Mohon tunggu...
Wina Ramadhani
Wina Ramadhani Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Bercita-cita untuk terus membaca.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Sizeism dan Apa Benar Menjadi Kurus Berarti Sehat?

12 September 2021   20:39 Diperbarui: 16 September 2021   12:32 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berat badan adalah masalah yang tidak berkesudahan. Terlalu kurus bisa-bisa dianggap tidak bahagia. Terlalu gemuk juga dianggap sering malas-malasan. Selain itu, berat badan juga sudah jadi sesuatu yang haram dibicarakan. Katanya, perempuan sering marah jika ditanya berat badannya berapa.

Meski begitu, berat badan ini menjadi masalah yang "lebih berat" dihadapi oleh orang-orang yang dianggap gemuk. Belakangan, bahkan sepertinya menggunakan kata gemuk saja harus berhati-hati. Padahal, yang lebih buruk dari itu adalah fat shaming-nya. 

Fat Shaming dan Sizeism

Saya rasa Anda mungkin sudah awam dengan istilah fat shaming ini. Sederhananya, fat shaming adalah stigma atau prasangka buruk kita terhadap orang-orang dengan berat badan yang dianggap "berlebihan". 

Sebelas dua belas dengan fat shaming, sizeism sebenarnya adalah hal yang sama, yaitu diskriminasi kita terhadap seseorang dengan ukuran, bentuk tubuh, dan berat badan mereka. 

Jika Anda masih berpikir bahwa "gemuk" itu sama dengan malas bergerak, rakus, tidak punya kontrol diri, dan lain sebagainya. Mungkin Anda sudah fat shaming sejak dalam pikiran. Apalagi, kalau pikiran ini kemudian dituangkan dalam tindakan, misalnya cemoohan atau bahkan mempermalukan.

Ingat Nurul Akmal? Atlet angkat besi Indonesia yang pulang dari Olimpiade Tokyo, tapi malah disambut dengan ucapan "yang paling kurus". Meski berprestasi, Nurul Akmal tetap mengalami body shaming. 

Padahal, fat shaming ini tidak membantu sedikit pun dalam menangani kelebihan berat badan seseorang. Terus-terusan mengajak seseorang untuk makan sedikit, memperbanyak gerak, dan menurunkan berat badan justru bisa membuatnya stres atau bahkan depresi.

Surprisingly, kata Psychology Today, penelitian menunjukkan bahwa fat shaming ini justru terjadi di dunia medis. Mungkin, tujuannya adalah menghindari orang-orang dari lingkungan obesogenic* dan menyebabkan obesitas.

BMI dan Kesehatan Kita 

Sering kali kita terpaku pada alat ukur yang bernama BMI (Body Mass Index). Padahal alat ukur ini telah banyak dikritik karena tidak relevan untuk menggambarkan keadaan sehat atau tidaknya seseorang. 

Bagaimana tidak? BMI ini lahir dari seorang matematikawan Belgia pada hampir 200 tahun yang lalu. BMI ini digunakan untuk mengukur apakah Anda terlalu kurus, normal, atau kegemukan/obesitas. Namun, lagi-lagi BMI tidak bisa menghitung korelasi apa pun dengan lemak tubuh dan kesehatan seseorang. 

Banyaknya iklan-iklan pelangsing, model-model bertubuh kecil, dan hal-lain yang membentuk pola pikir masyarakat kemudian membuat kita lupa, bahwa ada hal lain yang perlu dibicarakan dalam hal berat badan ini. 

Kita sering kali lupa, bahwa ada faktor bernama genetik. Beberapa orang memang sudah terlahir dengan bentuk tubuh A, ada pula yang terlahir dengan bentuk tubuh B, dan sebagainya. Kita tidak bisa memukul rata bentuk tubuh dan berat badan seseorang.

Selain itu, diet tidak selamanya bisa berhasil dan baik untuk dijalankan. Terkadang diet ketat membuat seseorang lupa akan kebutuhan lemak, gula, karbohidrat, protein, dan kandungan lainnya. Semuanya demi memuaskan keinginan tidak gemuk. Diet ketat ini justru bisa berperan dalam memperburuk kesehatan. Bukan kurus, justru penyakit yang didapat. 

Apakah Menjadi Kurus Berarti Sehat? 

Kembali ke pertanyaan paling mendasar ini, lalu apakah menjadi kurus berarti kita sehat?

Tentu saja tidak. Jangan pikir dengan tubuh kurus, Anda bisa seenaknya makan ini itu, tidak pernah berolahraga, dan malas bergerak. Penampilan di luar tidak menjamin kesehatan Anda. Ada jajaran penyakit yang bisa menyerang seseorang yang bertubuh kurus, seperti tekanan darah, diabetes, anemia, penyakit jantung, dan lainnya. 

Sederhananya, tubuh kita bisa memiliki dua jenis lemak, yaitu subkutan dan viseral. Di antara keduanya, lemak viseral adalah jenis lemak yang lebih berbahaya bagi kesehatan seseorang. Jika BMI Anda "normal" tetapi diiringi dengan terlalu banyak lemak viseral, tentu tetap memiliki risiko penyakit.

Jadi, seseorang dengan tubuh yang "besar" belum tentu lebih tidak sehat daripada seseorang yang bertubuh kurus. Pola makan yang sehat, olahraga teratur, dan pikiran yang damai adalah faktor-faktor penentu kesehatan seseorang. 

Kalau bertubuh kurus tapi terus menerus stres, lalu di mana esensi hidup dan kesehatan kita? Jadi, sebetulnya, obesitaslah yang kita hindari, bukan besar atau kecilnya. 

Sizeism telah mengubah cara kita menilai seseorang. Beranggapan bahwa tubuh kurus lebih menarik dan cantik adalah cara pandang yang buruk. Rasa dikucilkan dan kesedihan hanya karena seseorang bertubuh besar dan gemuk lebih berbahaya daripada urusan berat badan itu sendiri.

Mengajak beralih ke pola hidup sehat tentu niatan yang mulia. Tapi ingat, bukan sekadar untuk jadi kurus, ya... 

*Cara hidup yang membuat seseorang terjebak dalam pola sedenter--banyak duduk, sedikit olahraga. Umumnya terjadi di kota besar yang serba cepat, praktis, dan mudah Pola hidup ini membuat orang banyak mengonsumsi makanan berkalori tinggi dan menyebabkan obesitas. 

Sumber bacaan: 

1.  Psychology Today (1)

2.  Psychology Today (2) 

3. Fox News 

4. The Conversation 

5. Harvard Health Publishing

6. Detik Food 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun