Tidak seperti orang Jawa yang secara natural memaknai penderitaan, para habib itu mungkin saja berpikir sepragmatis ini: hujan itu dapat menyebabkan hadirin masuk angin sepulangnya. Dan barakahnya hanya bisa difahami apabila kita memperhitungkan warung-warung yang menjual obat flue, produsen obat-obat flue dan dokter yang dibayar untuk menyembuhkan flue.
Islam memang memiliki sisi-sisi kebatinan (tasauf), tapi bagi yang mendalaminya, akan mudah menemukan sisi-sisi pragmatisnya.
***
Di Jakarta juga, bahkan beberapa jam sebelum para pedzikir itu berkumpul, sekian kilometer dari kesyahduan rumput basah di lapangan itu, ada orang-orang yang tidak perlu berpikir mendalam untuk menafsirkan hujan. Karena Tuhan telah menyibakkan makna hujan itu sejelas-jelasnya.
Sejelas gemericik air yang mengalir di bawah kasur dan sedingin rasa kepala bila air telah menembus bantal. Mereka adalah para penghuni bantaran Kali Ciliwung yang membelah ibukota.
Pukul 03.00 dinihari, sepertiga malam yang terakhir, adalah saat dzikir paling didengar Tuhan bagi umat Islam. Namun saat itu juga hujan-Nya lebih deras di kota-kota lain sekitar Jakarta. Di pagi buta banjir kiriman dari Bogor sudah menerjang kawasan Kalibata. Memang kawasan itu adalah "langganan banjir", bahkan kita – atau para penghuni itu pun, tidak pernah kaget dengan kenyataan itu. Dan seolah tiada perlu merasa kaget.
Nampaknya kita sering mendoakan para pahlawan, namun lupa untuk berdoa agar kawasan di sekitar makam mereka tidak terlalu sering dikunjungi banjir.
Di Rawajati, Pancoran, banjir di pagi itu setinggi paha orang dewasa. Masih untung, karena yang ditakuti warga Pancoran tentunya adalah banjir yang setinggi lutut Patung Pancoran.
Di Kampung Pulo, Kampung Melayu, sebelum subuh para warga melakukan "ritual tahunan" untuk menyelamatkan diri dan harta benda dari derasnya air, ke sekolah, rumah sakit, atau gereja. Tempat-tempat yang dikasihi Tuhan.
Di atas hanya sekelumit berita banjir di Ibukota. Banjir-banjir di kota lain, bahkan yang meminta korban jiwa, dapat kita saksikan sembari sarapan. Bukan hanya hari itu saja.
Tidak salah menafsirkan hujan sebagai barakah. Nyatanya, bagi para petani, di saat-saat tertentu, hujan memang dirindukan. Demikian pula di pembangkit listrik di waduk-waduk, hujan adalah berkah untuk menyalakan lampu-lampu.