Mohon tunggu...
Wiwin Widya Al Barokah
Wiwin Widya Al Barokah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar

Seseorang yang hobi membaca dan menyukai seni.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Semua Orang Jawa Fasih Berbahasa Jawa?

29 Mei 2022   13:08 Diperbarui: 29 Mei 2022   13:16 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber: pixabay.com

“Rencange pundhi?”

Dua kata yang membuat saya celingukan dan terbengong-bengong. Runtuh sudah kepercayan diri saya sebagai orang Jawa. Pertanyaan yang terlontar dari seorang kakek yang kebetulan berada di angkot yang sama kami tumpangi, saya respon dengan ringisan rasa malu. Tentu sebuah ironi bagi saya sebagai orang Jawa tulen, namun tidak mengerti bahasa Jawa.

Barangkali pengalaman yang serupa dialami oleh pembaca yang budiman. Plonga-plongo ketika ditanya oleh orang lain dengan bahasa yang tidak kita mengerti. Dalam hal ini saya memang merasa sangat malu, dilahirkan dan dibesarkan dalam wilayah yang menjadi bagian orang Jawa tidak sepenuhnya menjadikan saya mengerti benar tentang budaya Jawa, salah satunya bahasa.

Akan tetapi hal tersebut bukanlah tanpa dasar, faktanya saya tinggal di wilayah Jawa Tengah bagian barat tepatnya di kabupaten Tegal. “Tegal”, saya yakin ketika pembaca mendengar kata tersebut pasti kata “Ngapak” lah yang pertama kali terlintas di pikiran pembaca.  Betul kan??? eiiiits, jangan anggap saya dukun kalau tebakan saya ini benar, hehe. Memang begitu adanya, orang-orang menyebut bahasa yang digunakan oleh masyarakat di Jawa Tengah bagian barat ialah bahasa Ngapak.

Sebagai orang Jawa kulon saya terbiasa menggunakan bahasa Ngapak dalam percakapan sehari-hari. Tentu saya menggunakan bahasa Ngapak dengan dialek Tegalan, karena ada dua dialek Ngapak yang berkembang di masyarakat Jawa kulonan yaitu Dialek Banyumasan dan Dialek Tegalan. Dialek Banyumasan biasa dituturkan di wilayah selatan, antara lain Banyumas, Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Purwareja, Kebumen, serta Gombong. Sedangkan dialek Tegalan biasa dituturkan oleh masyarakat di wilayah bagian utara, seperti Tegal, Kabupaten Brebes, dan sebagian barat Kabupaten Pemalang.

Lalu bagaimana dengan penggunaan bahasa Jawa yang umum di masyarakat Tegal? pembaca mungkin bertanya-tanya dalam hal ini. Tapi sebelumnya mari kita kupas lebih dalam tentang perbedaan kedua bahasa ini. Bahasa Tegal yang merupakan subkultur bahasa Jawa kenyataannya memiliki kosa kata yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa yang biasa digunakan oleh masyarakat di wilayah Semarang, Solo maupun Yogyakarta. Bahasa Tegal sebagai bahasa ibu masyarakat Tegal memiliki sifat egaliter, sehingga dalam penuturannya apa adanya sebagaimana yang berkembang di masyarakat. Bahasa Tegal atau bahasa Ngapak disebut-sebut sebagai bahasa Jawa tahap awal yang disebut tahap Jawadwipa. Sedangkan bahasa Jawa telah mengalami perkembangan dalam sejarah yang disebabkan perpolitikan kerajaan Mataram. Akibatnya bahasa Jawa memiliki strata bahasa yang menjadikan masyarakat harus menggunakan bahasa dengan tingkatan bahasa sesuai dengan siapa orang yang di ajak berbicara. Misalnya krama inggil digunakan untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau dituakan, krama lugu atau madya digunakan untuk berbicara dengan orang yang baru dikenal dan orang yang lebih tua, dan ngoko digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih muda misalnya orang tua kepada anaknya, dan kepada teman akrab.

Dalam kehidupan sehari-hari jarang sekali masyarakat Tegal yang menggunakan Bahasa Jawa secara umum. Alasannya cukup beragam, salah satunya minimnya pengetahuan masyarakat Tegal tentang Bahasa Jawa yang telah terstandarisasi (Inggil, Madya, Ngoko). Selain itu biasanya disebabkan tidak adanya pembiasaan penggunaan bahasa Jawa di lingkungan keluarga. Sebenarnya pembiasaan penggunaan Bahasa Jawa di lingkungan keluarga menjadi kunci penting dalam penguasaan kemampuan seseorang dalam berbahasa Jawa. Namun kembali lagi kepada alasan pertama, minimnya wawasan masyarakat Tegal mengenai bahasa Jawa menjadi kendala utama mengapa kami sebagai orang Tegal jarang sekali menggunakan Bahasa Jawa.

Misalnya saja saya sendiri, di lingkungan keluarga orang tua saya terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa Tegal, mereka juga kurang mengajarkan bahasa Jawa kepada saya. Alhasil, saya pun terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Tegal baik kepada orang tua maupun teman sejawat. Tentu penggunaan bahasa Tegal yang dituturkan kepada orang tua dan kepada teman memiliki perbedaan, karena bahasa Tegal pun memiliki unggah-ungguh untuk membedakan dengan siapa kita berkomunikasi, namun unggah-ungguh dalam bahasa Tegal tidak sekompleks unggah-ungguh dalam bahasa Jawa secara umum. Sedangkan di lingkungan sekolah yang terkesan formal, maka kami akan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, sekalipun dalam mata pelajaran Bahasa Jawa.

Ya, pembaca tentu sudah tahu bukan? Jika di sekolah kita akan di ajarkan mengenai bahasa daerah. Pembelajaran bahasa daerah menjadi bagian dari mata pelajaran Muatan Lokal yang sudah diatur oleh pemerintah daerah setempat. Di berbagai jenjang sekolah dari tingkat SD, SMP, dan SMA kami sudah di ajarkan bahasa Jawa. Namun, pembelajaran mata pelajaran Bahasa Jawa di kelas tidak semulus jalan tol Trans Jawa, karenanya guru perlu bersabar untuk mengajarkan bahasa Jawa kepada siswa-siswinya. Berdasarkan pengalaman yang saya alami semasa sekolah, guru Bahasa Jawa saya akan lebih banyak menjelaskan materi pelajaran menggunakan bahasa Indonesia ketimbang menggunakan bahasa Jawa.

Ketika guru mencoba menjelaskan materi pelajaran dengan bahasa Krama Inggil maka banyak murid akan meminta guru untuk menerjemahkan apa yang dijelaskan ke dalam bahasa Indonesia.  Seringkali juga ketika guru bertanya kepada murid tentang materi yang sedang diajarkan, kemudian murid hanya diam dan saling melirik ke sesama murid, karena kami memang tidak mengerti apa yang guru katakan. Sehingga guru pun kembali harus mengulang penjelasannya menggunakan bahasa Indonesia agar murid mengerti inti dari materi yang sedang diajarkan.

Sementara itu, berdasarkan  peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2013, satuan pendidikan wajib menerapkan pelaksanaan pembelajaran Muatan Lokal dengan durasi dua jam pelajaran dalam seminggu. Sehingga besarnya beban mata pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa yang harus dipelajari murid dengan durasi mata pelajaran yang lumayan singkat, guru perlu merencanakan strategi pembelajaran yang terukur agar pembelajaran di kelas tetap efektif dan efisien, salah satunya dengan diselinginya guru mengkomunikasikan mata pelajaran Bahasa Jawa menggunakan bahasa Indonesia.

Walaupun kami terbiasa berkomunikasi dengan Bahasa Tegal, bukan berarti kami tidak menggunakan Bahasa Jawa sama sekali. Bahasa Jawa seringkali digunakan pada acara resmi, seperti pidato didepan kepegawaian pemerintah, sambutan acara pernikahan, slametan, dll. Biasanya penggunaan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari lebih sering dituturkan oleh seseorang yang memiliki kedudukan sosial di lingkungan masyarakat. Sedangkan masyarakat biasa sepertinya lebih nyaman menggunakan bahasa Tegal dalam percakapan sehari-hari.

Penggunaan suatu bahasa di sebuah wilayah tergantung seberapa sering bahasa tersebut dituturkan oleh masyarakatnya dalam berbagai kondisi dan situasi. Daerah Tegal yang merupakan bagian dari wilayah Jawa Tengah, masyarakatnya fasih menggunakan bahasa ibunya yaitu bahasa Tegal dari pada bahasa Jawa. Alasannya cukup beragam, selain dari sisi historis, di Tegal penggunaan bahasa Jawa oleh masyarakatnya dalam bertutur kurang berkembang dibandingkan di daerah Semarang, Solo, maupun Yogyakarta. Di institusi pendidikan pengajaran bahasa Jawa diimplementasikan dalam mata pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa, namun juga memiliki tantangan sendiri sehingga proses pengajaran bahasa Jawa di sekolah terbilang kurang optimal.

Terlepas dari semua itu bahasa merupakan identitas sosial dari sebuah masyarakat. Suatu bahasa bisa saja punah disebabkan semakin sedikitnya penuturnya. Oleh karena itu, upaya setiap masyarakat dalam merawat bahasa ibunya sangat berpengaruh terhadap eksistensi penggunaan suatu bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun