Mohon tunggu...
WON Ningrum
WON Ningrum Mohon Tunggu... Konsultan - Peace of mind, peace of heart...

Hello, welcome to my blog!

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Apa Jadinya Jika Kalap Belanja Makanan Menjadi Kalap Belanja Senjata Api?

2 Mei 2020   23:05 Diperbarui: 2 Mei 2020   23:44 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: freepik.com

Seorang warga negara Amerika, Betsy Terrell (61), mulai melihat orang-orang bertingkah aneh. Ia merasa wilayahnya di Metro Atlanta sudah memiliki banyak kejahatan ditambah dengan pandemi Covid-19 yang terus merebak di negaranya. Maka ia memutuskan membeli senjata karena merasa akan ada potensi pergolakan politik di negaranya.

Ini adalah salah satu gambaran perilaku warga Amerika Serikat yang tengah kalut dengan fenomena panic buying senjata api di negaranya.

Selain Terrell, banyak warga Amerika di beberapa negara bagian/teritori berbondong-bondong mengantre di depan toko senjata karena mereka yakin situasi di tengah pandemic Covid-19 ini sudah sedemikian kacaunya, sehingga mereka merasa membutuhkan senjata api beserta amunisi.

Mereka juga percaya di tengah kondisi kacau orang bisa berbuat gila. Jadi mereka berinisiatif untuk melengkapi diri mereka dengan senjata dengan tujuan ingin melindungi diri dan keluarga.

Di samping itu, mereka percaya bahwa kejatuhan finansial, pandemik, kejahatan, dan juga kondisi politik adalah faktor-faktor yang sudah terakumulasi sebagai pemicu kekacauan luar biasa di Amerika saat ini. Demikian yang diprediksi oleh Larry Hyatt, pemilik salah satu toko senjata terbesar di Amerika Serikat, dalam menjelaskan alasan di balik fenomena ini.

Seorang aktivis anti-senjata dalam menanggapi kondisi ini merasa khawatir bahwa situasi tersebut menimbulkan tragedi yang tidak perlu. Bagaimana tidak, seorang pemilik toko senjata "Lynnwood Gun" di Washington mengatakan bahwa penjualan senjata yang dulunya hanya berkisar 20 hingga 25 senjata per hari, kini rata-rata yang terjual bisa mencapai 150 senjata. Selain senjata, pelanggan juga membeli amunisi untuk pistol.

Rata-rata pelanggan dari "Lynnwood Gun" mengaku dalam membeli senjata dimotivasi oleh rasa takut karena penegak hukum sudah kekurangan staf. Rasa takut mereka jika penegak hukum tidak bisa lagi merespon kejahatan yang terjadi pada diri mereka atau pada keluarga mereka.

Pelanggan yang lain juga memberikan alasan bahwa adegan-adegan kecil berbahaya yang pernah mereka lihat juga bisa menjadi pemicu panic buying senjata dan amunisi serta pistol, yaitu "hanya" karena pernah menyaksikan dua perempuan berebut air botolan terakhir di sebuah toko!

Selain karena ketakutan, motivasi lainnya adalah karena senjata api bisa memberikan rasa aman di tengah situasi yang tidak menentu. Hal ini berlangsung setelah mereka menyaksikan sendiri kondisi di sekitar mereka: universitas dan sekolah-sekolah yang diliburkan, toko-toko bahan makanan menipis persediannya serta acara-acara besar yang dibatalkan karena pandemik Covid-19 ini.

Beberapa orang lainnya bahkan mengaku khawatir jika pemerintah akan memakai wewenang darurat untuk membatasi pembelian senjata api.

Faktor serangan rasial juga menjadi salah satu motivasi kuat untuk mempersenjatai diri dan keluarga. Ini terlihat pada penjualan senjata api yang juga melejit di San Gabriel Valley, California, di mana banyak warga Asia-Amerika khawatir jika mereka akan menjadi korban serangan.

Semua faktor di atas dilengkapi dengan aturan hukum soal senjata api di Amerika Serikat yang memang memampukan orang-orang untuk 'menimbun' senjata api, dengan cara yang sama ketika mereka memborong makanan, tisu toilet, sabun, hand-sanitizer atau masker.

Rentetan peristiwa di atas sudah cukup memaklumkan bahwa Amerika kini memang sedang dilanda masalah besar di tengah pandemik Covid-19.

Saat ini Amerika Serikat sudah berada di rangking #1 jumlah positif Virus Corona di dunia, dengan data terkini mencatatkan 1,131,856 kasus positif  Covid-19, 65,782 jumlah kematian serta 161,666 orang yang dinyatakan sembuh.

New York City, New Jersey dan Massachusetts merupakan tiga negara bagian/teritori yang mencatatkan jumlah kasus terbanyak Covid-19 di negara itu saat artikel ini ditulis.

Ilustrasi gambar: freepik.com
Ilustrasi gambar: freepik.com

Fenomena Panic Buying, Pandangan Dari Sisi Psikolog Dunia dan Neurosains

Pada bagian ini sekilas akan dipaparkan secara singkat apa sesungguhnya yang terjadi pada diri manusia ketika dilanda panic buying. Dan secara khusus ingin menjelaskan fenomena panic buying senjata api yang kini telah melanda negara Amerika Serikat.

