[caption id="attachment_316172" align="aligncenter" width="546" caption="Jokowi-Dahlan"][/caption]
Sudah bukan barang baru lagi jika pemilihan presiden dan wakil presiden di negara kita adalah suatu hal yang dibuat rumit. Di Indonesia presiden dan wakil presiden bukan saja sekedar pelaksana pemerintahan atau eksekutif tapi juga merupakan simbol dari keterwakilan kelompok. Mindset perpolitikan di Indonesia masih tersekat dalam bingkai kelompok meskipun punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Maka, banyak kelompok yang ingin pihaknya diikutsertakan dalam paket kepemimpinan nasional semata agar hegemoni politisnya atas kelompok lain tetap terjaga. Jika di negara lain pencalonan presiden dan wakil presiden dilakukan dengan simple dan mudah, tidak demikian di Indonesia. Banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika hendak memasang calon presiden dan wakil presiden. Komposisi Jawa-Luar Jawa, Sipil-Militer, Muslim-Non Muslim termasuk diantara faktor yang harus dipikirkan tersebut. Inilah yang membuat rumit.
Resiko jika salah pasang? Alamat sepanjang masa kepemimpinannya sang presiden terpilih tidak akan sepenuhnya mampu bekerja dengan tenang demi kepentingan rakyat. Dia akan disibukkan dengan meladeni goyangan-goyangan yang datang dari arah kanan, kiri, depan dan belakang. Kelompok yang merasa tidak terakomodasi kepentingannya akan bermanuver jungkir balik demi menjatuhkan citra sang presiden. Mereka akan melakukan segala cara memang dengan tujuan agar pemerintahan tidak berjalan efektif dan pada akhirnya kelompok merekalah yang akan menggantikannya. Masalah kesejahteraan rakyat urusan belakangan. Semua itu ujung-ujungnya adalah persoalan bagi-bagi kekayaan negara. Kasus mantan Presiden Gus Dur (Alm.) barangkali bisa dijadikan contoh yang tepat dalam hal ini.
Dan beberapa hari yang lalu masyarakat dibuat antusias dan gembira dengan berita pemberian mandat oleh Ketua Umum PDI-P, Megawati Sukarnoputri, kepada Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi untuk menjadi calon presiden RI ketujuh menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY yang telah menghabiskan dua periode masa kepresidenannya. Jokowi yang saat ini masih menjabat sebagai Gubernur DKI ini dipercaya mampu segera mengentaskan negara ini dari segala macam keterpurukannya dari posisinya sebagai presiden. Di mata masyarakat hanya Jokowi yang mampu melakukan apa yang tidak bisa diperbuat oleh presiden-presiden RI sebelumnya. Gaya kepemimpinan Jokowi yang cenderung egaliter dan suka turba (baca: blusukan) dianggap memiliki kekuatan untuk bisa menjebol sekat birokrasi dan gaya pemerintahan yang masih cenderung bercorak feodalistis.
Sebagian masyarakat bahkan sudah memimpikan dan mengidamkan Jokowi jadi presiden sejak Jokowi masih dielus-elus sebagai calon gubernur DKI.
Namun, begitulah. Pemberian mandat oleh Megawati Sukarnoputri kepada Jokowi untuk menjadi calon presiden RI berikutnya ini juga masih menyisakan tanya yang bergelayut di pikiran banyak orang. Pertanyaan itu adalah: siapakah gerangan kira-kira yang tepat dan pantas dipasangkan dengan Jokowi untuk duduk dalam satu paket kepemimpinan nasional?
Mulailah spekulasi bertebaran di mana-mana. Nama-nama yang dianggap pantas bersanding dengan Jokowi pun segera disebut. Tak kurang dari nama Puan Maharani, Rieke Dyah Pitaloka, Panda Nababan (semuanya kader PDI-P) hingga mantan wapres Jusuf Kalla diotak-atik gathuk. Banyak pihak yang ingin kelompoknya terwakili dalam paket kepemimpinan nasional berikutnya segera merapat ke Megawati dan Jokowi.
Lalu, kenapa sih Megawati atau PDI-P tidak sekalian saja mengumumkan nama calon wakil presiden yang nantinya akan mendampingi Jokowi dalam satu paket? Itulah akibat kerumitan seperti yang sudah disebut di atas. Megawati dan PDI-Pnya pun mau tidak mau harus memasukinya dan kelak harus pintar-pintar melakukan deal-deal politik dengan partai-partai dan kelompok lain. Sehebat apapun Jokowi dengan elektabilitasnya yang tinggi rupanya Megawati tidak terlalu pe de partainya akan memperoleh suara mayoritas di DPR. Dan bagi-bagi kekuasaan adalah jalan tengah yang lumrah dan tidak bisa dihindarkan dalam situasi ini jika pemerintahan Jokowi tidak ingin direcoki ke depannya.
Sebenarnya Megawati tidak perlu risau akan hal ini jika orientasi dan misinya adalah kesejahteraan dan kepentingan rakyat seperti yang selama ini telah menjadi jargon partainya. Jika kepentingan dan kesejahteraan rakyat dijadikan tolok ukur kesuksesan partai seharusnya Megawati tidak perlu takut untuk langsung menunjuk nama yang bakal mendampingi Jokowi memimpin Indonesia lima tahun ke depan dengan catatan orang tersebut benar-benar figur yang dibutuhkan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Bukan sekedar memilih orang demi mengikuti prinsip keterwakilan kelompok.
Dan jika Megawati jeli melihat, ada satu nama yang jika dipasangkan dengan Jokowi untuk memimpin Indonesia ke depan akan membuat pasangan ini memiliki aura kepemimpinan yang demikian gahar yang akan didukung oleh segenap elemen bangsa di mana mereka akan bersedia pasang badan agar kinerja pasangan ini dalam menyejahterakan rakyat tidak dikotori oleh tangan-tangan para politikus busuk. Partai-partai pun mungkin akan berpikir ribuan kali untuk menjatuhkan mereka jika tidak ingin kasus Tri Rismaharini di Surabaya yang hendak dimakzulkan partai-partai tapi dibela oleh seluruh komponen warga Surabaya, terulang di tingkat nasional. Barangkali pasangan ini juga akan mampu menang dalam satu putaran. Nama itu adalah: DAHLAN ISKAN!
Kenapa harus Dahlan Iskan? Apa tidak ada yang lain yang lebih bagus dari dia? Meminjam idiom sebuah iklan: Yang 'lebih mahal' banyak, tapi yang lebih bagus dari Dahlan Iskan...hmmm...(geleng-geleng kepala). Beberapa alasan berikut mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan mengapa Dahlan Iskan mesti disandingkan dengan Jokowi untuk memimpin Indonesia ke depan yang lebih baik.
Pertama, baik Jokowi maupun Dahlan Iskan suka blusukan. Seorang pemimpin tidak bisa tidak harus melakukan hal ini jika ingin mengetahui keadaan rakyatnya yang sebenarnya sehingga bisa memberikan solusi bagi setiap permasalahan yang ada di tengah rakyatnya dengan tepat dan secara cepat. Jika blusukan Jokowi baru di sekitar daerah yang dipimpinnya, Dahlan Iskan sudah melanglang jauh ke seluruh pelosok nusantara terutama di daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Keduanya juga cenderung lebih manusiawi dalam mengelola sumber daya manusianya.
Kedua, pengalaman Dahlan Iskan dalam menangani permasalahan-permasalahan nasional, terutama di lingkup BUMN, telah sangat teruji dan sebagian besar berhasil dengan gemilang. Ini akan sangat bagus untuk melengkapi kekurangan Jokowi yang pengalaman memimpinnya baru di tingkat regional.
Ketiga, dan ini yang terpenting, Jokowi dan Dahlan Iskan ternyata telah pernah bekerja sama secara sinergis dalam suatu program yang saling menguntungkan banyak pihak, Pemprov DKI, Kemen BUMN, dan terutama warga Jakarta yang tinggal di kampung-kampung kumuh. Jika banyak masyarakat yang tidak tahu akan hal ini, itu karena kerjasama tersebut sengaja tidak diekspos ke media masa. Tapi seperti yang ditulis sendiri oleh Dahlan Iskan di catatan Manufacturing Hope-nya, Dahlan Iskan pernah mengusulkan 'bantuan' kepada Jokowi untuk membenahi kekumuhan di Ibukota Jakarta. Caranya, Kemen BUMN melalui Perum Perumnas akan membangun rumah susun semacam rumah susun Kemayoran sedangkan yang harus dilakukan Jokowi adalah melakukan 'bedol RT/RW' di lingkungan-lingkungan kumuh untuk diboyong pindah ke rumah susun tersebut. Selanjutnya Kemen BUMN akan membangun lagi rumah susun di lokasi bekas tempat kumuh yang telah dipindah ke rumah susun sebelumnya dan Jokowi kembali harus mencari lokasi-lokasi kumuh untuk dipindah ke rumah susun yang baru tersebut. Begitu seterusnya. Program ini rencananya bukan saja untuk mengatasi kekumuhan di Jakarta tapi juga untuk memutus rantai kemiskinan seperti yang pernah dilakukan di China. Konon Jokowi menyambut baik ide ini serta meminta agar Kemen BUMN juga menyalurkan gas ke dapur-dapur rumah susun yang dibangunnya dengan janji izinnya akan dipermudah. (Selengkapnya bisa dibaca di sini: http://www.dahlaniskan.net/bedol-bedolan-untuk-rusun-kemayoran/)
Entah bagaimana nasib program kerjasama tersebut selanjutnya setelah baik Jokowi maupun Dahlan Iskan sama-sama ikut dalam kontestasi calon presiden melalui partai masing-masing. Tapi jika kedua orang ini duduk dalam satu paket kepemimpinan nasional besar kemungkinan program-program semacam ini akan diperbanyak dan akan semakin diperluas cakupannya. Tinggal menunggu political will dari masing-masing partai pengusungnya. Yang jadi persoalan sekarang adalah beranikah Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P dan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat tempat Dahlan Iskan mengikuti konvensi calon presiden berpikir out of the box dan mengambil tindakan spontan dengan menyandingkan Dahlan Iskan dengan Jokowi?
Kemudian bagi masyarakat luas yang konon telah berhasil memaksa Megawati dan PDI-P untuk mencalonkan Jokowi sebagai presiden RI berikutnya, mampukan juga Anda semua untuk melakukan tekanan serupa agar Dahlan Iskan disandingkan dengan Jokowi dalam satu paket kepemimpinan nasional?
Ada yang berani?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H