Isu tentang bagaimana Undang-Undang Cipta Kerja yang baru saja diundangkan oleh DPR menjadi permasalahan yang hangat dibincangkan beberapa kalangan masyarakat. Beberapa dari mereka pun turut menyampaikan aspirasi mereka yang dirasa tidak tersampaikan kepada wakil rakyat mereka, sehingga mereka turun ke jalan dan berdemonstrasi.
Kini, UU Cipta Kerja hampir kecil kemungkinan bagi DPR untuk mengubahnya lagi, sementara Presiden tidak melihat adanya urgensi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk mengatasi keresahan masyarakat tentang UU tersebut. Satu-satunya jalan kini yang dapat diambil masyarakat atas keresahan mereka adalah dengan mengajukan permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Walaupun demikian, masyarakat yang terlalu fokus soal permasalahan yang terdapat pada UU Cipta Kerja rupanya telah membuat mereka terdistraksi dari salah satu UU yang dapat mengancam demokrasi konstitusional di Indonesia. Wujud ancaman tersebut ada pada Revisi UU MK.
UU tersebut bermasalah tidak hanya secara formil atau dalam pembentukannya saja, tapi juga dalam materialnya atau dalam substansi yang dimuatnya. Menurut Siaran Pers Koalisi Save Mahkamah Konstitusi tahun 2020, UU itu dibentuk secara terburu-buru, tanpa mempertimbangkan urgensi di masa pandemi yang menunjukan tidak adanya 'sense of crisis', tidak ada urgensi yang jelas untuk mengubah ketentuan-ketentuan di dalamnya, serta bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Asas-asas yang tidak diindahkan adalah transparansi (Pasal 88) dan partisipasi publik (Pasal 96).
Minimnya transparansi dan partisipasi publik yang menjadi unsur penting dalam demokrasi, tidak dihiraukan oleh DPR dalam proses pembentukan UU tersebut. Hal ini juga menurut peneliti KoDe Inisiatif, Violla Reininda, adalah inkonstitusional karena tidak mematuhi Pasal 1 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan patuh terhadap norma hukum karena Indonesia adalah negara hukum.
Secara substansi menunjukan adanya usaha transaksi politik dengan para hakim konstitusi yang sedang menjabat saat ini, atau sebagai 'kado' bagi mereka, dengan harapan putusan-putusan yang dilahirkan nanti akan memihak DPR dan Pemerintah akibat transaksi tersebut. Perubahan yang dilakukan adalah dalam ketentuan jabatan hakim konstitusi, yang memuat adanya perubahan dalam usia minimal seseorang dapat menjadi hakim konstitusi. Awalnya, pada UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, usia minimal yang diatur dalam Pasal 16 ayat 1 huruf c adalah 40 tahun, sedangkan pada perubahan terbarunya usia minimal dinaikan menjadi 60 tahun.
Jika hakim yang saat ini sedang menjabat telah menginjak usia 60 tahun ke atas, maka dia dapat diperpanjang masa jabatannya. Hal ini membuat adanya hakim yang menjabat saat ini dapat tetap melanggengkan posisi mereka di MK, namun dengan usia mereka yang lebih tua dikhawatirkan akan berpengaruh kepada kualitas putusan dan pendapat hakim yang dikeluarkan nanti.
Ancaman selanjutnya ada pada ketentuan pada Pasal 59. Pada Pasal 59 di UU No. 8 Tahun 2011 sebagai perubahan pertama terhadap UU MK, bahwa selain putusan MK terhadap suatu perkara pengujian UU terhadap UUD disampaikan pada DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung (MA) sebagaimana ketentuan pada ayat (1), baik DPR maupun Presiden harus segera menindaklanjuti putusan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam ayat (2). Pada revisi UU MK terbaru, ketentuan pada ayat (2) dihapus, sehingga tidak lagi ada norma yang menimbulkan kewajiban bagi DPR dan Presiden untuk menindaklanjuti putusan MK, sehingga kekuatan putusan 'disunat' dan mengancam proses 'checks and balances'.
Apa implikasinya? Tidak ditindaklanjutinya suatu putusan, maka pembuat UU telah mengabaikan konstitusi. Bagaimana tidak? UU dapat saja berisi hal yang secara formil bertentangan dengan amanat konstitusi dan telah melanggar hak konstitusional warga negara, sehingga MK memutuskan untuk membatalkan suatu UU yang dimohonkan untuk diuji. Jika tidak ada tindak lanjut, maka negara telah mengabaikan konstitusi yang harusnya menjadi pedoman dalam menjalankan kekuasaan mereka berdasarkan konsep negara hukum.
Perubahan-perubahan tersebut menunjukan bahwa ada usaha dari DPR dan Pemerintah untuk melakukan 'court-packing' terhadap MK. MK dilemahkan secara kelembagaan melalui UU itu sehingga merusak demokrasi, karena akan mengurangi kekuatan putusan mereka untuk memengaruhi politik hukum Indonesia, sehingga mengurangi efektifitas checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan. Padahal, MK menjadi pionir dalam menjaga demokrasi konstitusional di Indonesia pasca Reformasi, menjaga cabang-cabang kekuasaan negara agar tetap pada jalur konstitusional, dan tidak terpengaruh oleh kubu politik manapun.
Selain itu, perubahan ini juga dianggap tidak mendukung perlindungan hak-hak warga negara secara progresif. Tidak dibahasnya mengenai kewenangan MK untuk menerima dan menyelesaikan perkara pengaduan konstitusional (constitutional complaint), constitutional question, dan memberikan kewenangan penuh menguji peraturan perundangan dalam satu atap di MK menjadi bukti bahwa kekuatan-kekuatan politik dalam DPR dan Pemerintah tidak menginginkan MK memiliki pengaruh kuat untuk meredam mereka, sehingga berpotensi besar untuk mengancam demokrasi yang telah dicita-citakan sejak Indonesia lepas dari belenggu Orde Baru yang otoriter.
Cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kerusakan pada demokrasi Indonesia yang disebabkan oleh revisi UU MK adalah mengajukan permohonan pengujian revisi UU MK itu sendiri ke MK. Bukti-bukti bahwa revisi UU MK dapat merusak khittah MK sebagai pengawal konstitusi sudah terlihat jelas dan dapat menjadi argumen kuat untuk membatalkan revisi itu karena inkonstitusional.
Praktik untuk MK menguji UU yang membentuk mereka sendiri sudah lazim dilakukan dalam beberapa perkara yang pernah dimohonkan dan diputus. Salah satunya dalam Perkara Nomor 066/PUU-II/2004 yang menyatakan Pasal 50 UU MK yang mengatur bahwa UU yang dapat diujikan adalah UU yang diundangkan setelah amandemen UUD 1945 tidak mengikat secara hukum. Sehingga dengan pengalaman tersebut, MK berwenang untuk menguji UU yang membentuk kelembagaan mereka.
Agar kekuatan untuk menolak revisi itu semakin besar sehingga putusan MK dapat memuaskan masyarakat dan lebih menjaga demokrasi, menurut Stefanus Hendrianto dorongan dari masyarakat dalam mengawasi dan memberikan dukungan untuk memutus suatu perkara pengujian akan sangat berpengaruh pada kualitas putusannya nanti. Dorongan dari kalangan ahli hukum dan aktivis demokrasi serta masyarakat luas dapat memengaruhi hasil dari putusan nanti yang akan memihak kehendak mereka. Meski menurutnya strategi untuk menggaet suara masyarakat oleh MK dinilai politis, namun hal itu akan sangat memengaruhi hasil akhir perkara nanti.
Masyarakat harus sadar bahaya yang akan muncul ketika revisi UU MK nanti telah berjalan selama beberapa saat setelah diundangkan, apalagi dengan munculnya rencana masyarakat dari berbagai kalangan untuk memohonkan pengujian UU Cipta Kerja. Ada langkah yang sebelumnya wajib dilakukan untuk dapat menyelamatkan demokrasi kita, yakni untuk menyelamatkan MK dari campur tangan politik, agar putusan yang dikeluarkan memihak pada masyarakat.
Sekian.
Sumber:
Simon Butt, "The 2020 Constitutional Court Law amendments: a 'gift' to judges?", Indonesia at Melbourne Blog, diakses pada 11 Oktober 2020.
Stefanus Hendrianto, "The Rise and Fall of Historic Chief Justices: Constitutional Politics and Judicial Leadership in Indonesia", Washington International Law Journal 25, No. 3, 2016.
"Revisi UU MK Disebut Inkonstitusional, Ini Sebabnya...", dipublikasi di Kompas.com pada 2 September 2020, diakses pada 11 Oktober 2020.
Siaran Pers Koalisi Save Mahkamah Konstitusi, "Tolak RUU MK: Selamatkan Mahkamah Konstitusi dari Barter Politik!", 28 Agustus 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H