Hujan membanjir di akhir September, terkenang juga duapuluh satu tahun, saya dibesarkan bersama sebuah foto yang tertempel di dinding. Saudara tentu mengenalnya. Ya, bapak itu. Kakek itu. Jendral yang memimpin indonesia selama tigapuluh dua tahun. Soeharto.
Bukan saya mengatakan diam-diam presiden kita yang sekarang memiliki banyak kesamaan dengan eyang kita itu, sama sekali bukan. Bukan saya hendak menyalahkan bahwa banjir menggila adalah akibat pemimpin yang memuja keanggunan.
Setelah gegap gempita 98 itu, yang perlahan-lahan mulai mereda, agaknya kita telah melihat suatu settlement, dimana kondisi berangsur normal. Mencapai garis datar setelah kekacauan, setelah biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama investasi yang disebut reformasi. Dalam bahasa teknis para insinyur, ini adalah kondisi steady state.
Hasilnya, KKN, yang konon kita sinis dan benci itu ternyata tetap kita saksikan dalam keseharian. Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Hantu yang pernah kita usir dengan membakar ber-ton-ton kemenyan. Namun sebagaimana buta Cakil yang selalu bangkit untuk mencegat ksatria di hutan larangan. Bahkan KKN ini lebih sakti lagi. Karena ia tidak hidup di hutan.
Adalah masyarakat dengan nilai kekeluargaan yang kental, dengan mengesampingkan apa saja.
Supaya saya tidak membuat klaim yang tanpa didasari fakta, saya menceritakan pengalaman pribadi saja. Di tahun 2010 ini, masih saja seorang kawan bercerita, bahwa ia hendak memperjuangkan istrinya untuk menjadi seorang PNS. Tidak dengan membeli soal-soal test masuk pegawai yang tersedia di toko buku, melainkan dengan bantuan kerabatnya. Yang diharapkan mempengaruhi bukan saja apakah test nya lolos atau tidak, bahkan sampai dimana istrinya itu akan ditempatkan.
Adalah ketika seseorang bisa bangga dan senang ketika, berkat kerabatnya yang pejabat tinggi, ia diistimewakan ketika berurusan dengan sebuah institusi. Ini kisah seorang kerabat yang kerja di perkapalan.
Adalah jiwa-jiwa dalam birokrasi yang merasa memiliki negara. Beberapa waktu yang lalu, istri saya dibisiki oleh koleganya: untuk mengurus surat itu, selipkan 50 ribu di dalam mapnya.
Adalah loket-loket yang masih seperti sedia kala. Ketika saya mengurus balik nama kendaraan bermotor, saya diminta 30 ribu di sebuah loket. Saya bilang, pak, uang saya terbatas. Tidak ada sebanyak itu, bagaimana kalau 15 ribu saja. Dengan muka kecut, sang petugas mengasihani dan menerima 15 ribu itu. Tanpa tanda terima, tanpa tanda tangan.
Adalah ketika perilaku korupsi tidak dianggap aneh. Ketika tetangga saya bernegosiasi dengan seorang kepala sekolah, mengenai perpindahan anaknya, dari satu sekolah ke sekolah lain. Tetangga saya berkata, sama-sama butuh. Ia butuh anaknya segera sekolah. Sekolah butuh dana untuk membeli semen. Dan guru butuh dana untuk sesuatu yang tidak ia ceritakan. Fair, katanya.
Adalah ketika masyarakat tak begitu sensitif terhadap yang halal dan yang haram, walau mayoritas penduduk di besarkan dalam ajaran ini. Kecuali soal alkohol dan daging babi. Terlebih ketika menjadi terlalu taat terhadap agama bisa dianggap teroris, lebih baik sedang-sedang saja.
Adalah ketika demokrasi tak juga mengobati. Dalam suatu aspek justru merupakan desentralisasi perilaku korup yang dahulunya menjadi privilege bagi segelintir orang saja. Seantusias ketika semua orang boleh beraspirasi, semua orang pun berkorupsi. Bisa saja, semakin terpencil daerahnya, semakin ganas korupsinya. Begitu cerita kerabat saya seorang dokter di sebuah pulau di pinggir Indonesia.
Adalah Cakil yang tak hanya hidup dihutan atau di institusi negeri, tetapi juga di toilet kita sendiri.
Hingga pemimpin-pemimpin menyadari suatu kenyataan. Bahwa memerangi KKN tak mudah menghasilkan prestasi yang mendongkrak kepercayaan. Dan mulai mencari musuh lain yang lebih setimbang. Katakan komunisme, katakanlah terorisme.
Maka, di sela air menaik mengepungmu, kenang kembali wajah sang jendral. Di dinding itu, di masa itu. Yang tak mengajar. Hanya menegaskan apa yang mudah dihayati.
Kota tergenang, 26 September 2010. Gambar diambil dari sini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI