Hmm, pagar rumahnya tak terkunci di siang bolong ini. Rerumputan di pekarangan pun lebih tak terawat lagi dibandingkan dengan kedatanganku pada waktu-waktu lalu. Kulangkahkan kakiku masuk ke pekarangan rumah perempuan tua itu. Kuketuk sekali. Dua kali. Tak ada suara langkah pelan seperti yang selalu kudengar pada saat-saat lalu jika ia menyeret langkah-langkahnya untuk membukakan pintu untukku. Kuketuk pintu itu untuk ketiga kalinya. Hening. Kompleks perumahan itu pun kelihatan sangat sunyi ditingkahi angin yang bertiup semilir.
Masih tercenung di depan pintu rumah warna merah tua itu. Kulongokkan kepalaku melihat ke jendela-jendela di lantai atas rumah itu. Tak bertirai. Dimana Kathleen? Ini sungguh terasa aneh. Sepertinya rumah itu telah kosong, tak berpenghuni. Kucoba melongokkan kembali kepalaku ke jendela lantai atas rumah itu untuk lebih meyakinkan diriku.
"Kathleen, kau dimana? Apakah saat ini kau tertidur saat tengah menonton televisi, caramu membunuh setiap waktumu saban hari? Atau jangan-jangan saat ini kau tengah berbaring di rumah sakit lagi seperti ceritamu tempo hari saat rasa sakitmu tak henti menggerogoti tubuhmu yang kian ringkih? Atau kau masih berada di rumah salah satu anakmu, rumah yang tak seberapa jauh dari rumahmu ini?" Tanyaku dalam hati, tak henti.
Rasa penasaran dan juga rasa rindu pada perempuan tua itu mulai mengaliri nadiku. Aku merasa tak tega membayangkan dirinya yang tinggal seorang diri di masa-masa sakit yang kian hari semakin parah itu. Apalagi melihat bagaimana dia berusaha menghirup oksigen dari tabung yang tak bisa absen berada di samping sofa tempat duduknya yang terkadang juga sekaligus menjadi tempat tidurnya.
Tak sabar ingin mengetahui keberadaan dirinya, akhirnya kuketuk pintu rumah tetangganya, persis di sebelah kanan rumahnya. Ada sebuah mobil bertengger persis di depan rumah. Kupikir pastilah ada orang di rumah itu. Seorang ibu yang kutaksir bukanlah seorang native speaker itu membukakan pintu untukku sambil menatapku dengan penuh selidik. Lalu kutanyakan apakah ia mengetahui keberadaan tetangganya, Kathleen, saat itu? Ibu itu terbata saat menjawab pertanyaanku: Kathleen telah meninggal dunia dua bulan yang lalu! Aku terperanjat dan tiba-tiba aliran napasku sesak terasakan di dada, "Ya Tuhan..."
Langkahku gontai. Aku berlalu dari komplek perumahan itu. Masih sunyi yang bersemayam di sana saat aku mulai mencoba mengurai kembali semua kenanganku: bertemu dan bersahabat dengan seorang perempuan tua yang baik hati bernama Kathleen.
Mengapa saat niat untuk mengunjunginya kali ini benar-benar membuncah di dada dia telah pergi untuk selamanya? Lalu kubayangkan tubuh ringkih dan batuk akut yang dideritanya. Aku tahu dia adalah perokok berat di masa lalu. Kubayangkan pula bagaimana dia selalu tegar menghadapi penyakitnya yang kutahu itu sunguh-sungguh menyiksanya. Dan di saat lain bagaimana dia bermanja padaku dengan mengeluhkan semua rasa sakit terutama rasa sesak di dadanya dan juga di persendian-persendian tubuhnya.
"Kathleen, maafkan aku yang tak begitu sering mengunjungimu...", batinku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Satu lagi yang masih kuingat darimu, Kathleen. Kau ingin aku membawakan fotomu yang telah kuabadikan saat aku berkunjung ke rumahmu di musim yang lalu. Tapi kau tak sempat lagi menerimanya. Dan percayakah kau Kathleen, aku selalu ada untukmu, mendengarkan cerita-ceritamu dan juga semua keluh kesahmu dengan berusaha mengunjungimu meski kita tidak tinggal satu kota lagi? Ya, aku tahu kau selalu percaya padaku dengan berbinarnya bola matamu setiap kali memandangku dengan penuh sayang", bisikku lirih dalam perjalananku meninggalkan sisa-sisa kenangan manis bersamanya.
***
"Sebuah memoar yang kupersembahkan untukmu, Kathleen.
Semoga kau tenang di alam sana..."