Beberapa hari lalu saya melihat diskusi di salah satu stasiun TV mengenai debat Capres-Cawapres, pembicara menyebutnya pertarungan kedua Capres, Jokowi dan Prabowo sebagai “Orang dengan Managerial yang sangat mumpuni” vs “Orang yang dianugrahi Leadership yang luar biasa” atau artikel menarik di halaman depan harian The Jakarta Post beberapa minggu lalu yang mengangkat perbandingan antara kedua Capres, tulisan itu menggambarkan bahwa Jokowi vs Prabowo sebagai Mr. Decisive vs. Mr. Humble.
Memang dari penampilan di depan publik dan cara mereka menyampaikan visi dan misi, Prabowo dan Jokowi bisa saya ibaratkan seperti Kutub Utara dan Kutub Selatan. Prabowo yang menonjolkan sisi “tegas” dan pidato yang lantang dan menggelegar, sedangkan Jokowi menonjolkan sisi “sederhana” dengan gaya bicara yang santun dan pro rakyat. Sisi yang sama dari kedua capres yang akan bertarung ini adalah, keduanya berusaha “menjual” simbol-simbol Soekarno dalam kampanye mereka.
Oleh kubu Jokowi, Jokowi ditonjolkan seperti Soekarno, sosok Jokowi yang humble, dekat dengan rakyat seakan mencoba menghapus muaknya rakyat Indonesia terhadap pemimpin yang bergaya borjuis sibuk pesiar keluar negeri tapi malas pesiar ke daerah konflik di negeri sendiri dan seakan lupa mengeluarkan kebijakan yang pro-rakyat. Kubu Prabowo sendiri, menonjolkan figur Prabowo yang firm, Decisive, tegas dalam mengambil kebijakan meyakinkan rakyat Indonesia yang haus akan pemimpin yang tegas, tidak terlalu banyak prihatin dan siap membawa Indonesia “kembali” menjadi Negara yang disegani. Ya, seperti ketika Indonesia dipimpin oleh Soekarno.
Pertanyaannya adalah, apakah “Soekarno” hanya menjadi simbol saja? Setelah menjadi Presiden nanti, apakah mereka berani menjadi “Soekarno”? Untuk itu kita harus “melihat spion” sejenak agar mengerti bagaimana kebijakan Soekarno di masa lalu.
Papua, atau ketika itu dinamakan Irian Barat adalah salah satu permasalahan dimana Soekarno menunjukan kepemimpinannya yang luar biasa. Dalam 20-an tahun memimpin Indonesia, Soekarno disibukan dalam usaha mengembalikan Papua ke dalam pangkuan Indonesia. Sekitar tahun 1956, ketika ia diundang untuk berpidato di depan Kongres AS, Soekarno menyampaikan sikapnya melalui pidato yang menggelegar, mengenai permasalahan Papua, ia menyampaikan bahwa kemerdekaan Indonesia belum sempurna manakala Papua masih berada dalam cengkraman Kolonialis Belanda.
Tangis Soekarno untuk Papua
http://pemerhatisejarah.wordpress.com/2011/12/09/tangis-soekarno-untuk-papua/
Pidato Soekarno pada hari kemerdekaan Indonesia tahun 1960 juga tidak kalah terkenalnya, ketika itu Pemerintah Kolonialis Belanda tetap tidak mau melepaskan Papua dari cengkraman. Ketika itu, sebelum berpidato, Soekarno membagikan teks pidato yang ada bagian kosongnya menjelang akhir. Peserta yang hadir pun meramalkan akan ada pengunguman penting di akhir pidato nanti. Dan benar saja, Dalam momen puncaknya, Soekarno mengambil napas panjang, kemudian mengatakan, bahwa, ‘’Pagi ini saya perintahkan menteri luar negeri memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda’’. Akhirnya Soekarno mengerahkan kekuatan militer Indonesia dalam usahanya mengembalikan Papua dari cengkraman pemerintah Kolonialis Belanda setelah bertahun-tahun berjuang lewat jalur diplomasi.
Perjuangan Soekarno terhadap Papua tidak selesai sampai Papua kembali ke pangkuan Indonesia. Soekarno tahu bahwa Papua akan menjadi rebutan kaum kapitalis karena sumber daya alamnya yang kaya, oleh karena itu pada tahun 1961 Soekarno memutuskan kebijakan baru bahwa kontrak pertambangan dengan perusahaan asing mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Hal itu untuk menyelamatkan tambang-tambang di Papua dari kaum Kapitalis, Soekarno menginginkan tambang di Papua baru dibuka 20 tahun kemudian, ketika itu ia percaya bahwa anak muda di Papua sudah bisa menjadi ahli pertambangan sehingga bisa menjadi rekan dari pengusaha asing bukan menjadi buruh saja. Sayangnya Soekarno lengser dan kebijakan berubah ketika Soeharto memimpin.
Kunjungan Soekarno ke Papua tahun 1963
http://indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com/2013/11/pertemuan-soekarno-dengan-rakyat-papua.html
Sebuah cerita menarik ketika PM Singapura Lee Kuan Yew dalam sebuah pidato tanpa teks bulan Agustus 1990, dengan isengnya menyebut perebutan Papua merupakan ambisi pribadi Soekarno, karena dia tak mampu memberi makan rakyatnya, sehingga dialihkan ke sebuah gelora semangat yang bisa melupakan rasa lapar perut rakyat. Ucapan itu beberapa waktu kemudian didamprat langsung oleh Soeharto, ia mengatakan langsung kepada Lee, bahwa perebutan Irian Barat bukan ambisi seseorang, tapi amanat proklamasi. Artinya, wilayah Irian Barat adalah sebuah kemutlakan sejarah sebagai milik bangsa Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke
Rakyat Indonesia selalu bermimpi munculnya tokoh pemersatu sekaliber Soekarno. Oleh karena itu (mungkin) para kubu pendukung capres berlomba untuk menonjolkan simbol Soekarno di capres-capres mereka. Saya sangat berharap bahwa ini tidak hanya sekedar simbol untuk mendulang suara saja, saya berharap mereka (para capres) bisa menjadi pemimpin yang tegas tapi juga merakyat layaknya Soekarno.
Pertanyaan saya sebagai anak Papua adalah, Jokowi dan Prabowo, bisakah anda seperti Soekarno dalam menangani masalah Papua?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H