Mohon tunggu...
WON Ningrum
WON Ningrum Mohon Tunggu... Konsultan - Peace of mind, peace of heart...

Hello, welcome to my blog!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berjuang untuk Indonesia Tanpa Kekerasan

21 Februari 2020   19:30 Diperbarui: 21 Februari 2020   19:30 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: freepik.com

Kalau kita memerhatikan dengan seksama, pemberitaan-pemberitaan di media tentang kasus kekerasan, baik kekerasan terhadap perempuan maupun kekerasan terhadap anak kian hari kian merebak saja. Kapan akan berhenti ya, kasus kekerasan di Indonesia?

Hampir tak ada hari tanpa pemberitaan kasus kekerasan! Kita bisa dibuat merinding sampai merasa ketakutan yang sangat dibuatnya! Jika "ketakutan" di sini sebagai bahan kewaspadaan kita, tentu tidak menjadi masalah. Yang terparah jika bisa membuat yang membaca berita-berita tersebut menjadi paranoid! Artinya kita bisa sampai dilanda ketakutan secara psikis yang menganggap orang lain akan membahayakan diri kita, bahkan anggota keluarga kita.

Contoh, kita akan jadi super protektif kepada anggota keluarga kita, terutama kepada anak-anak kita. Yang dulunya mereka biasa berjalan kaki ketika ke sekolah (pergi dan pulangnya), kini mereka harus diantar dan dijemput. Padahal sebenarnya tidak masalah jika anak-anak kita ke sekolah dengan berjalan kaki jika jaraknya masih dekat dan wajar serta bisa dipastikan di perjalanan kondisinya aman-aman saja.

Di samping itu, ada masalah lain yang juga sangat "mengganggu". Telitikah kita bahwa terkadang pemberitaan tentang kasus-kasus kekerasan di media terkesan terlalu vulgar dan "tidak memihak" pada korban kekerasan sama sekali.

Dalam arti, bahasa yang dipakai dalam pemberitaan-pemberitaan tersebut tidak mencerminkan keberpihakan kepada korban kekerasan, malahan korbannya akan menjadi "double victims"; menjadi 'korban di atas korban". Istilahnya, "Sudah jatuh, masih tertimpah tangga pula". Singkatnya, pemberitaan terhadap korban kekerasan seakan-akan korban kekerasan itu sudah "pantas" mendapatkan kekerasan tersebut karena perilaku si korban sendiri.

Contoh, ketika terdapat  seorang perempuan menjadi korban perkosaan, maka pemberitaan itu menyajikan fakta bahwa perempuan tersebut "pantas" diperkosa oleh para lelaki karena saat kejadian si korban berjalan sendirian di jalan yang sepi dan si wanita memakai rok pendek!

Melihat contoh-contoh di atas sebenarnya sudah cukup membuat kita merasa "terhantui" oleh berbagai hal yang berkaitan dengan kasus-kasus kekerasan di masyarakat. Di satu poin tertentu, kita bahkan tidak akan berani lagi membaca berbagai media pemberitaan dan menjauhkan diri darinya karena bisa jadi isinya tidak lain berisi kasus-kasus kekerasan tadi.

Padahal sesungguhnya hal seperti ini tidak perlu kita jauhi, apalagi sampai mengabaikan kasus-kasus kekerasan yang terus merebak di masyarakat.

Yang juga perlu diingat, karena kasus-kasus kekerasan terjadi di semua lini kehidupan, jadinya semua orang diharapkan bisa punya "awareness" atau kesadaran penuh dan mulai waspada serta siap-siap mengantisipasi untuk mencegahnya.

freepik.com
freepik.com
Jadi konsekuensinya, dibutuhkan adanya pengetahuan tentang hal ini, mulai dari cara pencegahan adanya kekerasan sampai bagaimana cara mengatasinya jika kita atau orang-orang terdekat kita serta di lingkungan sekitar kita terjadi bentuk-bentuk kekerasan.

Di samping itu, sebaiknya orang-orang yang punya konsen penuh pada kasus-kasus kekerasan, contohnya orangtua, guru, pengambil kebijakan, lembaga-lembaga independen dan lembaga swadaya masyarakat supaya terus membicarakan, mendiskusikan, mewacanakan serta menyebarluaskannya secara intens. Mari kita perjuangkan terus untuk Indonesia tanpa kekerasan!

Apakah ada pengaruhnya jika membicarakannya secara terus-menerus? Bisa jadi, YA. Namun jangan sampai ditinggalkan begitu saja. Masalah besar bangsa ini butuh sumbangsi nyata dari kita sebagai warga masyarakat!

Ambil contoh, apakah para dokter ahli jiwa akan meninggalkan saja profesinya karena yang dihadapinya mulai kuliah sampai praktek hanyalah masalah kejiwaan dan bagaimana menghadapi orang-orang yang stress/depresi/gila karena takut ia juga akan jadi depresi dan gila? Apakah ahli politik spesialis korupsi akan meninggalkan saja profesinya karena takut suatu saat ia bakal melakukan korupsi juga dan akhirnya ia bisa dipenjara? Tentu saja tidak, kan?

Sebenarnya kita telah diajarkan untuk MELEPASKAN semua pengaruh buruk apa-apa yang kita alami sehari-hari, yang kita tonton di TV, yang kita baca di media-media pemberitaan baik berbentuk majalah atau suratkabar maupun melalui media online/internet dengan: SALAT 5 waktu (bagi seorang Muslim) dan BERDOA (bagi umat beragama) setiap saat agar kita bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh buruk tersebut, begitu pun (mungkin) dari yang namanya pengaruh "Law of Attraction", apa yang kita pikirkan terus, itulah yang akan terjadi".

Saya pun yakin, para ahli forensik (yang sering berkutat dengan "mayat" saban harinya) pun akan menemukan cara-cara PELEPASAN yang menurut mereka efektif agar hidup mereka terasa aman dan nyaman tanpa "dihantui" rasa takut terpengaruh atau takut terjadi pada diri masing-masing.

Bagaimana melepaskan diri dari pengaruh buruk atau hal-hal buruk yang kita liat dengan cara yang mudah, yang kita tonton di TV, dan yang kita baca di berbagai media/internet, adalah dengan mengucapkan kalimat-kalimat afirmasi sederhana. Juga bisa kita sertakan kata-kata "Ya Tuhan" di setiap kalimat afirmasi kita, agar kalimat-kalimat afirmasi tersebut menjadi sebuah doa yang langsung berhubungan dengan Sang Maha Esa. Ini bisa semakin menguatkan ikhtiar kita dalam menjaga dan melindungi diri.

Contoh afirmasi sederhana, "Ya Allah, saya dan keluarga saya aman dari segala bentuk kekerasan"; "Ya Tuhan, saya dan keluarga saya dalam keadaan aman, bahagia dan sejahtera mulai saat ini dan seterusnyanya; dan sebagainya. Semoga kita semua terbebas dari segala bentuk kekerasan dan selalu mendapat perlindungan dari-Nya, aamiiin...*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun