Mohon tunggu...
padmono anton
padmono anton Mohon Tunggu... -

saya adalah seorang petani desa di cianjur bagian selatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

(Kembali) Ke Desa?

11 Desember 2010   14:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:49 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah Narasi Kehidupan

Pada suatu sore Agus duduk di teras rumahnya untuk sekedar melepas lelah sesudah bekerja sejak pagi. Ia membaca koran sore. Tetapi ia tidak bisa menikmati bacaannya. Teriakan riuh rendah anak-anak –termasuk dua anaknya-- yang bermain-berkejaran di sepanjang gang depan rumahnya membuatnya bermenung.

Ia memikirkan kenyataan yang dihadapi selama tinggal di Jakarta, khususnya di sekitar rumahnya. Rumah-rumah demikian padat, sehingga hampir tidak ada celah kecuali jalan dan gang sempit. Untuk memenuhi kebutuhan bermain, anak-anak terpaksa menggunakan gang dan jalan. Ia makhlum. Tak tersedia ruang terbuka, baik pribadi maupun publik, terutama untuk kalangan ekonomi bawah.

Kemudian, pikirannya melayang ke desa yang ditinggalkannya sepuluh tahun lalu. Rumah-rumah terletak berjauhan dan berpekarangan luas. Sekilas ia membayangkan ia dan keluarganya menetap di desa, dan kedua anaknya tidak susah mencari tempat dan bahan untuk bermain. Tetapi bayangan itu ditepisnya. Bagaimana ia harus menghidupi istri dan anaknya? Apakah pertanian bisa menghidupi keluarganya? Bagaimana tanggapan orang tua dan para tetangganya di desa? Bukankah jaman memang sudah berubah, dan tidak tepat merindukan keadaan seperti masa lampau?

Hari-hari berlalu. Suatu hari ia terjebak dalam sebuah kemacetan yang lama dan membosankan. Ia bermenung. Ia menyalahkan pemerintah yang tidak menyediakan fasilitas jalan yang tidak sebanding dengan jumlah kendaraan. memahami betapa tidak mudah pemerintah menyediakannya bila ditinjau dari berbagai segi. Ia menyalahkan banyaknya orang yang memiliki kendaraan pribadi, sehingga betapapun Jakarta mempunyai banyak jalan lebar, tetap tidak akan mampu menampung berjubelnya kendaraan pribadi. Tapi, ia buru-buru berpikir, pemilik kendaraan kendaraan tidak bersalah. Bukankah mereka bebas menggunakan uangnya untuk apa saja, termasuk membeli kendaraan, asalkan masih dengan cara yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral? Ia menyalahkan orang-orang yang beramai-ramai merantau ke Jakarta. Jakarta menjadi penuh sesak. Tapi, ia mengoreksi tuduhannya. Bukankah setiap orang boleh tinggal di mana saja untuk kelangsungan hidupnya asalkan dengan cara-cara yang benar? Dan itu termasuk dirinya sendiri? Ia menyalahkan mengapa fasilitas-fasilitas yang mendukung untuk hidup tersedia lebih lengkap hanya di Jakarta, sehingga banyak orang tertarik ke Jakarta…. Ia dipusingkan oleh permenungannya sendiri. Akhirnya, gagasannya untuk kembali ke dan tinggal di desa sekonyong-konyong muncul kembali. Tetapi, pertanyaan-pertanyaan yang dahulu telah menenggelamkan gagasan itu, juga muncul kembali dan lagi-lagi menenggelamkannya lebih dalam. Ia menyimpulkan, bahwa ia memang harus berjuang keras untuk memaknai hidup di tengah persaingan yang keras di Jakarta. Mau tidak mau! Hidup memang harus dan untuk berjuang, kemudian menang.

Sekali waktu ia merenungkan orang-orang di sekitar perempatan-perempatan jalan raya yang hampir selalu disaksikan bila berangkat dan pulang kerja. Ada pengamen, pengemis, pedagang asongan, pemulung dan mungkin pencopet, serta bahkan anak-anak kecil usia sekolah. Ia mempertanyakan alasan mereka sampai menjadi seperti itu. Apakah mereka tidak mau bekerja keras seperti dirinya, sehingga berhasil? Apakah mereka tidak tahu bahwa tindakan mereka mengganggu ketertiban umum? Mengapa mereka tidak mencari pekerjaan yang layak dan baik? Pokoknya, ia menilai bahwa mereka tidak kreatif dan menjadi masalah bagi orang-orang lainnya. Tetapi, kemudian ia berpikir bahwa masuk akal juga jika mereka akhirnya terpaksa harus berbuat seperti itu. Mereka tidak mampu bersaing dengan lain. Mereka adalah kelompok yang kalah, sedangkan dirinya adalah salah satu dari kelompok yang mengalahkan mereka. Kemudian ia bertanya lagi, kalau tahu sudah kalah mengapa mereka tidak mencari ke tempat lain, ke desa misalnya. Mengapa? Mengapa? Ia bingung… tidak tahu jawabannya.

Kemudian tercetus dalam pikirannya, bukankah kalau ia sendiri meninggalkan Jakarta, berarti memberi kesempatan yang kalah itu untuk bisa menang, meskipun hanya satu orang? Mengalah bukan berarti kalah, pikirnya teringat kearifan nenek moyangnya. Ya, itulah salah satu cara untuk membantu kesulitan orang lain. Baru saat itu dirinya merasa terpanggil untuk turut meringankan beban orang lain secara agak berbeda dari yang sudah lazim. Ia membantu orang lain tidak dengan memberikan harta kekayaannya, melainkan dengan meninggalkan/mengurbankan kesempatan bisa hidup layak di kota, supaya dinikmati orang lain. Ia sadar bahwa langkah sosial itu mungkin agak sulit dipahami oleh orang lain, dan bahkan akan ditertawakan. Ia sadar pula bahwa hal itu mengandung konsekuensi positif-negatif yang mesti ditanggungnya. Namun keputusannya sudah bulat. Ia ingin menetap di desa dengan bekerja sesuai dengan keadaan desa. Dan dengan bekal pengalaman di kota ia berharap menemukan alternatif-alternatif penghidupan di desa. Ia mengerti, sebagaimana di kota, hidup di desa pun perlu berjuang keras.

Masih ada persoalan yang mengganjal keputusannya. Bagaimanakah tanggapan istrinya? Apakah anak-anaknya mau beralih dari kehidupan kota ke kehidupan desa? Apakah orang tuanya di desa bisa memahami karena selama ini bangga akan dirinya yang dianggap berhasil di kota?

Ia menyadari bahwa keputusannya itu belum final, karena mesti disampaikan kepada istri dan anak-anaknya juga orang tuanya terlebih dahulu. Dengan cara penyampaian yang tepat, cermat dan simpatik, ia berharap keluarganya bisa memahaminya dan lalu mendukungnya secara nyata. Memang, ia bertekad bahwa tidak akan memaksakan kehendaknya kepada keluarganya. Apa bila keluarganya tidak atau belum setuju untuk kembali ke desa, ia akan lebih mengutamakan keluarganya dari pada mengikuti gagasannya. Akan tetapi, ia sungguh berharap bahwa keluarganya bisa memahaminya dan mengikutinya. Sebab hal itu bukanlah untuk keuntungan diri dan keluarga semata, melainkan juga orang lain. Ok, kita doakan aja semoga ia bisa memutuskan dengan tepat dan bijak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun