Saya agak deg-degan waktu mempersiapkan perjalanan ke Ha Noi, Ibu Kota Viet Nam. Â Ulasan tentang Viet Nam banyak mengandung pesan untuk selalu waspada dengan segala upaya tipu daya terhadap wisatawan asing. Sebagai pelancong solo, Â pengalaman ditipu atau pun tertipu dalam perjalanan di negara lain atau pun di negara sendiri bukanlah asing bagi saya. Tourist trap atau pun scam di dunia pariwisata sesuatu yang tak dapat dihindari. Maklum saja wisatawan di tempat asing sering kali tidak paham Bahasa setempat dan juga keadaan setempat.
Singkatnya, saya memperhatikan dengan seksama semua pesan dan kesan wisatawan yang berkunjung ke Ha Noi. Penginapan pun saya baca satu per satu ulasannya untuk menentukan  mana yang terbaik. Akhirnya, saya memutuskan memilih penginapan di dua tempat berbeda di Ha Noi.
Menjemput Bola
Setelah melakukan pemesanan lewat internet, tidak lama telepon genggam saya berdering dari nomor asing yang tidak saya kenal. Ternyata, telepon berasal dari hotel yang saya pesan di Ha Noi. Bagian reservasi ingin mengetahui berapa lama saya akan tinggal di Ha Noi karena ingin menawarkan paket wisata ke tempat-tempat lain di Viet Nam. Luar biasa! Pikir saya, baru kali ini ada hotel yang menelpon saya langsung.
Saya sengaja memilih hotel yang menawarkan penjemputan dari bandara karena tidak mau mengambil risiko diputar-putar pengemudi taksi, meskipun ada kios taksi resmi di bandara Ha Noi. Letak hotel saya pas di tengah-tengah Old Quarter Ha Noi, alias kawasan Kota Tua Ha Noi. Â Jaraknya hanya berjalan kaki ke tempat-tempat wisata. Pegawainya anak-anak muda.
Ha Noi adalah kota yang sangat hidup, kental dengan warna lokal, sibuk dengan kegiatan perdagangan, dan banyak wisatawan asingnya.
Pedagang kaki lima yang menjual sup khas Viet Nam, pho, banyak dijumpai di pinggir jalan trotoar. Meskipun demikian, kebersihan lingkungan terjaga. Para pedagang tanpa diminta membersihkan troatoar dan merapikannya kembali.
Saya mulai merasakan uniknya warga Ha Noi sewaktu pagi hari saya keluar hotel. Di trotoar seberang hotel, Â warung kopi sudah buka. Â Warung pinggir jalan itu menjual minuman teh, kopi, makanan ringan, rokok dan juga surat kabar. Â Ketika mampir di warung itu, seorang pria membuka percakapan dengan saya. Â Dia mulai berbicara tentang harga-harga paket wisata untuk wisatawan asing itu yang memang sudah dinaikkan. Harga sebenarnya tidaklah semahal itu. Dan bila saya bepergian dengan orang lokal, saya bisa menghemat banyak. Saya paham yang dia maksud karena di Indonesia pun berlaku hukum yang sama. Â Akhirnya, ia mentraktir saya bergabung minum teh di pinggir jalan mengikuti kebiasaan para pria di Ha Noi sebelum mereka memulai kegiatan.
Dibagi Es Krim
Menjelang siang, saya menyusuri kawasan Kota Tua Ha Noi yang meriah dengan pasarnya. Â Kawasannya tampak tradisional, jalanan memakai sistem blok sehingga mudah untuk ditelusuri. Di kawasan pasar sangat umum melihat perempuan-perempuan memikul keranjang dagangan. Mereka biasanya melindungi kepalanya dari panas dengan memakai topi caping. Â Saya kagum dengan perempuan-perempuan itu, terlihat kuat dan tegar.
Di seberang jalan tampak kios es krim yang ramai dikerubungi orang yang kehausan.  Sewaktu saya sedang asyik duduk, tiba-tiba seorang lelaki muda menghampiri saya. Dari gelagatnya ia ingin duduk di samping saya. Saya pun sedikit bergeser.  Ia membawa sebuah  kotak es krim yang masih penuh,  berisi es krim stroberi dan coklat. Ia meletakkan kotak es krimnya di  tengah-tengah bangku, mengeluarkan satu sendok plastik bersih, dan memberikannya ke saya.  Bahasa Inggrisnya terbata-bata, tapi yang jelas ia menawarkan saya untuk ikut menikmati es krim tersebut. Saya menyambut tawaran baiknya.  Ia hanya mencolek es krim di satu sisi  dan menawarkan sisi lainnya untuk saya makan. Saya bersama anak muda Viet Nam itu pun menikmati es krim di siang bolong.  Ketika es krim hampir habis, ia pun menutup kotak itu, dan permisi pergi menyeberang jalan. Saya sungguh terkesan dengan ketulusannya untuk berbagi.
Dimasaki Nasi
Ketika tiba saatnya saya pindah lokasi hotel. Â Pemilik hotel bilang bahwa saya akan dijemput dengan skuter. Â Untung saja, saya tidak membawa koper terlalu besar sehingga koper saya bisa diangkut. Pertama si penjemput mengangkut koper kemudian kembali lagi untuk menjemput saya. Hotel kedua tempat saya menginap terletak di dalam gang dekat jalan raya. Hotel bertingkat 5 itu milik sebuah keluarga. Sang nyonya sering sekali namanya disebut-sebut di ulasan tentang hotel itu sebagai perempuan yang sangat penuh perhatian dan ramah.
Kesan dan sebutan itu memang tidak salah. Ms Van murah senyum, selalu berusaha memudahkan urusan tamunya, dan sangat penolong. Stafnya juga demikian. Malam itu saya kelaparan sementara restoran di sekitar sudah tutup. Â Saya mendatangi dapur dan menanyakan makanan apa saja yang tersedia. Koki sudah pulang dan dapur tutup. Â Tapi, Ms Van tidak kurang akal. "Saya masakkan nasi dan buatkan telur dadar ya, kamu mau kan," tanyanya. Â Tentu saja, saya tidak menolak tawaran itu.
Selang 30 menit, pintu kamar saya diketuk, anaknya mengantarkan sepiring nasi hangat dengan telur dadar dan sebotol saus asin dan sambal tomat. Ms Van menggratiskan makan malam itu untuk saya. Bukan hanya itu, karena mengetahui saya tidak makan daging babi, Ms Van khusus menyiapkan pho (sup khas Viet Nam) dengan daging ayam untuk saya.
www.writerwkamah.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H