Tidak ada catatan pasti kapan persisnya Kampung Cireunde ada. Catatan sejarah kemunculan Kampung Cireundeu bisa dilihat sejak abad ke-19. Pada saat itu terjadi krisis pangan, terutama beras sebagai dampak dari kolonialisme Belanda. Â Masyarakat adat Cireunde yang sebelumnya mengonsumsi nasi dari beras mulai berhenti mengonsumsinya sejak 1918 (halaman 44).
Kisah kemandirian pangan Masyarakat Adat Cireundeu tersebar di bab-bab buku ini. Â Kemandirian tersebut berawal dari gagasan tokoh perempuan adat Omah Asnamah (1887-1971) atau Abu Omoh ketika masyarakat kampung ingin merdeka lahir batin dari penjajah pada 1918. Abu Omoh mengusulkan masyarakat Kampung Cireundeu untuk berhenti mengonsumsi nasi dan menggantinya dengan rasi (beras singkong). Â Gagasan itu lahir ketika beliau diasingkan di hutan. Â Â Â Â
Ia dianggap mempunyai pemikiran progresif dan membangkitkan semangat kaum muda. Muncul pemikiran mengganti nasi dengan rasi dengan pertimbangan letak geografis dan tanaman yang banyak tumbuh adalah singkong (halaman 100).
Masyarakat adat Kampung Cireunde mengonsumsi singkong sebagai pangan utama, hal ini membuat mereka memiliki cara penanaman yang berbeda. Mereka menanam singkong dengan membaginya sesuai usia pohon tersebut dengan tujuan agar mereka tidak mengalami krisis pangan. Jadi, mereka tidak ada yang namanya panen raya. Selain itu, ada pula ritual yang digunakan pada saat sebelum menanam pohon dan pada saat ingin memanen singkong. Ritual dimaksud untuk menghormati Sang Pencipta karena manusia hanya menanamnya, namun hasil dan prosesnya ialah kehendak Sang Pencipta (halaman 67).
Pengolahan rasi melewati beberapa tahap, singkong dihaluskan dengan penggilangan atau diparut, kemudian dicuci, diendapkan beberapa hari. Lalu, singkong diendapkan, dijemur dua sampai tiga hari, kemudian dimasak seperti nasi. Hingga sekarang masyarakat Cireunde merasakan perjuangan Abu Omoh. Abu Omoh mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Pangan tahun 1964 (halaman 100-102).
Masyarakat Adat Cireundeu telah menunjukkan bahwa nasi bukan makanan pokok satu-satunya. Mereka terus makan singkong hingga sekarang. Dan penghargaan diberikan pada Kampung Cireundeu karena memiliki ketahanan pangan.
Kehadiran buku ini patut diapresiasi karena berusaha menyoroti isi-isu aktual yang dialami masyarakat adat Kampung Cireundeu. Skema-skema yang disajikan mampu menyederhanakan paparan yang dibahas di setiap bab dan membantu untuk menyimpulkan hal-hal yang menjadi isu di masyarakat adat Kampung Cireundeu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H