"Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, selat, dan teluk."
Di atas adalah penggalan pidato bersejarah Bapak Jokowi ketika dilantik menjadi orang nomor satu di Indonesia.
 "Sehingga jalesveva jayamahe, di laut kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu kembali membahana," lanjutnya.
Diiringi tepuk tangan riuh, harapan dan suka cita.
Terbayanglah. Bagaimana seluruh Nusantara tersambung oleh kapal-kapal raksasa 'tol laut'. Singgah pada pelabuhan-pelabuhan laut dalam. Yang kapalnya bersih, produk lokal tapi kualitasnya internasional. Yang membawa sapi. Yang membawa semen dan beras ke ujung Papua. Yang membawa buah merah ke Merauke. Dikawal oleh angkatan laut yang perkasa. Yang bisa menjaga ikan dan menenggelamkan para pencuri.
***
Beberapa tahun kemudian, pada suatu sore di bulan September tahun 2016. Menjelang malam. Bapak Luhut selaku 'menteri utama' negara ini, menyatakan bahwa reklamasi Teluk Jakarta akan segera dilanjutkan dengan cara saksama dan dalam tempo yang tidak lama lagi. Karena sudah 'dikaji', walaupun belum jelas kajian itu diselenggarakan kapan dan di mana, dan menghadirkan ustadz siapa.
Soalan itu memang tidak terlalu mengejutkan, sebab publik sudah bisa menduga. Dan sudah semakin pintar menduga. Ahai. Paling-paling ada pro dan ada kontra.
Hal itu biasa saja dan masing-masing sudah punya alasan.
Bagi yang menolak, terutama ya karena lingkungan hidup. Sudah pernah dilakukan kajian beberapa tahun silam dan hasilnya: JANGAN. Itu sudah cukup sebenarnya, karena kajian itu dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup yang dipenuhi oleh para ahli.
Bisa saja studi seperti itu diulang dengan cara seksama dan dalam tempo yang tidak terburu-buru, tapi bisa-bisa hasilnya malah: JANGAN BANGED. Duh.