Mohon tunggu...
Wiwin Suwandi
Wiwin Suwandi Mohon Tunggu... -

Pramoedya A. Toer, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. (Minke, 352)."\r\n\r\n Wiwin Suwandi, Pemuda sederhana yang hanya ingin melihat Indonesia bermartabat di mata dunia. Senang dengan kajian hukum dan politik pemerintahan. Bercengkerama dengan buku dan pena. Mengagumi Muhammad, Syariati, Moht. Motahari, Marx, Gandhi, Soekarno, Pramoedya, dan tentunya Ortu tercinta. Saat ini bekerja sebagai peneliti dan pengamat hukum tata negara.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arya, Sang Pemburu Koruptor (1)

19 Oktober 2012   12:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:38 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ampun, jangan bunuh saya. Ambil saja apa yang kamu mau, tapi jangan bunuh saya!” Laki-laki itu memelas sambil memeluk dan mencium kaki sosok hitam yang berdiri di hadapannya.

“Aku tidak butuh hartamu, aku hanya butuh nyawamu!” Belum lagi pria tua itu memohon untuk dilepaskan, sabetan samurai memisahkan kepala dari badannya. Ia pun tewas seketika. Darah membasahi lantai apartemen mewah itu.

Sosok hitam yang seluruh tubuhnya tertutup itu memalingkan wajahnya ke pojok dinding. Tempat sesosok wanita muda tak berpakaian berada. Ia diam gemetar sambil memeluk lututnya. Wajahnya pucat, ketakutan menyelimutinya setelah menyaksikan pembunuhan yang baru saja terjadi. Pria tua itu, yang baru saja melepas birahi dengannya, mati dengan kepala putus.

“Kumohon, lepaskan aku. Aku tak tahu apa-apa. Kumohon lepaskan aku!” wanita muda itu setengah berteriak, namun suaranya tercekat karena ketakutannya sendiri. Apalagi ia melihat sosok hitam itu berjalan mendekatinya sambil memegang pedang yang berlumuran darah.

Ia tak habis pikir. Bagaimana bisa sosok itu masuk dengan leluasa, sementara penjagaan apartemen itu terbilang cukup ketat. Dengan kartu akses yang tidak bisa dimiliki orang lain selain yang memiliki flat. Ditambah dengan CCTV yang tersebar di hampir setiap sudut lorong dan pintu masuk. Dan tiba-tiba saja, sosok itu telah berada dihadapan mereka yang sementara memacu birahi dengan liar dan buasnya. Menarik leher pria tua, menghajarnya dan melemparnya ke samping dinding.

Sambil berjalan, sosok itu mengayunkan pedang kehadapan wanita muda tanpa busana itu.

“Aku tidak akan membunuhmu. Tidak ada gunanya mengotori pedangku dengan membunuhmu. Karena kau sendiri sudah kotor. Pelacur, perempuan hina yang hanya bisa menjual tubuh. Orang-orang seperti kau telah merendahkan derajat dan martabat perempuan.”

Masih berdiri, sosok itu melanjutkan. “Tapi jangan anggap aku berbelas kasihan padamu. Aku sama sekali tak simpati padamu. Bahkan aku jijik. Aku hanya memperingatimu. Jika pada lain waktu aku melihatmu lagi, dengan laki-laki lain yang bukan muhrimmu. Aku tidak akan segan-segan menghabisi nyawamu. Bahkan aku akan menyiksamu sebelum membunuhmu,” ancamnya lagi.

Sedetik kemudian, wanita tanpa busana itu merasa kepalanya dipukul benda tumpul, dan sekejap kemudian, semuanya gelap. Ia pingsan saat sosok hitam itu memukul bagian belakang kepalanya dengan gagang samurai. Setelahnya, sosok itu mendekati mayat lelaki, dan dengan pedangnya, menggoreskan sesuatu di dadanya.

-------------------

Siang itu, di kantor redaksi sebuah koran ternama di Jakarta. Rapat redaksi sedang berlangsung. Kali ini isunya adalah berita pembunuhan seorang pejabat lokal setempat yang ditemukan mati dengan kepala terpisah di sebuah apartemen mewah di Jakarta.

Di situ tertulis, “..bersamaan dengan jasad tanpa kepala, ditemukan pula sesosok wanita tanpa busana dalam keadaan pingsan. Pembunuhan diperkirakan terjadi tengah malam melalui jejak darah yang mengering. Petugas security apartemen membuka flat dengan kunci duplikat karena melihat ceceran darah yang mengering dibawah pintu masuk. Polisi sementara mengumpulan keterangan dengan memeriksa sejumlah saksi. Tapi menurut pengakuan sejumlah saksi, mereka hanya melihat pria itu naik ke Lt 10 apartemen bersama seorang wanita yang juga ditemukan dalam keadaan pingsan dan tanpa busana. Saat ditemukan, di dada pria itu terdapat goresan kecil bertuliskan “KORUPTOR HARUS MATI!”

Satu persatu pihak apartemen diperiksa, termasuk security yang berjaga pada malam pembunuhan. Namun tak satupun yang mengaku melihat orang lain selain korban dan seorang wanita yang kemudian ditemukan pingsan di dalam kamar. Polisi mencari tahu apakah ada orang lain yang terlihat mencurigakan pada malam pembunuhan. Tapi jawabannya nihil, pihak keamanan mengaku tidak melihat. Sampai akhirnya Polisi meninggalkan apartemen sambil membawa rekaman CCTV pada malam kejadian.

Pada halaman lain, koran tersebut mengulas rekam jejak korban pembunuhan. Korban disebut sebagai pejabat tinggi salah satu instansi strategis di Ibu Kota. Ia dikenal memiliki relasi luas, tapi reputasinya buruk. Ia disebut memiliki harta melimpah yang beberapa diantaranya diduga dari hasil korupsi. Ia berkali-kali dilaporkan oleh sejumlah LSM karena dugaan korupsi, namun tak juga diproses oleh aparat penegak hukum. Isu yang berhembus, sejumlah aparat juga sudah disuap agar tak kasusnya tidak diproses.

“Gila, korban itu narasumber kita bulan lalu.” Ujar Erik setengah berteriak dihadapan peserta rapat. Erik Pimpinan Redaksi (Pimred) koran tersebut berdiri sambil memegang dua koran. Satu yang menerbitkan berita pembunuhan tersebut. Satunya lagi koran mereka yang memuat wawancara dengan korban bulan lalu. Tertulis di halaman pertama, “Saya difitnah!”

“Ini korban yang ketiga, dan mereka semua adalah narasumber kita” Johan, wakil Pimred menimpali. “kalau begini, bisa-bisa polisi akan mendatangi kita untuk mengorek informasi seputar pembunuhan ini.” Ujarnya menambahkan.

“Tepat, tidak lama lagi” Tedy, redaktur berita kriminal. “Saya mendapat informasi dari sumber di kepolisian, kalau tidak lama lagi, polisi akan ke kantor kita untuk mencari bukti.”

Sejenak suasana hening. Ketegangan memancar diwajah mereka. Kasus pembunuhan ini memang aneh, karena korbannya adalah pejabat pemerintah yang menjadi narasumber mereka dalam rubrik wawancara khusus.

“Arya, apa komentarmu? Kau yang mewancarai ketiga narasumber ini” Erik berpaling ke sosok wanita yang duduk di kursi ujung.

Wanita yang dipanggil Arya itu membetulkan posisi duduknya. Sejenak semua mata memandangnya. Dengan membetulkan kaca matanya, ia berujar. “Memang kasus ini aneh, dan menurutku bukan sebuah kebetulan ketika semua korbannya adalah narasumber kita.”

“Lantas, apa analisismu? Erik melemparkan pertanyaan.

“Saya berani bertaruh pelakunya sama. Entah sendiri atau berkelompok. Tapi saya lebih yakin kalau pelakunya sendiri, dan dia seorang profesional. Karena bagaimana mungkin bisa membunuh di sebuah apartemen yang cukup ketat, lolos dengan mudahnya tanpa meninggalkan jejak. Kalaupun ada jejak, polisi sulit menemukannya. Karena ini kasus pembunuhan ketiga sejak 9 bulan terakhir.” Arya melemparkan pendapatnya.

“Ini bagian dari teori jurnalisme investigasi, rantai kasusnya memungkinkan kita untuk menebak pelakunya pasti sama. Tapi motifnya apa, saya belum bisa menyimpulkan” Ujarnya menambahkan.

Erik menganguk-anggukan kepala tanda setuju. Demikian pula peserta rapat lainnya menggumam setuju.

Sejenak diam, tidak berapa lama kemudian hand phone Erik berdering. Dilayar, tertulis panggilan masuk atas nama Kapolda....!

to be continued.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun