Mohon tunggu...
Wiwit Wahyu Hidayati
Wiwit Wahyu Hidayati Mohon Tunggu... -

mawar berduri itu seperti halnya jarum yang menancap di busa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belum Lama Setelah Berlalu

12 Desember 2014   06:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:28 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama subuh menyapa permulaan hari, kini bersamaan waktu duha aku memulai kehidupan baru. Entah siapa itu, atau bahkan aku belum pernah mengenal sebelumnya dia yang memberi kesempatan untuk benih sekecil aku tumbuh. Dia juga memberi sedikit ruang untuk pertumbuhanku kelak, cukup tempat yang lebar. Pemikiran jangka panjangnya cukup matang, dia meletakkan benih seperti aku terpendam sedikit dalam dari permukaan tanah. Tentu saja, saat aku mempunyai akar nanti akan lebih kuat menahan ranting-ranting yang harus aku tahan dan pula agar aku tak cepat tercabut dari bongkotku. Aku memang belum bisa melihatya karena masih terpendam bercampur bersama tanah. Namun dari sentuhannya ketika aku dipindahkan dari tempatku, sungguh aku merasakan kasih sayang yang dimilikinya.

Untung saja kali ini musim kemarau, jadi setelah pasca aku ditanam lebih banyak kesempatan bertemu dengan dia. Bagaimana tidak, setiap pagi yang sama seperti waktu pertama dia meletakkan aku dan penjemputan hari diantara senja dia selalu memeberi buih-buih air dari gembornya itu. Aku menyukainya bahkan menikmatinya. Ada semangat tumbuh lebih cepat agar dia bisa melihat buahku dari hasil ketelatenannya itu. Ah tidak, air yang sampai membasahi pinggir bagian tanahku membuat gejolak diantara akarku yang masih labil. Syukurlah, sekarang aku sudah tumbuh 5 cm lebih tinggi dari awal aku masih benih. Kelabilanku kini menjadi nafsu pribadi ingin lebih tinggi dari pada sekarang.

Hewan kecil bertumbuh panjang serta dengan lincah anaerobik yang akhir-akhir ini menganggu akarku. Bisa saja bila aku biarkan akan mengganggu pertumbuhanku atau mungkin saja akan mengambil alih nutrisiku. Oh, bersamaan waktuku menadah air dalam gembor itu, dia menaburkan gelintiran obat untukku. Katanya agar bakteri atau cacing-cacing yang mengganggu lenyap.”Jangan khawatir aku sudah menyingkirkannya, agar kamu bisa menyerap air-air ini lebih banyak”. Duh leganya, ternyata dia mengerti kebutuhanku.

***

Lihatlah Hujan, setelah enam bulan kemarau aku sudah tumbuh beberapa sentimeter lagi. Bahkan aku sudah ditumbuhi daun yang begitu ayu. Ada di bagian-bagian batangku yang mulai mengeras. Aku bahagia, lengkap juga dengan awal perjumpaanku musim ini dengan hujan. Tapi, sudah dua hari ini dia tidak menemuiku. Ah mungkin saja kali ini membiarkan aku hidup tanpa air dan gembornya dulu. Lagi pula, air hujan yang hampir setiap sore berbagi denganku sudah bisa mengganti perannya. Ketika pagi hari aku juga tak perlu resah, embun yang terlalu baik buatku juga sudah menggantikannya. Tapi, aku merindukan dia.

Aku masih menunggunya, sampai satu minggu setelah dua hari itu.Dan sampai tidak terasa pula sudah satu bulan aku menunggunya. Di mana dia? Tak sekali pun aku mendapati dia menjumpai aku lagi. Letak rumahnya yang hanya lima puluh meter dariku sungguh terlihat bayang tubuhnya dari balik jendela yang bercahaya remang-remang. Dia terlihat sibuk, terlihat panik, terlihat resah, terlihat terburur-buru, ah apalah bahasa manusia yang tidak aku pahami. Aku tidak begitu percaya disela-sela kegentingan dalam hidupnya dia tidak memperdulikan aku. Padahal dulu dia tidak pernah absen menjumpaiku dengan gembornya. Dia selalu memberi bisikan agar aku cepat tumbuh. Katanya dia menaruh harapan yang besar dariku. Ketika angin menari bersama debu-debu kemarau, dia tak jemu-jemu mengelus helai daunku dengan tangannya. Ah sungguh hujan, aku sangat menginginkan keberadaanya lagi.

Musim hujan hampir saja menemui ujungnya. Itu artinya aku juga harus berpisah dengan rintik hujan yang menjadi satu-satunya harapan bagi kehidupanku. Hampir satu tahun juga dia semakin tidak mengingatku dan selama masih ada hujan aku merasa masih hidup. Hemmhh, ketika aku masih terlihat kecil aku berkeinginan agar dia yang menjadi saksi bila aku tumbuh kelak, namun sayang hingga aku tumbuh beberapa meter kemudian hanya hujan dan embun pagi yang menyaksikan. Seharusnya keadaanku saat ini sangat membutuhkan dia, memberi pupuk, mebersihkan rumput-rumput liar yang mengelilingiku, atau sekadar memberi aku air agar tetap hidup. Alhasil, aku sudah tumbuh hanya saja kurang subur. Sesekali saat hujan telat mengguyurkan airnya, aku harus mengiba dan daun-daunku sedikit layu. Kadang juga batang-batangku sedikit berkerut, kulit perlindungnya mengelupas hingga terlihat bagian lapisan epidermisku. Dan dia, semakin jarang aku lihat. Tidak seperti pertengahan musim hujan lalu yang masih terlihat meskipun jarang menemuiku. Sekarang benar-benar tak terlihat lagi, jarang.

“Huffzzzzsssss,” sedikit dengungan angin bersama tarian daun-daunku. Ternyata sudah menemui kemarau lagi, entah untuk yang berapa kalinya. Aku sudah tumbuh lebih tinggi lagi beberapa meter dari musim lalu. Pertahanan untuk hidup juga semakin berat. Megandalkan titik-titik embun menjadi sumber energiku dan kubiarkan rumput-rumput liar tumbuh sejajar denganku. Bakal buah juga terlihat di beberapa bagian dahanku. Lagi-lagi dia belum melihatnya. Bahkan aku sudah sedikit tak mengingatnya, aku terlalu sibuk mengumpulkan air untuk energiku setiap hari. Setiap pagi harus mengemis embun lebih banyak lagi, agar saat senja aku tak layu dan masih menyejukkan.

Menurut ahli pertanian modern, masaku sekarang masih perlu pupuk gandasil “D” yang katanya berguna agar daunku tetap hijau. Dan beberapa bulan kemudian baru aku perlu pupuk gandasil “B” agar buahku nanti tumbuh sempurna tanpa cacat. Katanya lagi masih ada beberapa pupuk untuk menjagaku dari hama. Siapa sekarang yang mau memberikan kepadaku? Ah, aku memang pohon berbuah yang tumbuh liar sekarang. Bukan pohon yang tumbuh sesegar ladang sebelah. Dirawat, diperhatikan dan diharapkan pemilikknya. Lihatlah, tumbuh kita pun sangat berbeda. Aku pun harus berhemat-hemat menyimpan nutrisi, air dan lain sebagainya dari akarku agar tidak terlalu boros aku produksi. Sebagaimana fungsiku juga aku juga harus meneduhkan sekitarku dari oksigen-oksigen yang aku keluarkan.

Begitu senangnya ketika buahku sudah tumbuh banyak dan mulai matang. Aku mengharapkan buahku nanti akan dinikmati siapapun yang menyukai. Ah aku berpikir lagi, tak ada orang disekeliling sini keculai pemilik ladang sebelah yang sibuk dengan pohonya sendiri.

“Bagg...Buggg...” Beberapa buahku bulai berjatuhan tak beraturan karena terlalu matang dan tidak ada yang memanen. Aku membiarkan begitu saja tanpa, membiarkannya busuk dan sekaligus menjadi pupuk. Lebih bermanfaat bukan? Dan aku menikmatinya sampai panen buahku yang kedua.

Suara pijakan yang melangkah pelan terdengar. Lebih dekat, lebih dekat ternyata menghampiriku. “Ternyata kau sudah besar pohonku. Bahkan sekarang sudah bisa menjadi tempat teduhku. Bahkan kau sekarang sudah bisa berbuah, ah tidak aku sampai tak sempat memanenmu. Aku kira kau tak bisa tumbuh seperti ini. Karena kau hanya benih yang tak seberapa aku dapat dari rumahku. Oh, aku senang sekali sekarang benar-benar bisa bermanfaat untukku. Membuatku rumahku lebih sejuk. Maafkan aku ya selama ini aku pergi sedang mecari kepastian tanah ini untukku kita. Agar aku bisa hidup dengan tenang bersamamu. Sekarang aku lebih konsentrasi merawatmu.” Setelah sekian lama bahkan aku telah lupa dengan sosoknya, tiba-tiba dia datang saat buahku rimbun. Aku hanya bisa mengombang-ambingkan daunku perlahan sebagai isyarat menjawab dari perkataanya.

“Oh tidak, ternyata kau pergi untukku. Lalu ke mana saja selama ini kau pergi? Sedari dulu aku merindukan kedatanganmu untuk menjadi saksi pertumbuhanku. Aku mengigil tanpa obat diantara rumput-rumput pekarangan ini. Aku merindukan airmu tapi aku hanya bisa mengemis dengan embun. Aku hanya bertahan dengan cacing-cacing yang menggelitik akarku, karena aku tak mampu lagi bagaimana bertahan. Bahkan ku jadikan busukan hasil buahku sebagai pupuk sendiri. Semua itu upayaku. Bahkan aku bisa bertahan tanpa mengharap bantuanmu lagi. Aku sudah memutuskan bertahan untuk keteduhan di sekelilingku. Terima kasih dan maaf aku telah menyimpangkan prasangkaku kepadamu.”

Katanya dia akan meninggali rumah itu lagi, dan menyempatkan membawakan gembor berisi air seperti dulu. Janjinya juga akan memanen buahku setiap musimnya. Membersihkan rumput-rumput ilang yang menganggu pertumbuhanku. Ah, apalah aku tidak terlalu memperdulikannya. Aku hanya mengambil sari kehidupan yang dia berikan untukku. Ya, aku bisa bertahan tanpa apapun yang dia berikan. Awalnya aku hanya terbiasa selalu mengandalkan keberadaannya. Itu dulu, tapi tidak setelah dia pergi. Siapapun dia yang akan memanfaatkan aku, aku biarkan. Aku hanya bagian dari alam, hidup bergantung pada alam, menghasilkan untuk alam, dan meneduhkan pagi semua kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun