Apabila menjadi alat represi, pasal ini akan dimanfaatkan semena-mena oleh pejabat Presiden. Mungkin mengingat gaya Pak Joko Widodo yang "ora patheken sing penting nyambut gawe", pasal ini apabila diundangkan akan menjadi redundant. Tapi apabila nanti misalkan pasal ini berlaku dan presidennya orang lain (bukannya saya mengagungkan Pak Jokowi dan merendahkan orang lain, tapi antisipasi saja kalau ada worst case scenario), ini bisa menjadi alat yang membunuh demokrasi di Indonesia, karena dapat berpotensi setiap kritikan dianggap penghinaan.
Pasal ini apabila dihidupkan kembali dan menjadi alat represi dan bukan untuk mengatur bagaimana kritikan seharusnya disampaikan oleh masyarakat akan mengembalikan Indonesia ke pada zaman Orde Baru, dimana pada saat itu segala jenis kritikan terhadap pemerintah selalu dikategorikan sebagai penghinaan dan berakibat maut bagi para pengkritik tersebut. Padahal yang diharapkan adalah partisipasi rakyat dalam mengawasi kinerja Pemerintah sebagaimana hakikat demokrasi, namun dilakukan berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Alasan-alasan tersebut dapat diberikan rekomendasi solusi mengenai permasalahan tersebut. Apabila hendak diundangkan, maka perlu penjelasan yang padat dan jelas mengenai ukuran apa yang dapat menyebabkan suatu pernyataan terhadap Presiden dinilai sebagai penghinaan terhadap pribadi Presiden dan bagaimana penerapan laporan dan sanksinya, sehingga masyarakat lebih berhati-hati dalam mengkritik Presiden serta Presiden tidak semena-mena menggunakan ini menjadi alat represi.Â
Perlu adanya dukungan untuk penegakkan pasal ini dengan mengedukasi rakyat tentang bagaimana menyampaikan kritik yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan tidak melawan hukum serta berpartisipasi secara wajar di dalam pemerintahan, dan diperlukan kesiapan aparat penegak hukum untuk secara tanggap dan tegas menangani kasus-kasus penghinaan terhadap Presiden. Perlu adanya pembentukan legal culture di kalangan masyarakat Indonesia agar pasal ini dan juga peraturan perundang-undangan lain ditaati dan ditegakkan secara total. Namun, pengesahan pasal ini akan melanggar putusan MK yang telah ada tentang pasal penghinaan Presiden.
Apabila tidak jadi diundangkan, ini akan tetap menjaga demokrasi di Indonesia, tidak melanggar hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tidak melanggar putusan MK, masyarakat Indonesia akan secara bebas mengkritisi pemerintah sebagai wujud pengawasan kinerjanya dan beberapa kalangan dapat menjalankan fungsinya sebagai infrastruktur politik untuk membantu perbaikan suprastruktur politik.Â
Presiden juga tidak bisa semena-mena menghukum seseorang apabila ia dikritik, karena mau tidak mau Presiden tidak sesakral raja atau ratu di negara-negara monarki dan harus siap dikritik. Namun, perlu dipikirkan ulang alternatif pengaturan mengenai bagaimana kritikan tersebut disampaikan secara baik dan bersifat membangun, dalam arti tidak menyerang pribadi Presiden.
Jadi, setujukah anda pasal penghinaan Presiden dihidupkan kembali? Apakah dengan penghidupan kembali pasal tersebut dapat menjaga kehidupan demokratis Indonesia atau justru merusaknya?
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H