Pas tanggal saya masuk apartemen, dia sudah berangkat ke Indonesia jadi lewat temannya yang mahasiswa itulah transaksi kunci berlangsung. Lagi-lagi, saya lupa juga nama mahasiswa Indonesia itu, yang kemudian berjasa menyelamatkan saya...Hmm seperti enggak niat cerita. Selanjutnya saya sebut  saja  ia  sebagai mahasiswa Indonesia.
Pertama kali tiba di Munich, mahasiswa Indonesia itu menjemput saya di bandara. Â Kami naik U-Bahn, sistem kereta api bawah tanah di kota-kota Jerman, menuju apartemen. Sekalian belajar navigasi katanya.Â
Sebab, selanjutnya saya akan selalu menggunakan U-Bahn sebagai transportasi di Munich. Munich jauh berbeda dengan Dresden yang wilayahnya lebih kecil dan penduduknya lebih seragam.
Setelah tiba di apartemen yang saya sewa itu, saya mendapat penjelasan soal kunci pintu, jaringan internet, tempat pembuangan sampah, saluran air, dan lain-lain.. Saya pun mencatat nama dan nomor HP si mahasiswa itu, kalau ada apa-apa saya bisa minta bantuannya karena ia tinggal tidak terlalu jauh dari apartemen yang saya sewa.Â
Gedung apartemen yang saya tinggali adalah gedung lama dan dihuni cukup banyak orang asing. Tetangga saya berasal dari Timur Tengah. Beberapa kali saya berpapasan dengan penghuni yang bukan orang Jerman di lift.Â
Apartemen saya berada di kawasan Giesing. Kawasan itu tidak terlalu hiruk pikuk, cukup hijau dengan tanaman-tanaman rindang, dan bersih.  Itulah pertama kali saya tinggal di apartemen seorang diri, di  Jerman  pula. Untungnya, saya tidak menemukan banyak kesulitan di apartemen satu kamar itu.Â
Rabun Senja
Sehari-hari saya berjalan kaki dari apartemen menuju stasiun kereta bawah tanah U-Bahn Unterbergstrasse. Jaraknya  kurang lebih sekitar 800 meter, lumayan untuk berolahraga.Â
Dari stasiun tersebut saya akan naik kereta bawah tanah ke tengah kota menuju kantor Sueddeutsche Zeitung, tempat saya magang. Saat itu kantor surat kabar bergengsi di Bayern tersebut masih berada di kawasan tengah kota--sekarang lokasinya sudah pindah.Â