Apa yang dituturkan oleh seorang Psikolog Klinis Dr. Cindy Chan yang dilansir di laman Kompas, bahwa kehilangan kontrol adalah salah satu penyebab adanya panic buying.

Faktor terus meningkatnya jumlah orang yang terinfeksi dan angka kematian, hingga ditutupnya fasilitas-fasilitas umum, adalah hal-hal yang menjadi pemicunya.

Dari uraian-uraian di atas sebelumnya, tentang apa yang dialami oleh masyarakat di AS sudah menggambarkan betul apa yang di sebutkan oleh Dr. Chan. Masyarakat AS sudah kehilangan kontrol atas berbagai peristiwa yang mereka alami saat ini.

Jadi untuk mendapatkan kembali kontrol itu, orang-orang pun melakukan panic buying, termasuk membeli senjata api, agar mereka merasa telah melakukan apa yang bisa mereka lakukan, yakni memproteksi diri dan keluarga mereka dari kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi.

Di samping itu, orang-orang yang melakukan panic buying mungkin terlihat tidak rasional, atau bisa dikatakan gila, seperti yang juga telah dipaparkan di atas.

Penjelasannya, memborong makanan, hingga berkantung-kantung tisu toilet, bahkan sampai memborong senjata api, amunisi untuk pistol atau dengan rebutan botol air minum terakhir di supermarket, sebetulnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan bagaimana menangkal Virus Corona.

Neurosains bisa lebih menjelaskan faktor ini. Ketika manusia merasa terancam, misalnya oleh Covid-19, amygdala atau bagian otak yang memproses rasa takut (yang kemudian berubah menjadi rasa cemas akan sesuatu di masa depan dan bersifat tidak pasti) akan memperpanjang rasa cemas tersebut.

Ketika seseorang punya kecemasan, pada titik tertentu, area prefrontal cortex pada otak tidak bisa bekerja, sedangkan ini adalah bagian pada otak manusia yang memproses hal-hal yang rasional. Ketika area ini tidak bekerja, bagian yang mengambil alih adalah bagian otak lain yang disebut sistem limbik. Akibatnya, rasa takut dan cemas tidak bisa dikontrol. Demikian yang dijelaskan oleh Psikolog Anak dan Keluarga, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., yang dilansir dari laman Kompas.

Sedangkan Dr Sara Houshmand, seorang Psikolog Klinis dari Central Health Hong Kong berkata bahwa perilaku yang tampak protektif dan tidak berbahaya ini akan memiliki kapasitas untuk membuat individu terus-terusan berada dalam siklus stres dan cemas.

Jadi saran Dr Houshmand, pada saat-saat tubuh kesulitan untuk berpikir rasional, bernapaslah perlahan-lahan dan lakukan juga olahraga. Ini akan sangat membantu untuk bisa berpikir lebih jernih.

Ilustrasi gambar: freepik.com
Ilustrasi gambar: freepik.com
Mengambil Hikmah Ramadan

Menyimak ulasan fenomena panic buying senjata api dan amunisi untuk pistol di negara Amerika Serikat, kita tersadarkan bahwa sesungguhnya manusia memerlukan sebuah pegangan iman dan amal saleh yang bisa membentengi kita dari perbuatan yang sia-sia dan melampaui batas.

Sifat tawakal dan kesabaran juga mesti dipupuk agar dalam menghadapi cobaan dan ujian di dunia, termasuk ketika berada di tengah pandemik Covid-19, kita bisa melaluinya dengan tenang karena ada Zat Yang Maha Kuat yang akan melindungi kita dari hal-hal yang tidak diinginkan (insya Allah).

Indonesia termasuk salah satu negara yang beruntung diberikan karunia bulan puasa Ramadan di tengah-tengah wabah Virus Corona, sehingga ada kesempatan untuk merenungkan tentang segala peristiwa di sekitar kita serta bagaimana kita mengambil pelajaran/hikmah di balik peristiwa-peristiwa tersebut.

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar". (Al-Qur'an Surat Al-Baqarah, 2: 155)

Segala upaya antisipasi dan berhati-hati memang dibolehkan dalam mengantisipasi pandemik Covid-19 yang tidak pasti. Namun sebaiknya tidak berlebihan. Berbelanjalah secukupnya sesuai hajat, sebab saudara-saudara kita yang lain pun membutuhkannya.

Kuncinya ada di sifat sabar dan tidak egois, atau tidak mementingkan diri sendiri/golongan di atas kepentingan orang banyak. Sedangkan rasa takut dan cemas berlebihan yang mengiringinya adalah tipu daya setan.

Kisah yang tercantum dalam Nashaihul 'Ibad mungkin bisa menjadi pelajaran penting bagi orang-orang yang mau merenung tentang hakikat harta benda yang kita miliki di dunia ini.

Adalah seorang tokoh yang bernama Hatim Al-Asham, yang pernah berpura-pura tuli demi menjaga perasaan orang lain.

Disebutkan bahwa Hatim Al-Asham berkata, "Setiap pagi setan bertanya kepadaku tentang tiga hal: "Apa yang engkau makan? Apa yang engkau pakai? Di mana tempat tinggalmu?"

Namun tokoh ini sama sekali tak teperdaya oleh tipu daya setan. Ia malah menjawab, "Aku sedang memakan (membayangkan) pahitnya mati, yang aku pakai adalah kain kafan dan tempat tinggalku adalah kuburan".

Referensi:

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10][11]               

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun