Akhir-akhir ini muncul teori Herd Immunity (membiarkan penularan terjadi tanpa harus dilakukan langkah-langkah penekanan, sehingga terbentuk imunitas kelompok = Covid-19 akan berhenti), yang dipopulerkan perdana menteri Inggris Boris Johnson, dimana akhirnya dia sekarang menyerah dan melakukan lockdown juga, hahaha.
Darisini saja sudah bisa kita ambil kesimpulan bahwa Herd Immunity adalah strategi gila dan tidak bisa diterapkan di kasus Covid-19.
Kenapa? Karena Herd Immunity bukanlah strategi, tetapi hasil akhir Covid-19 bila vaksin sudah ditemukan, yaitu semua orang divaksin sehingga terjadi imunitas kelompok dan Covid-19 berhenti.
Ketika Herd Immunity/penularan dibiarkan saja tanpa ditekan, dijadikan strategi, maka yang terjadi adalah depopulasi (pengurangan penduduk) dengan kecepatan tinggi.
Kenapa? Karena keterbatasan fasilitas medis/kesehatan.
Contoh perhitungan sederhana untuk Indonesia :
- Penduduk Indonesia berjumlah 270 juta, dimana bila sesuai teori Herd Immunity diperlukan 60-70% terinfeksi untuk membentuk imunitas kelompok, maka setidaknya 150juta penduduk harus terinfeksi.
- Bila 10%nya mengalami gejala sedang berat dan harus dirawat di RS, maka 15 juta penduduk memerlukan tempat tidur rumah sakit.
- Dengan perbandingan tempat tidur RS di Indonesia yang 1,2:1000 (1 tempat tidur Rumah Sakit per 1000 penduduk), maka hanya ada 320ribu tempat tidur rumah sakit di Indonesia, yang mana di hari biasa saja sudah penuh dan antri-antri
- Katakanlah 10% tempat tidur di RS bisa dialokasiken untuk Covid-19, maka hanya ada 32ribu tempat tidur. Kita bulatkan 30ribu untuk mudahnya.
- Waktu pulih/sembuh rata-rata dari Covid-19 adalah 2 minggu
- 15 juta penduduk yang perlu tempat tidur rumah sakit dibagi 30ribu tempat tidur yang tersedia, kita dapatkan angka 500
- 500 dikali 2 minggu = dibutuhkan 1000 minggu atau 192 tahun agar semua penduduk yang terinfeksi bisa ditangani di rumah sakit! hahaha
*penambahan rumah sakit darurat seperti wisma atlet hanya untuk kasus ringan-sedang (karena hanya dijaga relawan dan tenaga medis yang bertugas disana minimal), sebagian kasus sedang hingga berat tetap harus dirujuk ke rumah sakit, dimana angka di dunia saat ini adalah 10-20% kasus harus dirawat di Rumah Sakit.
*perbandingan tempat tidur rumah sakit dan tenaga medis di Indonesia tidak merata karena terkonsentrasi di kota-kota besar, dan hanya RS tertentu yang boleh menerima pasien Covid-19.
Memang vaksin akan tersedia 1 tahun lagi jadi tidak perlu menunggu 192 tahun, pertanyaannya, dengan membiarkan penularan terjadi tanpa ditekan dengan langkah-langkah lockdown, dll, apakah bisa kita menjaga jumlah orang yang masuk rumah sakit tetap rendah dan mencukupi kapasitas untuk setahun kedepan?
Sedangkan menurut artis Andrea kemarin, dengan 300 kasus positif di Jakarta saja, sudah banyak yang ditempatkan di lorong.
Baru 300, dan itu di Jakarta!
Jadi 10% tempat tidur Rumah Sakit dialokasikan untuk Covid-19 sudah termasuk mimpi, di lapangan bisa jadi turun menjadi 5% bahkan 1%, artinya setiap 2 minggu kita hanya memilik 3000 tempat tidur baru di Rumah Sakit yang bisa menampung pasien Covid-19 (atau sekitar 400 per hari) di seluruh Indonesia dan jumlah yang sembuh harus sama dengan kasus baru.
Bila 80% tidak perlu masuk rumah sakit, maka kapasitas maksimal kita adalah 2000 kasus baru setiap harinya di seluruh Indonesia. Lebih dari itu, maka tamatlah riwayat kita.
Hal ini belum mempertimbangkan kesediaan kamar ICU (yang dibutuhkan 10% kasus positif) dan ventilators, yang menurut WHO, Indonesia memiliki angka ketersediaan terendah di wilayah Asean.
Apalagi kalau yang positif ga sembuh-sembuh karena diagnosa dan pengobatan terlambat, akses obat terhambat, protokol pengobatan tidak jelas, maka semakin menumpuk di rumah sakit.
Jadi sudah jelas Herd Immunity tidak bisa digunakan untuk kasus Covid-19.
Daripada Herd Immunity, lebih baik kita melakukan rapid test dan akses obat massal dan komersial. Massal dalam artinya semua orang dapat mengaksesnya baik melalui jalur gratis BPJS maupun komersial melalui apotek2, klinik2, rumah sakit dll, sehingga semua yang bergejala bisa segera ditest dan terjadi diagnosa dan pengobatan dini.
Diagnosa dini adalah kunci keberhasilan menangani Covid-19. Bila seseorang segera tahu dia positif, dia akan lebih mau untuk mengisolasi diri dan segera mendapatkan pengobatan (baik membeli karena tersedia luas di apotek, maupun melalui klaim BPJS), sehingga tidak sampai parah dan perlu dirawat di Rumah Sakit.
Bila rapid test hanya untuk orang tertentu apalagi kaum elit politik saja, maka sudah jelas dan tidak perlu kita repot2 berdebat untuk strategi apa untuk menghadapi Covid-19 lagi, karena itu artinya para elit telah memilih strategi depopulasi (pengurangan penduduk) untuk menangani wabah ini.
Kaum elit politik tersebut benar-benar mewakili rakyat dalam segala hal, termasuk untuk tetap hidup, hahaha
WongCilik123
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H