Mohon tunggu...
Wonenuka Sampari
Wonenuka Sampari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

One People One Soul

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fluktuasi Hubungan Indonesia – Australia Ancam Pemisahan Papua?

5 September 2014   21:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:31 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_322480" align="aligncenter" width="620" caption="Bendara Indonesia dan Australia. (indopacificreview.com)"][/caption]

“A majority of Australians regard Indonesia as a friend of Australia but not an ally”. Inilah kalimat pertama yang dikutip oleh Australian National University (ANU) yang melaksanakan jejak pendapat terhadap masyarakat Australia terkait hubungan luar negeri antara Pemerintah Australia dengan Indonesia. Memang, hubungan Australia-Indonesia tidak pernah benar-benar mulus, selalu ada riak-riak kecil diantara hubungan keduanya. Beberapa isu seringkali menghangatkan hubungankedua negara ini, sebut saja permasalahan sadap-menyadap, imigran, Papua atau bahkan permasalahan perpisahan Timor Leste dengan Indonesia dulu. Terkait jejak pendapat yang dilakukan Australian National University (ANU) tersebut, Professor Ian McAllister, sebagai ketua tim jejak pendapat tersebut menyampaikan bahwa 6 dari 10 orang Australia berpendapat bahwa Indonesia tidak membantu Australia dalam isu “People Smuggling”.

Isu Imigran Gelap dalam Hubungan Indonesia - Australia

Australia telah menjadi salah satu negara tujuan imigran gelap bersama dengan negara-negara Eropa (Perancis, Italia, Inggris, Swedia, Jerman, Yunani, Swiss, Norwegia, dan Belanda), Amerika Serikat dan Kanada. Sementara itu, Pakar Hukum Migrasi dan Pengungsi, Universitas Adelaide, Australia, Associate Professor Alexander Reilly, Ph.D., mengatakan bahwa jumlah pencari suaka di Australia dengan menggunakan kapal meningkat sejak 2008-2009 Hingga akhir Mei 2013, tidak ada kedatangan menggunakan jalur udara. Semuanya menggunakan kapal menuju Australia. Jumlahnya tinggi, mencapai lebih dari 22 ribu.

Para pencari suaka atau imigran gelap ini menjadi permasalahan serius bagi Australia Migran ilegal berdampak negatif bagi negara Australia, pertama masyarakat merasa tidak aman karena pemerintah dianggap tidak mampu mengontrol dan mengawasi kawasan perbatasannya sehingga mudah dimasuki secara illegal. Kedua, cara migran yang masuk secara illegal merupakan sebuah tindakan yang mencerminkan sikap ketidakjujuran dan melawan hukum sehingga tidak dihargai dalam masyarakat. Ketiga Sejak 2001 sudah lebih dari 1.500 pencari suaka yang meninggal. Selain itu, masih banyak lagi pencari suaka yang tinggal di penampungan dalam masa yang panjang dan tanpa batas waktu, termasuk anak-anak. Hingga PM Australia, Tonny Abbot akhirnya mengambil kebijakan yang tidak popular yaitu kebijakan “Stop The Boats” yang intinya adalah kapal dihentikan dan didorong kembali ke wilayah perairan Indonesia.

Pertanyaannya adalah, kenapa Australia mengeluarkan kebijakan yang mengancam hubungan Indonesia - Australia tersebut?

Hal ini disebabkan karena posisi Indonesia yang berada tepat di Utara Australia, sehingga imigran gelap atau pencari suaka yang akan menuju ke Australia sebagian besar akan melewati wilayah perairan Indonesia. Sehingga menjadikan Indonesia sebagai tempat transit. Permasalahannya adalah, Indonesia tidak cukup “kaya” untuk mengurus para imigran ini sehingga selalu memposisikan diri sebagai tempat transit saja dan melimpahkan masalah para pencari suaka ke negara yang memang menjadi tujuan awal mereka, Australia. Bahkan menurut mantan menteri luar negeri Australia Alexander Downer, bahwa kapal-kapal para pencari suaka yang akan masuk ke wilayah Indonesia tersebut berbendera dan berawak orang Indonesia. Di lain pihak, Australia yang memang punya permasalahan terkait membludaknya para pencari suaka ini tidak ingin jumlahnya kembali bertambah membludak kemudian menggunakan kebijakan “Stop The Boat” di perbatasan laut Australia, untuk mencegah para pencari suaka ini masuk ke wilayah Australia seperti yang dijelaskan di atas.

Isu Papua Dalam Hubungan Indonesia – Australia

“The people of West Papua are much better off as part of a strong, dynamic and increasingly prosperous Indonesia” Kata PM Tony Abbott kepada wartawan dalam pertemuan di Bali beberapa waktu lalu menanggapi masuknya 3 mahasiswa asal Papua ke dalam Konjen Australia di Bali. Hal ini sebenarnya menunjukan bagaimana pandangan Australia terhadap isu Papua. Tetapi dalam pelaksanaannya, banyak sekali aktivis OPM yang hidup dengan nyaman di Australia selain itu banyak aksi-aksi unjuk rasa oleh warga negara Australia yang dikoordinir oleh politikus lokal Australia yang mendukung kegiatan-kegiatan OPM. Apakah pemerintah Australia memiliki kebijakan “dua kaki” terhadap isu Papua? Saya kira tidak, berikut penjelasannya

Pertama, memang banyak sekali aktivis OPM yang pernah tinggal di Australia, sebut saja Jacob Rumbiak dan Herman Wanggai karena mereka masuk ke Australia bukan sebagai aktivis OPM tapi sebagai aktivis HAM. Ambil contoh Herman Wanggai yang mendapatkan izin tinggal di Australia. Herman masuk ke Australia sebagai pencari suaka atau imigran gelap yang kemudian digaransi oleh Partai Hijau Australia sehingga mendapatkan izin tinggal. Posisi Herman Wanggai yang mengaku sebagai aktivis HAM inilah yang kemudian membantu ia untuk mendapatkan garansi dari Partai Hijau, karena permasalahan HAM bisa dijadikan komoditi politik para politikus lokal Australia untuk mendulang suara.

Kedua, beberapa kali politikus Australia mengkoordinir aksi-aksi unjuk rasa mendukung OPM. Hal ini juga berkaitan bahwa isu Papua dijadikan komoditi politik. Sebagai contoh adalah manuver politik Senator John Madigan dari Democratic Labor Party (DLP). John Madigan adalah politikus yang sering menggunakan isu Papua sebagai komoditi politik. Sekitar tanggal 29 Agustus 2014 lalu, ketika Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop mengutarakan pemulihan hubungan diplomatik Australia-Indonesia setelah masalah penyadapan lingkar dalam SBY, John Madigan malah mengkritik Julie Bishop untuk kembali menekan Indonesia terkait permasalahan Papua. Hari ini, John Madigan mengundurkan diri dari partainya, DLP dan memutuskan untuk menjadi senator dari independen. DLP sendiri menuntut kursi Senat yang diduduki John Madigan dikembalikan ke Partai.

Pertanyaannya adalah, dilihat dari aksi beberapa politikus lokal Australia mendukung kegiatan OPM, mungkinkah kedepannya Pemerintah Australia juga mendukung OPM?

Menurut saya tidak, karena Pertama, Pemerintah Australia adalah salah satu pemerintah yang mendatangani resolusi PBB 2504 sebagai bentuk Pengakuan PBB atas hasil Pepera. Kedua, dukungan Pemerintah Australia terhadap OPM bisa memacu semangat suku asli Australia, Aborigin, untuk melepaskan diri. Terkait hal ini, sekitar Maret tahun lalu Bangsa Aborigin mendeklarasikan berdirinya Republik Murrawarri, yang menjadi rumah bagi orang Aborigin tinggal, sekitar 750 kilometer barat laut Kota Sydey. Upaya mendapatkan kemerdekaan orang-orang Aborigin ini sebenarnya sudah dilaksanakan semenjak tahun 1972.

Mantan PM Australia, Julia Gillard pernah mengalami insiden yang tidak mengenakan terkait permasalahan orang Aborigin ini pada 2012 silam. Insiden terjadi ketika Gillard dan Abbott tengah menghadiri perayaan Australia Day yang oleh warga Aborigin disebut sebagai ”Hari Invasi”. Hari itu menandai kedatangan kapal yang membawa warga kulit putih pertama ke Sydney Cove pada 1788. Penduduk asli Australia merayakan hari itu di sebuah kawasan yang dikenal dengan nama Aboriginal Tent Embassy sejak 40 tahun lalu. Dalam insiden itu, aparat keamanan terpaksa membawa keluar PM Gillard dan Tony Abbott, yang ketika itu masih menjadi pemimpin oposisi, dari restoran The Lobby di Canberra lantaran para pengunjuk rasa mengepung tempat itu.

Kesimpulan

Hubungan antara Indonesia-Australia memang sangat fluktuatif, kadang positif kadang negative. Hal ini saya kira wajar karena setiap negara memang mempunyai kepentingan yang berbeda. Terkait isu Papua, perlu dimaknai dengan bijak bahwa isu ini memang isu yang “hot”, oleh karena itu seringkali dijadikan komoditas politik para politikus lokal untuk mendulang suara. Hal ini tidak hanya terjadi di Australia saja. Ketika para politikus lokal Australia menggunakan isu Papua, bukan berarti Pemerintah Australia mendukung Papua memisahkan diri dari Indonesia.

PM Abbott pernah mengatakan “We have a very strong relationship with Indonesia. We are not going to give people a platform to grandstand against Indonesia. I want that to be absolutely crystal clear”. Indonesia dan Australia mungkin bukan sekutu, tetapi juga bukan negara yang saling bermusuhan.

http://news.anu.edu.au/2014/09/04/australians-see-indonesia-as-a-friend-but-no-ally/

Adirini Pujayanti, Penyelundupan Manusia dan Ancaman Keamanan di Era Globalisasi : Kasus Penyelundupan  Manusia ke Australia. DPR RI, Juli  –  Oktober 2009. Bagian Kelima, hal 22

http://www.voaindonesia.com/content/hubungan-australia-indonesia-terancam-terkait-masalah-pencari-suaka-/1758777.html

http://www.heraldsun.com.au/news/national/dlp-demands-john-madigan-hand-his-seat-back-to-the-party/story-fni0xqrb-1227048208457?nk=fb20d3e6c1071fd37306ea3018575682

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun