Mohon tunggu...
Pak Cilik
Pak Cilik Mohon Tunggu... Pegiat Teknologi Informasi -

berpikir, berbagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengejar Burung

5 September 2010   23:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:25 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dua atau tiga tahun kota ini macet total – demikian terbaca dari selembar koran waktu itu. Ramalan yang tak mengejutkan, tak juga meragukan, mengingat kemacetan sudah akrab dengan penghuninya. Baik ketika lampu merah, pasar tumpah, atau ada pejabat lewat.

[caption id="attachment_250530" align="alignleft" width="120" caption="Kuda itu (sumber : wikipedia)"][/caption]

Hanya sejenis cerita bahwa buminya semakin panas, yang juga dirasakan tahun ke tahun. Kecuali di dalam rumah kelas menengah ke atas, dan kendaraan atau kantor-kantor dengan AC. Asal bukan diluarnya, di dekat kipas yang hangat-hangat kuku.

Adalah kita yang memimpikannya. Sebab ada falsafah Jawa yang agaknya di anut secara nasional bahkan mungkin global bahwa keberhasilan anak Adam disimbolkan dalam tiga hal : wisma (rumah), turangga (kuda) dan kukila (burung piaraan). Bahwa pertama-tama ia harus mengusahakan tempat berteduh: wisma, rumah itu. Termasuk memasang kotak listrik yang menyemburkan hawa dingin dan hawa panas sekaligus, dengan beberapa ribu, puluh ribu tambahan biaya setiap bulannya.

Ketika rumah sudah ada, ada baiknya membeli kendaraan (turangga). Pertama-tama yang rodanya dua, kemudian ditambah dua lagi. Apabila dua hal tersebut telah dicapai, saatnya mengusahakan aktualisasi puncak yaitu memelihara burung. Disibukkan dengan burung(-burung) , tanpa mengkhawatirkan lagi bagaimana mendapatkan pakannya, juga makan, tentulah status yang nyaman. Siapa yang tak mau.

Instink sederhana itu maujud dimana-mana. Juga pada tempo hari pemerintah mengusahakan kendaraan yang lebih baik untuk menteri-menteri. Ada empati di situ. Bahwa pengambil kebijakan berusaha memenuhi hasrat manusia yang membutuhkan kuda, bukan hanya untuk berpindah saja, juga untuk kilaunya, kilap-kilatnya itu - pamor. Dan ketika manusia yang biasa maupun berkuasa rajin mendengarkan suara bawah sadar, maka yang muncul adalah jalan tol dimana-mana. Mulus-mulus. Megah-megah. Benar bahwa jalan tol itu untuk truk-truk raksasa yang membawa barang-barang kebutuhan. Tapi tak dapat dipungkiri, jalan tol juga untuk kuda-kuda pribadi. Yang biasa maupun berkuasa.

Seorang kawan, penggelut ilmu alam, berandai-andai pemerintah menyukai rel-rel dan kereta api. Karena kereta bergandeng-gandeng dapat membawa barang yang lebih banyak dengan membakar lebih sedikit karbon. Logika itu benar, tetapi yang lebih menghayati kebenarannya pastilah para penjajah. Sebab jalan-jalan untuk kereta api rata-rata diwariskan oleh mereka. Sedang sekarang, kebenaran demokrasi memunculkan apa yang secara kolektif ada di benak masyarakat. Yakni bahwa kereta api tak pernah ada dalam filosofi keberhasilan manusia, malah cenderung identik dengan kesengsaraan. Adalah mobil, atau bagi yang kurang mampu, motor saja. Yang tidak hanya mengangkut tapi juga dipandang (tak jemu). Atau dimandikan.

Walaupun saya yakin, kecenderungan kita untuk menyukai kendaraan pribadi turut memperkaya para penjajah kita di masa lampau. Sebab kita tak jua menciptakan mimpi itu dengan berpeluh atau berpusing-pusing, cukup membeli saja. Mengabadikan suatu aspek dalam hubungan kita dengan mereka.

Masih sejalan dengan instink dasar itu pula, dalam skala mikro, sebagai seorang buruh, pertama-tama saya akan memilih untuk berkuda dengan sepeda motor. Bukan untuk mudik di jalur pantura. Sumpah. Saya tak sebernyali para kolega saya yang mempertaruhkan diri dan sanak keluarganya dia atas kuda bising yang gampang oling. Di kerumunan gerobak-gerobak raksasa dengan lampu yang menyilaukan.

Sepeda motor irit sekali. Saya berharap dapat memangkas ongkos bis dan angkutan kota, sampai suatu masa saya memiliki tabungan untuk DP KPR.

Kemudian, ketika saya memiliki rumah, mulailah mencari informasi bagaimana memiliki kuda, yang jelas dengan cara mencicil juga. Mau bagaimana lagi. Kan bukan anak turun Pak Bakrie. Kemudian kalau sudah, boleh juga memelihara burung-burung, apabila saya memang suka. Sementara itu, tanah-tanah kosong semakin langka dan jalanan riuh.

Tapi tunggu, belakangan ini, aneh bin ajaib. Hujan terjadi sepanjang tahun. Udara tak begitu panas, paling tidak saat hujan sudah benar-benar turun. Cukup memasang kipas exhaust 300 ribu rupiah untuk membuat malam menggigil. Irit listrik pula. Kecuali anak saya yang agak kegemukan, berkeringat mencerna susu formula lisensi bekas penjajah yang disodorkan kala ia menangis. Tak apalah, ibunya rajin mengoleskan bedak. Yang penting suatu saat ia saya bawa pulang kampung, tak teriak-teriak ia minta AC.

Mudah-mudahan, dua atau tiga tahun lagi. Ketika saya terbangun dalam dengung kipas exhaust yang semakin uzur, saya dapat melihat keluar jendela. Mawar berkembangan disuburkan hujan. Garasi yang ada kuda berkaki empat. Asal bukan yang dari kaleng kerupuk saja. Dan jalanan belum lagi macet total.

Jakarta pinggiran, menjelang lebaran 2010 (1431 H).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun