[caption id="attachment_74377" align="alignright" width="285" caption="presiden (detik.com)"][/caption]
Gerimis pada pagi basah, di lapangan Monas, hari Sabtu tiga belas Februari dua ribu sepuluh. Langit dilukisi awan putih dan kelabu, sembunyinya mentari membuat hari setengah terang saja. Angin semilir, menggugur tetes air dari dedahan dijejak burung-burung yang enggan kedinginan.
Saat khidmat untuk bersembunyi di balik selimut, membakar kelelahan akhir pekan menjelang tahun baru Imlek.
Tapi tidak demikian lelaki itu.
Dimantapkan langkah kakinya menuju podium, ditatapnya ribuan muka di depannya, dan diyakinkan kesungguhan di wajahnya sendiri.
Tentang gerimis dan hujan, ia berkata,
"Alhamdulillah, meskipun pagi ini gerimis hujan datang, dan semoga pagi ini hujan barokah. Ini menandakan bahwa Allah SWT meridhoi niat dan cita-cita baik kita dalam zikir dan doa untuk negeri yang sama-sama kita cintai. Insya Allah sekali lagi hujan ini adalah barokah dan anugerah dari Allah SWT,"
Ia adalah Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, presiden Republik Indonesia, yang berpidato di depan ribuan umat yang dinamakan Majelis Dzikir Nurussalam.
Sering memang, kejadian alam mengundang tafsir tertentu. Lagi pula, dzikir akbar itu dihadiri oleh habaib (para keturunan Nabi Muhammad SAW). Bagi sebagian orang, habaib memiliki kedudukan spiritual yang khusus. Tidak berlebihan Pak Presiden menafsirkan hujan di lapangan yang banyak habibnya itu sebagai barakah.
Namun rupanya, dalam menafsir hujan, para habib itu malah sedikit berbeda dengan Pak Presiden. "Pindahkan hujan dari tempat ini. Jadikan tempat ini tempat yang maslahat bagi kami," ujar seorang habib, yang diikuti dengan "Aamiin" dari hadirin.
Para habib itu, malah tidak sekebatinan Pak Presiden yang orang Jawa, dalam menafsirkan kaitan hujan dan sekerumunan manusia di lapangan. Perlu diketahui, dalam filosofi Jawa, prihatin adalah dengan menderita, demi suatu kejayaan di masa mendatang. Jangankan sekedar kehujanan, dari berpuasa mutih, berendam di telaga bermalam-malam, bahkan konon ada yang puasa empat puluh hari empat puluh malam.