Hiruk pikuk Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) ini sesungguhnya tidak hanya saat sekarang ini saja. Tapera sudah dibicarakan dan dipermasalahkan banyak pihak sejak beberapa tahun yang lalu, sejak disahkannya Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Â Â
Hiruk pikuk tentang Tapera saat ini mencuat kembali pasca terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 sebagai turunan UU Nomor 4 Tahun 2016, yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo tanggal 20 Mei 2024 lalu.
Tujuan diadakannya Tapera memang cukup mulia, yakni untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.
Siapa yang dimaksud dengan peserta Tapera? Dalam poin ke-11, ke-12, dan ke-13 Pasal 1 PP Nomor 21 Tahun 2024 disebutkan bahwa peserta Tapera adalah warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan.
Selain warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan, peserta Tapera juga termasuk pula warga negara asing (WNA) pemegang visa kerja paling singkat 6 (enam) bulan.
Tapi tidak semua pekerja jadi peserta Tapera. Pekerja yang jadi peserta Tapera adalah pekerja yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum (Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 2016). Artinya pekerja yang berpenghasilan di bawah upah minimum tidak wajib jadi peserta Tapera.
Salah satu kewajiban (utama) yang harus dipenuhi oleh peserta Tapera adalah membayar uang simpanan peserta sebesar 3% dari gaji. Rinciannya sebesar 0,5% dibayar oleh pemberi kerja (perusahaan, dll.) dan sebesar 2,5% dibayar oleh pekerja itu sendiri.
Uang simpanan tersebut sifatnya tabungan, bukan iuran. Jadi uang simpanan itu nanti bisa diambil setelah masa kepesertaan berakhir. Â
Hal yang jadi bahan perbincangan dari Tapera ini apalagi kalau bukan uang simpanan yang harus dibayar oleh peserta. Banyak pihak keberatan dengan ketentuan ini.
Bagi pekerja atau pegawai yang bekerja di lembaga/kementerian/badan pemerintah mungkin tidak terlalu masalah. Sebagai aparatur pemerintah mereka biasanya memiliki masa kerja yang cukup lama.
Tapi hal itu tergantung pula kepada usia ketika si pegawai pemerintah tersebut diangkat pertama kalinya jadi aparatur pemerintah. Semakin muda usia ketika diangkat jadi aparatur pemerintah, maka semakin lama masa kerja jadi pegawai pemerintah.
Untuk aparatur pemerintah dari sipil, usia pensiun mereka rata-rata 58 atau 60 tahun. Sedangkan usia pensiun aparatur pemerintah dari TNI/Polri rata-rata kurang dari 58 tahun.
Akan tetapi pada umumnya masa kerja aparatur pemerintah bisa belasan bahkan puluhan tahun. Artinya kalau pun mereka harus membayar uang simpanan Tapera nanti bisa diambil kembali ketika mereka sudah pensiun.
Jika uang simpanan Tapera yang mereka bayarkan rata-rata Rp. 200.000 per bulan misalnya, maka ketika pensiun dengan masa kerja 20 tahun misalnya, mereka bisa punya tabungan sebesar Rp. 48.000.000. Lumayan bisa untuk membayar uang muka rumah tipe sederhana.
Hal itu berbeda dengan pekerja atau pegawai swasta. Masa kerja pegawai swasta jarang yang sampai puluhan tahun. Bahkan banyak pegawai swasta yang bekerja di suatu perusahaan hanya satu atau dua tahun saja.
Kalau lah mereka membayar uang simpanan Tapera dengan jumlah yang sama dengan pegawai pemerintah tadi, yakni Rp. 200.000 per bulan, maka jika pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja dengan masa kerja 5 tahun misalnya, berarti dia hanya punya tabungan sebesar Rp. 12.000.000 saja.
Uang sebesar Rp. 12.000.000 jika dikaitkan dengan kepemilikan rumah tentu "tidak ada artinya".
Dengan demikian program Tapera yang diluncurkan pemertintah bagi para pegawai pemerintah sendiri (maybe) "Yes". Akan tetapi bagi pegawai swasta (maybe) "No".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H