Mohon tunggu...
Pak Cilik
Pak Cilik Mohon Tunggu... Pegiat Teknologi Informasi -

berpikir, berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tuhan, Gerimis, dan Presiden

14 Februari 2010   17:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:55 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_74377" align="alignright" width="285" caption="presiden (detik.com)"][/caption]

Gerimis pada pagi basah, di lapangan Monas, hari Sabtu tiga belas Februari dua ribu sepuluh. Langit dilukisi awan putih dan kelabu, sembunyinya mentari membuat hari setengah terang saja. Angin semilir, menggugur tetes air dari dedahan dijejak burung-burung yang enggan kedinginan.

Saat khidmat untuk bersembunyi di balik selimut, membakar kelelahan akhir pekan menjelang tahun baru Imlek.

Tapi tidak demikian lelaki itu.

Dimantapkan langkah kakinya menuju podium, ditatapnya ribuan muka di depannya, dan diyakinkan kesungguhan di wajahnya sendiri.

Tentang gerimis dan hujan, ia berkata,

"Alhamdulillah, meskipun pagi ini gerimis hujan datang, dan semoga pagi ini hujan barokah. Ini menandakan bahwa Allah SWT meridhoi niat dan cita-cita baik kita dalam zikir dan doa untuk negeri yang sama-sama kita cintai. Insya Allah sekali lagi hujan ini adalah barokah dan anugerah dari Allah SWT,"

Ia adalah Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, presiden Republik Indonesia, yang berpidato di depan ribuan umat yang dinamakan Majelis Dzikir Nurussalam.

Sering memang, kejadian alam mengundang tafsir tertentu. Lagi pula, dzikir akbar itu dihadiri oleh habaib (para keturunan Nabi Muhammad SAW). Bagi sebagian orang, habaib memiliki kedudukan spiritual yang khusus. Tidak berlebihan Pak Presiden menafsirkan hujan di lapangan yang banyak habibnya itu sebagai barakah.

Namun rupanya, dalam menafsir hujan, para habib itu malah sedikit berbeda dengan Pak Presiden. "Pindahkan hujan dari tempat ini. Jadikan tempat ini tempat yang maslahat bagi kami," ujar seorang habib, yang diikuti dengan "Aamiin" dari hadirin.

Para habib itu, malah tidak sekebatinan Pak Presiden yang orang Jawa, dalam menafsirkan kaitan hujan dan sekerumunan manusia di lapangan. Perlu diketahui, dalam filosofi Jawa, prihatin adalah dengan menderita, demi suatu kejayaan di masa mendatang. Jangankan sekedar kehujanan, dari berpuasa mutih, berendam di telaga bermalam-malam, bahkan konon ada yang puasa empat puluh hari empat puluh malam.

Tidak seperti orang Jawa yang secara natural memaknai penderitaan, para habib itu mungkin saja berpikir sepragmatis ini: hujan itu dapat menyebabkan hadirin masuk angin sepulangnya. Dan barakahnya hanya bisa difahami apabila kita memperhitungkan warung-warung yang menjual obat flue, produsen obat-obat flue dan dokter yang dibayar untuk menyembuhkan flue.

Islam memang memiliki sisi-sisi kebatinan (tasauf), tapi bagi yang mendalaminya, akan mudah menemukan sisi-sisi pragmatisnya.

***

Di Jakarta juga, bahkan beberapa jam sebelum para pedzikir itu berkumpul, sekian kilometer dari kesyahduan rumput basah di lapangan itu, ada orang-orang yang tidak perlu berpikir mendalam untuk menafsirkan hujan. Karena Tuhan telah menyibakkan makna hujan itu sejelas-jelasnya.

Sejelas gemericik air yang mengalir di bawah kasur dan sedingin rasa kepala bila air telah menembus bantal. Mereka adalah para penghuni bantaran Kali Ciliwung yang membelah ibukota.

Pukul 03.00 dinihari, sepertiga malam yang terakhir, adalah saat dzikir paling didengar Tuhan bagi umat Islam. Namun saat itu juga hujan-Nya lebih deras di kota-kota lain sekitar Jakarta. Di pagi buta banjir kiriman dari Bogor sudah menerjang kawasan Kalibata. Memang kawasan itu adalah "langganan banjir", bahkan kita – atau para penghuni itu pun, tidak pernah kaget dengan kenyataan itu. Dan seolah tiada perlu merasa kaget.

Nampaknya kita sering mendoakan para pahlawan, namun lupa untuk berdoa agar kawasan di sekitar makam mereka tidak terlalu sering dikunjungi banjir.

Di Rawajati, Pancoran, banjir di pagi itu setinggi paha orang dewasa.  Masih  untung, karena yang ditakuti warga Pancoran tentunya adalah banjir yang setinggi lutut Patung Pancoran.

Di Kampung Pulo, Kampung Melayu, sebelum subuh para warga melakukan "ritual tahunan" untuk menyelamatkan diri dan harta benda dari derasnya air, ke sekolah, rumah sakit, atau gereja. Tempat-tempat yang dikasihi Tuhan.

Di atas hanya sekelumit berita banjir di Ibukota. Banjir-banjir di kota lain, bahkan yang meminta korban jiwa, dapat kita saksikan sembari sarapan. Bukan hanya hari itu saja.

Tidak salah menafsirkan hujan sebagai barakah. Nyatanya, bagi para petani, di saat-saat tertentu, hujan memang dirindukan. Demikian pula di pembangkit listrik di waduk-waduk, hujan adalah berkah untuk menyalakan lampu-lampu.

Namun apabila gerimis telah sering menjelma banjir, selain doa dan dzikir, kiranya perlu muhasabah (evaluasi diri), ikhtiar (kerja keras) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) untuk dapat memaknai hujan sebagai barokah. Bukan Presiden saja,  bukan para habib, bukan satgas anti mafia perbanjiran saja, banjir adalah urusan kita semua, urusan NKRI.

Memang seperti pada pidato-pidatonya, termasuk di lapangan monas itu, presiden kita adalah seorang jendral yang jeneralis, memikirkan hal-hal yang umum dan abstrak, dan menyukai pendekatan tidak langsung terhadap masalah. Gemar mempercayakan masalah pada yang bertanggung jawab, atau membentuk tim untuk bertanggungjawab pada suatu masalah.

Mudah-mudahan saja, seruan dizikir di lapangan Monas itu, terpancar juga ke udara, menyelinap ke balik awan dan terdengar di arsy Allah, dzat yang bertanggung jawab akan hujan dan gerimis, dan kuasa memutar-mutar hati. Hingga Ia menggugah hati kita untuk lebih cermat membaca gerimis dan menyadari pentingnya mencegah dan memberantas banjir. (PCL).

Artikel ini diterbitkan pula di Blog Sahabat Debu dan Kompasiana

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun