Mohon tunggu...
WIWIT PUTRI WIGATI
WIWIT PUTRI WIGATI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nama : WIWIT PUTRI WIGATI/NIM : 43222010029/Program Studi : AKUNTANSI S1/Fakultas Ekonomi dan Bisnis/Mata Kuliah : PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DAN ETIK UMB/Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak/UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA

Tugas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis - Diskursus Behavioral Conditioning Ivan Pavlov dan Fenomena Korupsi di Indonesia

14 Desember 2023   19:57 Diperbarui: 14 Desember 2023   22:17 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NAMA                                    : WIWIT PUTRI WIGATI

NIM                                        : 43222010029

PRODI                                    : AKUNTANSI S1

MATAKULIAH                      : PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DAN ETIK UMB

DOSEN PENGAMPU           : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

KAMPUS                               : UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA

Pendahuluan

Korupsi merupakan salah satu permasalahan sosial yang paling penting di Indonesia. Menurut Transparency International, Indonesia menempati peringkat 102 dari 180 negara pada Indeks Persepsi Korupsi (CPI) tahun 2022, yang menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi masalah utama di Indonesia.  Korupsi dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain faktor  ekonomi, sosial, dan budaya. Namun teori pengkondisian perilaku Ivan Pavlov dapat memberikan perspektif yang  menarik untuk memahami fenomena korupsi di Indonesia.  Teori pengkondisian perilaku adalah teori pembelajaran yang menjelaskan bagaimana orang belajar mengasosiasikan rangsangan netral dengan rangsangan tidak terkondisi untuk menghasilkan respon secara alami. Dalam konteks korupsi, motif netral dapat berupa situasi atau peluang terjadinya korupsi, sedangkan motif tanpa syarat dapat berupa keuntungan atau manfaat dari korupsi.

Biografi Ivan Pavlov

edit from canva
edit from canva

Ivan Petrovich Pavlor lahir pada tanggal 14 September 1849 dan meninggal pada tanggal 27 Februari 1936. Ia adalah seorang fisiolog dan dokter dari Rusia. Ia dilahirkan di sebuah desa kecil di Rusia Tengah. Meski pendidikannya tidak berhubungan dengan psikologi. Namun dirirnya mampu berkontribusi untuk menjelaskan proses pembelajaran yang kondisional.

Selama masa pendidikannya, Pavlov bersekolah di seminar teologi, sebuah universitas untuk menjadi seorang pendeta. Saat itu, alasan Pavlov untuk memilih sekolah teologi karena keinginan keluarganya. Namun, setelah dirinya membaca buku Charles Darwin. Pavlov menyadari bahwa dirinya lebih menyukai bidang keilmuan biologi dari pada keagamaan. Oleh karena itu, Pavlol memutuskan untuk pindah ke Universitas St. Petersburg untuk mempelajari kimia dan fisiologis.

Pada tahun 1879, akhirnya Pavlov mendapatkan gelar doktor. Kemudian ia melanjutkan studinya untuk memulai riset sendiri, yaitu riset tentang sistem pencernaan dan peredaran darah. Penelitiannya terkenal dan dia diangkat sebagai Profesor Fisiologi di Akademi Kedokteran Kekaisaran Rusia.

Penelitian yang membuat Pavlov terkenal bermula dari penelitian pencernaan. Dalam penelitiannya, ia mengamati subjek yaitu, seekor anjing yang mengeluarkan air liur sekaligus respons terhadap munculnya makanan. Ia kemudian mengeksplorasi fenomena ini dan selanjutnya mengembangkan penelitian perilaku terkondisi (behavioral study) yang dikenal dengan teori pengkondisian klasik (Classical Conditioning). Menurut teori ini, ketika makanan (makanan disebut sebagai the unconditioned or unlearned stimulus -- stimulus yang tidak terkondisi atau tidak dipelajari) diikutsertakan dengan bunyi bel (bunyi bel disebut sebagai the conditioned or learned stimulus -- stimulus yang terkondisi atau dipelajari), maka bunyi bel menimbulkan respon yang sama, yaitu keluarnya air liur pada seekor anjing hasil uji tersebut. Hasil karyanya ini bahkan menghantarkannya menjadi pemenang hadiah Nobel.

Selain itu, teori ini menjadi dasar perkembangan aliran psikologi behaviourisme, sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori tentang belajar. Pavlov telah meakukan penyelidikan terhadap kelenjar ludah secara intensif sejak tahun 1902 dengan menggunakan seekor anjing. Sesaat sebelum tahun itu, ketika Pavlov berusia 50 tahun, ia memulai karyanya yang terkenal tentang refleks terkondisi (condition refleks). Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands (1902) dan Conditioned Reflexes. Pada tahun 1904, ia menerima Hadiah Nobel dalam bidang Physiology or Medicine untuk karyanya ini. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikologi behavioristik di Amerika.

Pengaruh pavlov terhadap para ahli fisiologi tidak terlalu signifikan, namun pengaruhnya yang paling besar adalah di bidang psikologi. Pada saat itu, psikologi di Uni Soviet dapat dianggap sepenuhnya bersifat Pavlov. Pandangan Pavlov menjadi landasan psikologi di Uni Soviet karena selaras dengan filosofi doktrin materialisme sejarah.

Salah satu ahli yang ikut memperluas pengaruh Pavlov dalam bidang psikologi adalah Von Bechterev. Kecuali di Uni Soviet, bahkan di Amerika Serikat pengaruh aliran psikologi ini sangat besar. Ketika J.B. Watson membaca karya Pavlov dan merasa dia telah menemukan model yang sesuai dengan pandangannya untuk menjelaskan masalah perilaku manusia. Oleh karena itu, Pavlovianisme mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan Behaviorisme di Amerika Serikat.

Pengertian Behavioral Conditioning

dark-minimalist-question-facebook-post-657aebe312d50f7c457266a2.png
dark-minimalist-question-facebook-post-657aebe312d50f7c457266a2.png
edit from canva

Behavioral Conditioning (pengkondisian perilaku) adalah suatu bentuk pembelajaran di mana perilaku dimodifikasi atau diubah oleh konsekuensinya. Ini adalah konsep mendasar dalam bidang behaviorisme, sebuah pendekatan psikologis yang menekankan pada studi tentang perilaku yang dapat diamati dan faktor lingkungan yang memengaruhi perilaku tersebut. Ada dua jenis utama pengkondisian perilaku, yaitu classical conditioning (pengkondisian klasik) dan operant conditioning (pengkondisian operan).

1. Classical Conditioning (pengkondisian klasik)

Classical Conditioning (pengkondisian klasik) adalah sebuah proses pembelajaran yang terjadi melalui asosiasi antara stimulus yang tidak diketahui dengan stimulus yang menghasilkan respon alami. Proses ini menciptakan respon yang telah dipelajari terhadap stimulus yang sebelumnya netral. Pengkondisian klasik pada awalnya merupakan prosedur multi-langkah yang mulanya membutuhkan stimulus tak terkondisi (UCS = Unconditioned Stimulus) menghasilkan respons yang tak terkondisi (UCR = Unconditioned Response). Sebelum pelatihan (percobaan), seekor anjing itu otomatis mengeluarkan air liur saat menghadapi sepotong daging, bahkan tanpa pelatihan atau terkondisi sebelumnya. Oleh karena itu, dalam percobaan ini sepotong daging disebut stimulus yang tidak terkondisi (Unconditioned Stimulus) dan air liur yang keluar disebut respon yang tidak terkondisi (Unconditioned Response).

Setelah itu, Pavlov mencoba eksperimennya berupa latihan pembiasaan dengan membunyikan bel dan memberi makanan berupa sepotong daging. Awalnya, penyajian stimulus dalam bentuk bel tidak menimbulkan respon apapun. Dengan demikian, bel tergolong stimulus netral (neutral stimulus). Namun, dengan latihan pembiasaan berulang kali memberikan keduanya secara bersamaan, stimulus netral secara otomatis menjadi stimulus positif terkondisi (conditioned stimulus) dan secara alami menghasilkan respons terkondisi pula (conditioned response). Meski tidak ada makanan, suara bel saja akan membuat seekor anjing mengeluarkan air liur.

Dari percobaan yang dilakukan oleh Pavlov ini memunculkan dua hukum, yaitu:

 Law of respondent conditioning (hukum pembiasaan yang dituntut). Dengan kata lain, ketika dua jenis rangsangan dihadirkan pada waktu yang sama atau bersamaan (yang satu berperan sebagai reinforcer atau penguat), maka refleks ketiga yang terbentuk dari respon atas penguatan refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.

Law of respondent extinction (hukum pemusnahan yang dituntut), artinya ketika refleks yang diperkuat oleh pengondisian responden (respondent conditioning) dikembalikan tanpa menghadirkan reinforcer atau penguat, maka kekuatannya menurun.

2. Operant Conditioning (pengkondisian operan)

Operant Conditioning (pengkondisian operan) adalah sebuah teori belajar yang dikembangkan oleh B.F. Skinner, seorang psikolog Amerika. Teori ini menekankan peran penguatan dan hukuman dalam membentuk perilaku sukarela. Dalam operant conditioning, perilaku individu dipengaruhi oleh konsekuensi-konsekuensi dari perilaku tersebut, seperti penguatan positif, penguatan negatif, hukuman positif, hukuman negatif, dan pelemahan perilaku (extinction). Teori ini berbeda dari classical conditioning yang lebih menekankan pada asosiasi antara stimulus dan respons. Operant conditioning banyak diterapkan dalam berbagai konteks, termasuk manajemen kelas, perubahan perilaku, dan pelatihan hewan.

Seperti Pavlov dan Waston, Skinner memandang perilaku sebagai hubungan stimulus-respons. Namun berbeda dengan kedua tokoh tersebut, Skinner memberikan informasi lebih lanjut yang membedakan dua macam respon, yaitu:

a. Respondent response (reflexive response), yaitu respon yang ditimbulkan oleh suatu stimulus tertentu. Misalnya, makanan yang menimbulkan keluarnya air liur, pada umumnya perangsang yang seperti itu mendahului respon yang ditimbulkan.

b. Operant response (instrumental response), yaitu respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian itu disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan organisme.

Apakah Behavioral Conditioning Berlaku Untuk Individu?

Iya, behavioral conditioning juga berlaku untuk manusia (individu). Teori ini menjelaskan bagaimana individu belajar melalui asosiasi antara stimulus, respons, dan konsekuensi. Teori behaviorisme ingin menganalisi hanya yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkunga. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau buruk, rasional atau emosional. Behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunnya dikemudian hari oleh faktor-faktor lingkungan. Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.

Pengertian Korupsi

edit from canva
edit from canva

Korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan oleh mereka yang justru merasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar (Masduki, 2010). Korupsi juga dapat terjadi ketika seseorang mempunyai kedudukan dengan melibatkan pembagian sumber-sumber dana dan mempunyai kemampuan untuk menyalah gunakannya untuk keuntungan pribadi. Secara umum, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Korupsi tidak hanya berdampak pada aspek hukum, ekonomi, dan politik, tetapi juga aspek perilaku manusia yang menjadi topik utama dalam psikologi. Korupsi juga perlu diteliti dengan pendekatan psikologi karena masalah korupsi di Indonesia merupakan persoalan besar yang berbeda dengan tindak kriminal biasa, bahkan sering pula disebut sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) dan crimes againts humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan). Banyak orang yang jatuh miskin karena uang yang seharusnya diberikan kepada mereka, dikorupsi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab (koruptor).

Korupsi seringkali terjadi dengan mengalahkan suatu hubungan persahabatan yang sebelumnya terjalin baik dan tulus. Proses korupsi bisa terjadi secara samar, licin, dan sangat licik. Motif seseorang dalam melakukan korupsi tidak hanya untuk memperoleh keuntungan secara materi, tapi juga agar bisa meningkatkan hubungan pertemanan, percintaan, status, dan pencitraan, serta membuat orang lain jadi terkesan, terpesona, dan mudah terpengaruh (Graaf & Huberts, 2008).

Apakah ada keterkaitkan Behavioral Conditioning dengan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia?

Ada keterkaitkan antara behavioral conditioning dengan fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Dalam konteks korupsi, behavioral conditioning dapat menjelaskan bagaimana korupsi berkembang dari perilaku yang tidak biasa menjadi perilaku yang terbiasa. Pada tahap pengkondisian klasik, korupsi dipelajari melalui hubungan antara stimulus dan respons. Dalam kasus korupsi, faktor penyebab terjadinya korupsi adalah adanya kesempatan dan insentif untuk melakukan korupsi. Respons yang muncul adalah tindakan korupsi itu sendiri.

Contohnya;

Seorang pengusaha sering melihat rekan-rekannya melakukan korupsi. Pengusaha tersebut awalnya tidak tertarik untuk melakukan korupsi, karena dia tahu bahwa itu adalah tindakan ilegal. Namun, setelah melihat rekan-rekannya yang melakukan korupsi sebab memperoleh keuntungan, pengusaha tersebut mulai berpikir bahwa korupsi bukanlah hal yang buruk.  

Pada tahap pengkondisian operan, korupsi dipelajari melalui asosiasi antara respons dan konsekuensi. Dalam kasus korupsi respons yang muncul adalah tindakan korupsi itu sendiri. Konsekuensi yang muncul bisa berupa penguatan positif, penguatan negatif, atau hukuman. Jika tindakan korupsi tersebut mendapatkan penguatan positif, misalnya dengan mendapatkan uang suap, maka korupsi tersebut akan semakin sering terjadi. Sebaliknya, jika tindakan korupsi tersebut mendapatkan penguatan negatif, misalnya dengan dihukum atasan, maka korupsi tersebut akan semakin jarang terjadi.

Pada tahap perilaku terbiasa, korupsi telah menjadi perilaku yang terbiasa. Perilaku korupsi tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari pelaku korupsi. Pelaku korupsi tidak lagi berpikir panjang untuk melakukan korupsi, karena mereka telah terbiasa melakukannya. Perilaku korupsi yang terbiasa ini dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung, seperti lingkungan yang korup, budaya permisif terhadap korupsi, dan lemahnya penegakan hukum.

Behavioral Conditioning Pada Korupsi 

Penerapan behavioral conditioning (pengkondisian perilaku) pada korupsi memerlukan upaya perubahan perilaku individu untuk mencegah terjadinya tindakan korupsi. Pendekatan yang diusulkan mencakup penerapan undang-undang antikorupsi secara konsisten, reformasi rekrutmen pegawai dan sistem promosi, memperkuat pengawasan korupsi, dan melembagakan pemberantasan korupsi dalam jangka panjang. Selain itu, pendidikan antikorupsi juga fokus pada peningkatan internalisasi nilai-nilai antikorupsi di kalangan peserta didik, baik melalui pembelajaran keteladanan, interdisipliner maupun praktik perilaku antikorupsi di sekolah dan masyarakat. Dalam konteks operant conditioning, penguatan positif terhadap perilaku korupsi yang dilakukan oleh aktor koruptor dapat memperkuat perilaku tersebut. Oleh karena itu, pemberian hukuman yang keras dan konsisten kepada pelaku korupsi dapat menjadi bentuk penguatan negatif yang dapat mengurangi kemungkinan terjadinya tindakan korupsi di masa depan. 

edit from canva
edit from canva

Bagaimana prinsip-prinsip Behavioral Conditioning pada Korupsi?

Menerapkan prinsip-prinsip pengkondisian perilaku (behavioral conditioning) terhadap korupsi dapat menjadi pendekatan yang kontroversial mengingat kompleksitas dan sifat etika dari permasalahan tersebut. Pengondisian perilaku adalah konsep inti behaviorisme yang melibatkan proses pembentukan atau perubahan perilaku melalui pengaruh lingkungan dan konsekuensi perilaku. Berikut beberapa prinsip-prinsip pengondisian perilaku yang mungkin relevan dalam kasus korupsi:  

1. Identifikasi Penguat (Reinforcers) dan Hukuman

 - Penguatan Positif

Korupsi dapat diperkuat dengan imbalan positif seperti uang, kekuasaan, atau kemudahan mencapai tujuan tertentu.

 - Penguat negatif

Perilaku korupsi juga dapat diperkuat dengan menghindari hukuman atau konsekuensi negatif (misalnya penegakan hukum).

2. Pembentukan Asosiasi

Individu dapat membuat hubungan antara perilaku korup dan hasil positif yang mereka dapatkan dari tindakan korupsi. Misalnya, ketika korupsi berhasil menghasilkan keuntungan, maka hal tersebut dapat memperkuat komitmen terhadap perilaku tersebut.  

3. Validasi Varian

Memberikan penguatan yang bervariasi atau tidak pasti dapat memperpanjang perilaku korupsi. Ketika penghargaan atau hukuman diberikan karena ketidakpastian, orang mungkin lebih cenderung untuk melanjutkan perilaku tersebut. 

4. Ekstinksi

Kepunahan melibatkan penghapusan penguatan atau konsekuensi positif dari perilaku korup. Jika konsekuensi positif dihilangkan atau dikurangi, perilaku tersebut kemungkinan besar akan bertambah buruk. 

5. Pemberian Model atau Contoh

Individu dapat mempelajari perilaku koruptif dengan mengamati dan meniru model atau contoh koruptor. Oleh karena itu, peran tokoh-tokoh berpengaruh dan tokoh masyarakat dalam menerapkan contoh yang baik sangatlah penting.  

6. Pemberdayaan Sosial

Penguatan sosial melibatkan reaksi atau respons sosial terhadap perilaku. Masyarakat dan lingkungan sekitar dapat berperan positif maupun negatif dalam memperkuat perilaku korupsi.

7. Perubahan Norma Sosial

Pengkondisian perilaku juga dapat terjadi melalui perubahan norma-norma sosial. Jika masyarakat secara kolektif berubah pikiran mengenai korupsi dan menganggapnya tidak dapat diterima, individu mungkin akan lebih cenderung menghindari perilaku tersebut.  

Penting untuk diingat bahwa pendekatan ini mempunyai keterbatasan dalam hal korupsi. Korupsi seringkali melibatkan faktor-faktor kompleks seperti budaya organisasi, kesenjangan, dan faktor politik. Oleh karena itu, penanganan dan pencegahan korupsi memerlukan pendekatan yang holistik dan mencakup berbagai aspek seperti regulasi hukum, transparansi, edukasi, dan penguatan kelembagaan.

Bagaimana Cara Menerapkan Behavioral Conditioning pada Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia?

Penerapan pengkondisian perilaku (behavioral conditioning) terhadap fenomena kejahatan korupsi di Indonesia memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta. Berikut cara menerapkan pengkondisian perilaku untuk meminimalisir tindak pidana korupsi:  

1. Pendidikan dan Kesadaran

- Mengembangkan program pendidikan yang menyampaikan dampak negatif korupsi terhadap pembangunan dan masyarakat. 

- Melibatkan sekolah, perguruan tinggi dan lembaga pendidikan untuk memasukkan kurikulum yang menekankan nilai-nilai etika dan integritas.  

2. Pelatihan Etika dan Integritas

- Menyelenggarakan pelatihan etika dan integritas bagi pejabat pemerintah, pegawai negeri, dan perwakilan sektor swasta.

 - Memasukkan modul pelatihan etika dalam program personalia.

3. Penguatan Positif dan Negatif

- Menerapkan sistem penghargaan bagi individu atau organisasi yang menunjukkan kejujuran dan transparansi. 

- Menetapkan sanksi atau konsekuensi yang tegas terhadap pelanggaran etika dan korupsi.

 4. Penggunaan Teknologi

- Memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses administrasi dan pengelolaan keuangan.

 - Menggunakan sistem pelaporan online yang aman dan anonim untuk melaporkan dugaan praktik korupsi.  

5. Modeling dan Contoh Positif

- Memberikan contoh positif dalam kampanye yang melibatkan individu atau organisasi yang berhasil memerangi korupsi. 

- Menyoroti kisah sukses mereka yang memilih jalan kejujuran.

6. Reinforcement Schedule (Jadwal Persetujuan)

- Menggunakan penguatan positif dan negatif secara konsisten untuk membentuk perilaku yang diinginkan. 

- Menjamin kelangsungan akibat perbuatan korupsi.

7. Pemberdayaan masyarakat

- Mengajak masyarakat berperan aktif dalam pengawasan dan pengendalian ketertiban umum.

- Memberikan informasi dan keterampilan kepada masyarakat untuk mengidentifikasi dan melaporkan potensi praktik korupsi.

 8. Kerjasama Antarlembaga

- Mendorong kerja sama yang erat antara lembaga pemerintah, lembaga penegak hukum, dan sektor swasta dalam memerangi korupsi. 

- Koordinasi pelaksanaan program antikorupsi harus diperkuat.

9.  Hukuman berat dan perlindungan hukum

- Memastikan proses pengadilan yang adil dan terbuka bagi orang-orang yang terlibat dalam korupsi. 

- Penerapan sanksi yang sesuai dan adanya sinyal kuat bahwa pelaku korupsi tidak menjadi prioritas.

10. Pengukuran Kinerja Berbasis Integritas

- Memasukkan parameter etika dan integritas dalam evaluasi kinerja pegawai dan pejabat pemerintah.

- Memberikan insentif atau sanksi sesuai tingkat ketaatan terhadap nilai-nilai etika.  

Penerapan behavioral conditioning terkait dengan tindak pidana korupsi memerlukan komitmen dan kerja sama seluruh pihak yang terlibat. Selain itu, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif masyarakat merupakan kunci untuk menciptakan perubahan perilaku positif dan mengurangi praktik korupsi.

Bagaimana Dampak Terjadinya Korupsi Jika Behavioural Conditioning Tidak Diterapkan?

Jika pengkondisian perilaku (behavioural conditioning) tidak dilaksanakan atau tidak dilakukan dengan upaya yang serius untuk mengubah perilaku korupsi, maka dampak korupsi dapat merugikan dan merusak berbagai aspek seperti, masyarakat, pemerintahan, atau organisasi. Dampak negatif korupsi yang dapat terjadi tanpa intervensi pengkondisian perilaku yang efektif antara lain:

1. Ketimpangan dan kemiskinan

Korupsi dapat menyebabkan penyalahgunaan sumber daya publik dan distribusi dana, sehingga mengakibatkan kesenjangan ekonomi dan kemiskinan. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, bisa digunakan untuk kepentingan pribadi.

2. Kerugian ekonomi dan bisnis

Korupsi dapat menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi investasi dan inovasi, serta dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan bisnis. Perizinan yang tidak sah, penyuapan, dan praktik bisnis yang tidak etis dapat melemahkan daya saing dan keberlanjutan perekonomian.

3. Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Korupsi dapat mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia, terutama bagi kelompok paling rentan. Dana yang seharusnya digunakan untuk kesehatan, pendidikan, dan layanan penting lainnya dapat disalahgunakan sehingga menimbulkan kemiskinan dan penderitaan bagi banyak orang.

4. Masalah Sosial

Dalam konteks sosial, korupsi dapat memperburuk kesenjangan sosial, menimbulkan ketidakpuasan, dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial dan politik.

5. Kerugian Lingkungan

Praktik korupsi dalam sektor lingkungan dan perizinan dapat berdampak buruk pada keberlanjutan lingkungan dan alam. Pengabaian terhadap regulasi lingkungan dapat mengakibatkan kerusakan ekologi dan dampak jangka panjang yang merugikan.

6. Kurangnya inovasi dan pengembangan

Korupsi dapat menghambat inovasi dan pengembangan karena sumber daya yang seharusnya digunakan untuk penelitian dan pengembangan dialihkan untuk kepentingan swasta. Hal ini dapat membatasi kemajuan di banyak bidang.

7. Ketidakpercayaan dan hilangnya kredibilitas

Korupsi dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah, sistem hukum, dan lembaga lainnya. Hilangnya kepercayaan dapat menyebabkan ketidakstabilan politik dan ketidakpercayaan terhadap institusi.

Untuk mencegah dampak negatif tersebut, penting untuk menerapkan strategi antikorupsi yang mencakup pendekatan pengondisian perilaku. Hal ini termasuk menetapkan norma-norma sosial yang menentang korupsi, memberikan sanksi yang konsisten terhadap perilaku korup, dan menciptakan sistem yang secara aktif memperkuat perilaku etis. Langkah-langkah ini akan membantu mengubah pola perilaku dan mencegah penyebaran korupsi di berbagai lapisan masyarakat.

Mengapa Korupsi Sulit Untuk Diberantas Menurut Behavioral Conditioning?

edit from canva
edit from canva

Menurut teori pengkondisian perilaku behavioral conditioning, korupsi sulit diberantas karena alasan berikut:

1. Kompleksitas Proses

Pengondisian perilaku melibatkan interaksi kompleks antara rangsangan dan respons yang berbeda-beda, sehingga sulit dilakukan pengujian untuk mencegah kejahatan korupsi.

2. Ketergantungan Lingkungan

Pengkondisian perilaku memprediksi bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh lingkungan, yang dapat mempengaruhi cara individu menyikapi perilaku korupsi. Dalam kasus korupsi, lingkungan yang korup dapat mempengaruhi pembelajaran perilaku yang terkait dengan kejahatan korupsi.

3. Kurangnya Pemahaman Masyarakat

Banyak masyarakat yang tidak memahami dampak negatif korupsi terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan. Hal ini dapat mempersulit pengujian untuk mencegah tindak pidana korupsi.

4. Keterbatasan Sistem Pengawasan

Sistem pengawasan yang ada memerlukan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah, karena tidak mungkin cukup untuk memberantas korupsi.

5. Kurangnya Program Pendidikan Anti-Korupsi

Pendidikan antikorupsi masih terbatas di Indonesia, dan kurangnya program ini dapat menghambat pemberantasan korupsi.

Teori pengkondisian perilaku menyatakan bahwa korupsi sulit diberantas, namun menerapkan prinsip-prinsip ini, seperti menerapkan hukuman yang keras dan konsisten kepada pelaku korupsi, dapat mempengaruhi dan mengubah perilaku koruptor. Selain itu, penguatan pendidikan antikorupsi dan peningkatan pemahaman masyarakat mengenai dampak negatif korupsi terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup, dapat menjadi langkah pemberantasan korupsi.

Kesimpulan

Dalam konteks fenomena korupsi di Indonesia, teori behavioral conditioning (pengkondisian perilaku) memberikan beberapa wawasan. Pertama, korupsi dapat dipandang sebagai perilaku yang bersyarat. Artinya korupsi terjadi karena adanya hubungan antara stimulus tertentu dengan respon terhadap korupsi. Kedua, rangsangan yang dapat menimbulkan korupsi dapat berasal dari faktor internal maupun eksternal. Faktor internal dapat berupa nilai moral dan etika, sedangkan faktor eksternal dapat berupa peluang, situasi, dan lingkungan. Ketiga, penanggulangan korupsi dapat berupa kegiatan ilegal seperti menerima suap, penggelapan, dan pemerasan.

Berdasarkan wawasan tersebut, perlu dilakukan upaya untuk mengubah atau menghilangkan hubungan antara insentif dan respon terhadap korupsi untuk mengatasi fenomena korupsi di Indonesia. Upaya tersebut berupa;

  • Meningkatkan nilai moral dan etika masyarakat khususnya PNS dan penyelenggara negara.
  • Menciptakan lingkungan yang cocok untuk penerapan nilai-nilai moral dan etika.
  • Memperkuat penuntutan pidana terhadap pelaku korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Nurhidayati, T. (2012). Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning) dalam Pendidikan. Jurnal Falasifa, 3(1), 23-44.

Muktar, M. (2019). Pendidikan behavioristik dan aktualisasinya. Tabyin: Jurnal Pendidikan Islam, 1(1), 14-30.

Asfar, A. M. I. T., Asfar, A. M. I. A., & Halamury, M. F. (2019). Teori Behaviorisme. Makasar: Program Doktoral Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Makassar.

Trinurmi, S. (2022). PEMBELAJARAN BEHAVIORAL.

Salama, N. (2014). Motif dan proses psikologis korupsi. Jurnal Psikologi, 41(2), 149-164.

Psi Teori bljr - umsida. (n.d.). http://eprints.umsida.ac.id/1278/1/PSI%20Teori%20bljr.pdf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun