[caption id="attachment_334363" align="aligncenter" width="240" caption="Gambar : syaldi.web.id"][/caption]
Berbicara tentang sejarah peradaban manusia, sepertinya dari semua masyarakat dibelahan dunia manapun, sejak dulu hingga sekarang ini, sejarah perjuangan kelas antara laki-laki dan perempuan selalu dan tetap populer untuk terus di bahas dan di kontroversikan terutama oleh para feminist dan aktivis Gender yang sering menyerukan tuntutan persamaan hak dan hukum antara kaum laki-laki dan perempuan.
Dalam "ikatan rumahtangga", perempuan menjadi "budak rumahtangga", karena secara mutlak tak tertawarkan secara otomatis sejak lahir telah dibebani secara berlebihan dengan pekerjaan domestik seperti dapur, kasur dan sumur yang bagi sebagian perempuan itu sendiri sangat berat dan nyaris membosankan walaupun sebagian perempuannya lagi dapat menerima dengan legowo karena berpikir ini sudah suratan takdir yang tidak bisa ditolak.
Beruntungnya perempuan yang bisa menjalani kehidupan yang baik ketika dapat di perlakukan dengan layak dan penuh toleransi oleh pasangan atau keluarganya, tetapi pada kenyataannya tidak sedikit perempuan yang benar-benar mengalami pembedaan kelas sehingga telak menjadi pihak yang termarjinalisasi dan hanya menjadi subordinasi dari keluarga atau pun pasangannya.
"Di dalam keluarga, pria adalah kaum borjuis dan perempuan adalah kaum proletar"(Engels)
Dalam budaya masyarakat Indonesia, peran perempuan di dalam keluarga sepertinya memang sudah disuratkan oleh takdir yang mengatasnamakan hukum sosial, hukum positif dan bahkan agama serta budaya, dimana lazimnya Laki-laki bekerja mencari nafkah sedangkan Perempuan di rumah mengurus rumah tangga, membesarkan anak dan urusan domestik lainnya. Pertanyaan mengenai mengapa kodrat laki-laki dan perempuan harus secara turun temurun seperti itu,layaknya hanya menjadi benang kusut yang tidak pernah dapat terurai dengan jawaban yang pasti
Meskipun kemudian muncul konsep modern berupa emansipasi wanita,kadang-kadang jawaban yang diberikan tampak begitu mudah dan masuk akal, hanya karena laki-laki fisiknya lebih kuat, sehingga lebih cocok bekerja di luar, sedangkan wanita itu lemah lembut dan lebih cocok bekerja di dalam rumah.
Sejarah juga sudah menceritakan bahwa perjuangan tuntutan persamaan hak (kelas) antara laki-laki - perempuan dan emansipasi wanita masih terus berlanjut sampai hari ini dengan berbagai bentuk yang berbeda, mulai dari jaman RA. Kartini dan Cut Nyak Dien sampai dengan gigihnya perjuangan para aktivis Komnas Perempuan, meskipun toh masih saja menjadi isu kontroversi yang seakan tidak akan pernah ketemu dimana ujungnya...
Nyaris terdengar atheis memang, jika saya sendiri sebagai seorang perempuan masih tidak puas-puasnya memikirkan hal ini dan mempertanyakan apakah hal ini memang benar sudah suratan takdir yang mutlak tidak bisa di hindari ataukah hanya karena skenario yang terus di pelihara dari jaman ke jaman yang tidak lebih dari buatan manusia..?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H