[caption id="attachment_323038" align="aligncenter" width="547" caption="Ilustrasi (Sumber : http://mikemorrell.org)"][/caption]
Sudah bukan rahasia lagi bahwa salah satu keberuntungan bagi para pemuda Papua saat ini adalah banyaknya bantuan belajar berupa beasiswa, baik yang diterima dari pemerintah pusat lewat program UP4B, pemerintah daerah, lembaga-lembaga swasta, bahkan Freeport. Dengan beasiswa ini, para pemuda-pemuda asal Papua dapat mencicipi kuliah di universitas ternama di berbagai daerah di dalam negeri, bahkan beberapanya berkesempatan untuk mencicipinya di luar negeri.
Dengan adanya kesempatan bagi orang Papua untuk menimba ilmu di berbagai peguruan tinggi di dalam negeri ini, memberi kesempatan untuk mahasiswa asal Papua untuk berinteraksi atau bertukar pikiran dengan mahasiswa yang berasal dari daerah lain di Indonesia. Apalagi bila beasiswa didapatkan di Kota Pelajar seperti Yogyakarta, di mana mahasiswa dari seluruh Indonesia banyak yang menimba ilmu di kota ini. Kesempatan untuk sharing ilmu dan bertukar pikiran akan semakin besar, baik dari diskusi formal dengan hadiah beberapa cemilan di kotak kardus maupun diskusi-diskusi dadakan di warung kopi yang memang banyak di Yogyakarta.
Tetapi ternyata tidak semua terjadi seperti itu, kenyataannya adalah banyak teman-teman sesama mahasiswa Papua yang terjebak dalam pergaulan yang itu-itu saja, hanya bergaul dengan sesama mahasiswa Papua saja, atau yang lebih parah, hanya bergaul dengan sesama sukunya atau daerahnya saja. Sebenarnya hal ini disebabkan oleh usaha Pemerintah Daerah untuk membantu mahasiswa Papua di perantauan dengan membangun asrama untuk tinggal. Sayangnya dengan adanya asrama tersebut, pergaulan mahasiswa Papua hanya terbatas pada pagar asrama saja. Akhirnya kesempatan untuk bertukar pikiran dengan mahasiswa dari daerah lain pun tersia-siakan. Apalah artinya mahasiswa bila tanpa diskusi dan bertukar pikiran.
Salah seorang tokoh asal Papua, Nikolaus Kondomo menangkap gejala tersebut di mahasiswa Papua di Yogyakarta. Nikolaus Kondomo, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Sleman ini, menyampaikan pesannya kepada 65 orang mahasiswa asal Papua dan Papua Barat penerima beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK) Papua, Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi Berkewenangan Tambahan (PPGT) dan program kerja sama dengan Universitas Musamus Merauke di Universitas Negeri Yogyakarta seminggu lalu (3/9).
Dalam pesannya, anak asli Merauke yang pernah menuntut ilmu di Yogyakarta ini menyampaikan bahwa Mahasiswa asal Papua harus mau membuka diri, jangan selalu tertutup untuk berhubungan dengan mahasiswa dari daerah lain. Bawa diri dengan baik dan jangan mudah tersinggung. Jangan selalu berkumpul dengan komunitas Papua dan terus berusaha untuk bersosialisasi dengan baik kepada masyarakat setempat.
Memang, sebagai mahasiswa Papua, saya juga pernah merasakan kesulitan untuk “membaur” dengan mahasiswa dari daerah lain. Perasaan bahwa kita “berbeda” itu terkadang muncul. Tapi kesulitan itu sirna ketika keinginan untuk “membaur” itu sudah ada, perasaan “berbeda” itu akan hilang ketika sudah bergaul dengan komunitas dengan interest yang serupa dengan kita, entah itu lewat olahraga, musik ataupun hal lain. Ada satu pesan yang disampaikan Nikolaus Kondomo di atas yang belum saya sampaikan, sengaja saya simpan di akhir karena menurut saya pesan tersebut begitu mengena, beliau bilang, “Jangan pernah minder, karena semua orang punya kesempatan yang sama di negeri ini, tunjukkan kalau kalian bisa.”
Seperti kata Muhammad Ali, seorang petinju legendaris yang selalu saya pegang. Ia mengatakan, “I’m Gonna Show You, How Great I Am.”
[caption id="attachment_323039" align="aligncenter" width="434" caption="Nikolaus Kondomo (Sumber : http://www.portalkbr.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H