesal atas perkataannya sendiri.

“Sudahlah… gitu saja, Yun. Hati-hati saja! Suatu saat mungkin Watik juga ganti membohongi kamu! Ia itu bisa menjadi musuh dalam selimut! Kejam-tak-berperasaan!” kata Dewi sambil berdiri, lalu keluar tanpa menunggu tanggapan Yuni.

**************************

“Jadi, ia tidak marah sama kamu, Yun”tanya Watik sesudah mendengar ceritera Yuni tentang sikap Dewi padanya. Tentu saja ketika Dewi tidak ada bersama mereka.

“Katanya sih, tidak. Bahkan ia berjanji akan merahasiakan kasusku,” jawab Yuni dengan yakin.

“Sungguh aneh! Benar-benar saya tidak habis berpikir!” seru Watik dan dalam hati berkata, “pada hal ia pernah menyebut Yuni sebagai perempuan nakal, murahan dan sebagainya.”

“Terus, dia omong apa lagi?” Watik masih penasaran.

Yuni tak segera menjawab. Ia bimbang. Ia merasakan bagaikan pelanduk di tengah dua gajah yang sedang bermusuhan. Watik masih memandangnya, menunggu perkataannya.

“Tapi, jangan diomongkan pada Dewi, ya!” pinta Yuni akhirnya.

“Tentu tidak. Tidak! Tenang sajalah!” sahut Watik sambil tertawa.

“Dia semakin membenci kamu!” kata Yuni pelan.

“Ya.. itu sudah saya bayangkan. Ya, biarlah Yun.. tidak apa-apa. Yang penting, dia akan merahasiakan perihal kamu kan?”

“Iya. Tapi..” kata Yuni, dengan sorot mata sayu.

“Sudah tidak usah dipikirin Yun. Tenang saja!”

Yuni merasa tidak enak pada Watik, karena telah menyebabkan persahabatan Watik dengan Dewi rusak-berantakan.

“Biarpun ia marah pada saya, saya tidak marah padanya Yun. Justru bila aku marah padanya, situasinya akan semakin kacau-balau. Mudah-mudahanlah situasi keruh ini tidak akan lama.,” kata kemudian karena Yuni tak berkata.

“Mudah-mudahan,” sahut Yuni dengan penuh harap.

*********************

Nyatanya, hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan, harapan Watik belum terwujud. Kemarahan Dewi padanya tidak kunjung mereda. Pada saat-saat yang menurut Watik tepat untuk bicara atau sekedar tegur sapa, dia berusaha berkomunikasi dengan Dewi, tetapi tanggapannya selalu sama: acuh tak acuh, seperti tidak saling kenal. Akan tetapi, Watik sedikit terhibur, karena Dewi benar-benar menjaga rahasia Yuni, dan dia pun bisa tetap akrab dengan Yuni.

Sampai pada suatu hari, ketika hendak mandi Watik dibuat terkejut.Dewi yang kebetulan datang dari bepergian, mengawali bicara –satu hal yan belum pernah, sesudah suramnya persahabatan mereka--, meskipun masih dengan nada cuek.

“Kakakku tanya kamu,” kata Dewi datar ketika bertemu dengan Watik di gang, tanpa menghentikan jalannya.

“Ada apa?” tanya Watik.

“Tahu!” jawabnya singkat dan langsung masuk kamar.

Watik berdiri tertegun, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Ia pun masuk ke kamar mandi.

Sebelum Dewi marah padanya, memang Watik sudah beberapa kali berkunjung ke rumah Dewi di Solo. Ia sudah akrab dengan keluarga Dewi. Dia menduga-duga maksud pernyataan Dewi. “Apakah kakaknya mengharapkan saya ke Solo, atau apakah kakaknya sekedar berbasa-basi,” tanyanya dalam hati.

Watik memutuskan akan ikut bersama Dewi pergi ke Solo. Seperti Watik, seminggu sekali, Dewi juga pulang ke rumahnya.

“Wi, apakah bisa besok saya ikut ke rumahmu?” tanya Watik pada Dewi pada hari Jumat, ketikakebetulan saling bertemu di gang antar kamar kost-nya.

“Mau ngapain?” tanya Dewi ketus, tanpa memandang Watik.

“Ya, main saja!” jawab Watik dan berusaha mengendalikan diri.

“Main aja sendiri!” kata Dewi sambil bergegas menghindar.

Watik terbengong-bengong dan menjadi malu sendiri. Ia tidak tahu, mukanya akan disembunyikan di mana. Permintaannya ditolak. Ia memutuskan tidak akan memaksakan diri untuk ikut Dewi. Dia membayangkan, betapa canggungnya jika berjalan bersama Dewi. Apa lagi dalam jarak yang begitu jauh: Yogya – Solo euy!

******************

“Tik, aku jadi tidak enak, nih! Sudah empat bulan lebih hubunganmu dengan Dewi tidak kunjung membaik. Ini semua…”

“Yun, jangan pusingkan itu. Saya tidak masalah kok!” tukas Watik ketika Yuni belum selesai bicara, karena ia sudah menduga lanjutannya.

“Memang saya sering mengajak Dewi untuk tidak bersikap seperti itu terus-menerus. Tapi… rasanya sulit sekali. Pendiriannya sangat kuat!” kata Yuni dan mengakhiri dengan menggelengkan kepala.

“Ya, saya menyadari, di mata Dewi, saya itu jelek sekali. Penjahat kelas kakap! Saya tahu ia masih membenci saya. Setiap saya coba untuk berkomunikasi, selalu saja menghindar. Jadi mau apa lagi?” kata Watik seolah menegaskan perkataan Yuni dan mengambil nafas panjang.

“Berubah seratus delapan puluh derajad” guman Yuni lebih untuk dirinya sendiri.

“Maksudnya?” tanya Watik sambil menatap Yuni.

“Iya.. dahulu Dewi amat akrab dengan kamu, sekarang menjadi benci setengah mati. Bisa, ya?”

“Bisa aja. Saya rasa wajar saja. Menurut saya, ia adalah seorang pribadi yang perfeksionis. Maksudnya, segala sesuatu harus sempurna, sesuai dengan apa saja yang diinginkan. Pribadi semacam itu akan sangat gampang kecewa, jika keinginannya tidak terkabul. Dalam kasus hubungannya denganku, rupanya gambaran tentang diriku yang jujur dan setia padanya hilang musnah ketika saya tidak pernah berceritera secara terus-terang tentang kamu padanya. Dia membayangkan, bahwa aku harus blak-blakan padanya. Tak perlu ada yang disembunyikan. Tentu saja hal itu sangat sulit bagi saya, karena saya terikat janji padamu untuk menjaga rahasia itu. Dan lagi, setiap orang memiliki rahasia-rahasia pribadi yang tidak perlu diketahui oleh orang lain, termasuk sahabat karibnya.” Watik berbicara agak panjang untuk menyampaikan analisa dan pendapatnya.

“Mengapa bisa begitu ya, Tik?”

“Ya, semua itu tidak terjadi begitu saja, melainkan terbentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lampaunya, terutama ketika masih kecil. Sejarah hidupnyalah yang membentuk kepribadiannya. Yun.. warna dasar kepribadian kita.. dan semua orang, sesungguhnya lebih ditentukan dari masa kecil. Masa kecil adalah masa yang paling subur dan jujur untuk menerima informasi dari luar, dari lingkungan hidupnya. Dan tragisnya, sebagian besarnya mengendap di bawah sadar.” Watik berhenti, tersadar bukan waktu yang tepat untuk bicara panjang lebar soal itu.

“Mengapa di bawah sadar?”Tapi, ternyata Yuni ingin tahu lebih jauh.

“Begini, usia awal, antara nol sampai tiga tahun tidak pernah terekam secara jelas dalam kesadaran kita. Artinya, kita tidak mampu mengingat apa yang terjadi pada usia itu. Pada hal masa-masa itulah, kita menerima begitu saja informasi dari luar, entah yang baik ataupun yang buruk. Itu semua terkubur dalam bagian bawah sadar diri kita. Termasuk tanggapan kita, entah setuju entah tidak atas informasi itu, juga ikut terkubur. Nah, sesewaktu ketika dewasa tanggapan atas informasi yang kita terima itu muncul begitu saja. Tapi, ya kita menjadi tidak tahu, kenapa bisa begitu? Kembali lagi, karena muncul dari bawah sadar. Makanya, pendidikan dan pendampingan anak di usia awal amat penting.”

“Wah, rumit Tik!” kata Yuni sesudah Watik berhenti menjelaskan.

“Ya… Saya pun juga bingung!” jawab Watik sambil tertawa.

“Tapi, bagaimana Tik, kalau nanti ia tidak mau berubah?” tanya Yuni lagi yang ternyata juga tidak lagi menanggapi penjelasan Watik.

“Ya, kita hanya selalu berharap..” jawab Watik sambil memikirkan ada jalan keluar, namun sulit dan melalui proses yang panjang.

”Atau kita yang harus berubah?” cetus Watik dengan tertawa ketika mereka terdiam sejenak.

Yuni hanya menggelengkan kepala pelan sambil tersenyum.

************************

Karena penasaran, Watik memaksakan diri ke rumah Dewi di Solo. Sendiri saja!

“Oh, Watik! Ayo, ayo masuk!” sambut Joko pada Watik. Joko adalah kakak Dewi.

“Terimakasih! Sendiri saja Mas?” tanya Dewi ketika menerima jabatan tangan Joko.

“Tidak. Ada ibu di dalam!” jawab Joko yang mendahului masuk dan diikuti Watik.

“Bapak?”

“Biasa, masih di kantor!”

Tumben amat! Lama tidak main ke sini. Ke mana saja?” tanya Joko ketika mereka sudah duduk di ruang tamu.

“Tidak ke mana-mana, Mas. Di Yogya saja!”

“Mm.. Dewi.. Tidak dengan Dewi! Dewi ke mana?” Tampaknya Joko berhati-hati dalam melontarkan pertanyaan itu.

“Di kampus. Ya, kebetulan saja hari ini saya kosong. Lalu saya pikir ada baiknya saya jalan-jalan,” jawab Watik dan sedikit merasa tidak enak karena datang tidak dengan Dewi. Sebelumnya, ia datang selalu dengan Dewi.

“Oh, ya. saya beritahu ibu dulu ya?” kata Joko sesudah keduanya terdiam sejenak.

“Terimakasih Mas,” jawab Watik.

Joko beringsut pergi dan tidak lama lagi ibu Dewi datang.

“Eee.. kedatangan tamu. Bagaimana? Sehat?” seru ibu Dewi sambil menjabat tangan Watik.

“Iya Bu, baik-baik saja. Sehat. Ibu juga sehat-sehat saja?” tanya Watik juga yang lalu duduk kembali.

“Puji Tuhan,Tik! Meskipun sudah renta begini, Ibu masih sehat!” jawab ibu Dewi berkelakar.

“Aaaah, Ibu masih tampak muda! Ada-ada saja Bu..” sahut Watik lalu tertawa.

“Eh, Dewi mana Tik?” tanya ibu Dewi sesudah berhenti tertawa. Pertanyaan itu kembali membuat Watik berperasaan sedikit tidak enak.

“Di kampus Bu. Ia ada kuliah. Kebetulan hari ini kosong, sehingga saya jalan-jalan ke sini,” jawab Watik sambil berusaha tenang.

“Nah, begitu Tik… bagus kamu mau berkunjung sendiri. Kalau memang Dewi tidak bisa, ya datang sendiri saja! Ibu malah senang. Ke mana saja selama ini? Kok tidak muncul-muncul? Hampir setahun!”

“Tidak ke mana-mana Bu… “ kata Watik terhenti karena Joko datang dengan membawa nampan yang berisi minuman sirup ABC dan makanan ringan –intip goreng asli Solo.

“Rajin amat, Mas Joko ini..” goda Watik pada laki-laki yang sudah diakrabinya itu.

“Tentu! Memangnya hanya perempuan yang bisa kerja begini?” jawab Joko yang sedang berlutut dan tangannya dengan terampil memindahkan seluruh isi nampan di atas meja.

“Adiknya malah kalah, Tik!” kata ibu Dewi tiba-tiba.

Watik memandang ibu Dewi, tanda belum mengerti.

“Iya.. Dewi tidak seperti Joko ini.. ya pokoknya berbedalah..” lanjut ibu Dewi.

Sesudah mereka bertiga berbicara tentang banyak hal, tiba-tiba ibu Dewi melontarkan pertanyaan yang membuat Watik terkejut, dan tapi itu memang yang ditunggu, meskipun tidak persis seperti itu.

“Ada masalah dengan Dewi, ya Tik?”

“Tidak ada, Bu,” jawab Watik dan sebelumnya tersenyum-senyum. Jawabannya pun nadanya tidak pasti.

“Jujur saja, Tik. Kami malah senang, jika kamu jujur!” timpal Joko.

“Mmm.. iya. Sedikit!” kata Watik kemudian.

“Ya, kami menduga seperti itu, karena kami heran, mengapa Watik tidak pernah datang lagi,” kata ibu Dewi mengutarakan pengamatannya.

“Tapi tidak usah heran atau sakit hati, Tik. Dewi memang begitu,” kata Joko begitu ibunya selesai bicara.

“Maksudnya?” tanya Watik sambil memandang Joko dengan tajam.

“Kami pun sudah lama pusing menghadapi Dewi,” jawab Joko dengan pelan dan diangguki oleh ibunya.

Masalah dengan kamu apa, Tik?” tanya ibu Dewi kemudian.

Tanpa segan, lalu Watik menceriterakan perihal hubungannya dengan Yuni yang memburuk. Tentunya, detail perihal Yuni tetap ia rahasiakan.

“Nah, itu mirip dengan yang kami hadapi! Ya.. bukannya saya ingin mengungkapkan kejelekan anak sendiri, tapi ya.. inilah kenyataan yang kami hadapi,” kata ibu Dewi sesudah Watik selesai bicara.

Ibu Dewi lalu berceritera tentang Dewi, anaknya.

“Sampai kelas satu SMP, Dewi adalah anak yang baik, rajin ke gereja, penurut dan menyenangkan.Tetapi, keadaan Dewi berubah total ketika sebuah peristiwa, yang sebetulnya sederhana saja, terjadi.

Waktu itu, kami sekeluarga bersama dengan keluarga teman ayah Dewi mempunyai rencana untuk liburan ke Bali selama satu minggu. Tentu saja Dewi senang sekali mendengar rencana itu. Segala persiapan kami sudah lakukan, termasuk pesan berbagai hotel di Bali.

Secara tidak terduga, pihak SMP Dewi merubah liburan semester gasalnya, sehingga hari-hari yang direncanakan untuk wisata ke Bali, tidak libur untuk sekolah Dewi, bahkan malah ada ulangan umum.

Menghadapi ini, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Akan membatalkan rencana wisata, jelas sangat sulit karena hotel-hotel sudah dipesan, dan sudah pula dibayar uang muka yang jumlahnya bukan sedikit. Kami pun tidak akan mengecewakan keluarga teman ayah Dewi, yang sudah sekuat tenaga mencari waktu yang tepat di sela kesibukannya yang seabrek-abrek. Akan memintakan izin Dewi supaya tidak masuk sekolah juga sulit, karena alasannya bukan darurat dan apa lagi sedang ada ulangan umum.

Akhirnya kami memutuskan tetap berangkat tanpa Dewi. Memang, kami terasa berat. Dewi sangat-sangat kecewa. Banyak kali saya menjelaskan pada Dewi agar tidak usah kecewa, karena toh ini bukan kesalahan kita, namun memang kebijakan sekolah yang kita tidak tahu-menahu tentang rencana-rencana keluarga para muridnya. Tetapi, sepertinya ia tidak mau mendengarkan penjelasan kami. Ia ngambek. Ia tidak mau lagi berbicara dengan kami semua: ayahnya, saya dan Joko. Akhirnya ia tetap kami tinggal dengan ditemani oleh saudara sepupunya. Untunglah, ia masih mau mengikuti kegiatan sekolahnya. Kami pergi dengan perasaanagak senang. Kami mengira ia bisa memahamipersoalan itu.

Tetapi, ketika kami kembali, yang terjadi sebaliknya. Ia masih bermuram-durja. Diajak omong, tidak pernah menjawab secara menyenangkan. Oleh-oleh yang kami bawakan dari Bali, dilemparkan ke halaman, sambil berseru, “untuk apa semua ini? Semua pembohong! Mau enak sendiri!” Waktu itu saya hanya bisa menebah dada. Ayahnya dan Joko pun tidak bisa berbuat apa-apa. Karena semakin didekati ia semakin marah. Kami tidak ingin memperparah situasi. Akhirnya kami diamkan saja, dengan harapan bisa pulih seiring dengan perjalanan waktu. Syukurlah, nilai ulangannya tetap baik. Ia memang anak yang cerdas, sehingga sepertinya masalah yang dihadapinya tidak mempengaruhi kecerdasan otaknya.

Namun, sejak itu, sikap-perangai Dewi berubah total. Yang saya heran adalah keadaan Dewi itu bertahun-tahun tidak bisa berubah. Seolah-olah kepergian kami ke Bali, masih baru kemarin terus-menerus. Berhadapan dengan keluarganya sendiri ia akan selalu marah. Tetapi, saya juga heran terhadap orang lain, ia tetap baik seperti dulu.

Nah, sampai sekarang Dewi belum berubah. Bayangkan, sejak kelas satu SMP! Sembilan tahun! Ia masih menganggap bahwa keluarganya membohonginya, tidak memperhatikannya. Pada hal… Watik bisa tanya Joko.. betapa kami berusaha sekuat tenaga memperhatikannya, terutama sesudah peristiwa dahulu.

Begitu Tik! Jadi, kalau sekarang kamu mengalamikejadian yang sama dengan yang kami alami, udahlah jangan terlalu dipikir! Nanti malah kamu stress. Ya kan? Begitulah watak Dewi.”

Meskipun ibu Dewi sudah berhenti bicara, Watik masih termenung. Ia sedikit paham tentang sikap Dewi padanya.

“Tik.. kamu kan belajar psikologi! Ya.. siapa tahu, kamu bisa membantu kami untuk memecahkan masalah kami ini. Mmm.. sebenarnya tempo hari saya sudah berpesan pada Dewi supaya mengajakmu ke sini, tetapi tanggapannya dingin. Disampaikan nggak?” kata Joko memecahkan sunyi.

“Benar! Tiga minggu lalu memang Dewi bilang, “kakakku tanya” begitu. Tapi saya kan tidak tahu maksudnya. Ketika aku bilang, “Wi aku mau ikut ke rumahmu!” ia malah bertanya, “ngapain?” Dan akhirnya, karena penasaran, sekarang saya datang sendiri,” kata Watik yang sudah hilang perasaan tidak enaknya.

“Masih untung, ia mau omong begitu. Tapi benar Tik, seperti Joko bilang, mungkin kamu bisa membantu kami,” sambung ibu Dewi.

Sesudah sebelumnya tertawa berderai, Watik berujar, “Bu.. saya sendiri saat ini saya tidak tahu bagaimana lagi harus menghadapinya. Bagaimana bisa saya bisa memecahkan masalah yang sama di sini?”

Ibu Dewi dan Joko pun ikut tertawa.

“Yah.. menurut saya, memang ini soal kepribadian Dewi, Bu. Dewi adalah seorang pribadi yang perfeksionis. Inginnya semua hal terjadi, seperti yang diharapkannya. Yang paling menyakitkan dia adalah kalau orang yang sangat dekat dengannya, --dan ini nyata, yakni keluarganya dan saya sendiri—tidak sesuai dengan keinginannya.” Ingin sekali Dewi melanjutkan penjelasan tersebut seperti kepada Yuni sebelumnya, tapi ia menahan diri.

“Kalau kami, sampai saat sekarang ini, membiarkannya saja dan tidak menganggunya. Hanya saja kami tetap tidak lupa mencukupi kebutuhannya,” kata ibu Dewi begitu Watik berhenti bicara.

“Saya pun demikian Bu. Karena segala cara saya pakai untuk berbicara dengan dia, selalu kandas. Mau apa lagi? Selain… diam? Ya, siapa tahu Bu, suatu saat kita menemukan suatu cara yang tepat..” sambung Watik.

“Memang itu betul. Tapi.. sampai kapan?” tanya Joko pelan sambil memandang ibunya dan Dewi bergantian.

Ibu Dewi hanya diam dan Watik hanya menggelengkan kepala.

***********************

Dengan mengajak ke taman kampus, Watik menceriterakan latar belakang Dewi yang baru diketahuinya pada Yuni. Maksudnya, bukan untuk menjelek-jelekkan Dewi, melainkan agar Yuni bisa memahami secara adil sikap dan perilaku Dewi.

Hallo Watik dan Yuni, sedang apa nih?” tanya seorang perempuan yang memakai jubah putih dan kepalanya bertudung kain putih seperti jilbab.

“Oh, Suster Maria! Tidak sedang ngapa-ngapain. Suster mau ke mana?” Watik berkata sambil memandang Maria yang berjalan semakin dekat.

“Mau ke perpustakaan. Mau ke sana tidak?” tanya Maria lagi sambil melihat Watik dan Yuni berganti-ganti. Watik dan Maria biasa bersama mencari buku di perpustakaan.

“Tidak, Suster. Kami mau pulang ke kost,” jawab Watik yang dibarengi dengan anggukan Yuni sambil tersenyum.

“Ya sudah. Saya kira mau ikut. Yuk!” kata Maria yang langsung meninggalkan mereka.

Mata Watik dan Yuni dengan setia memandang Maria yang berjalan menjauh sampai hilang tertelan gedung perpustakaan.

“Ayo pulang!” ajak Watik yang lalu menggandeng tangan Yuni pergi dari taman.

Dalam perjalanan pulang,terbersit dalam pikiran Watik untuk membicarakan persoalannya dengan suster yang bernama Maria tadi. Kebetulan mereka sama-sama di fakultas Psikologi, sehingga amat memudahkan. Watik ingat persis, di bangku taman tadi itulah, ia bisa menjadi akrab dengan Maria, suster yang menjadi mahasiswi dan menjadi teman seangkatan dan sekelasnya itu.[Suster yang dimaksud di sini bukanlah suster perawat, melainkan biarawati].

*************************

Bersambung ke "Dua Sahabat Karib" (4)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun