Seharusnya pengeluaran di waktu bulan ramadan alias bulan puasa itu lebih hemat dari bulan lainnya. Mengapa? Sebab di bulan ramadan kita hanya makan sebanyak dua kali saja, waktu maghrib dan sahur.
Sedangkan di luar bulan ramadan kita bisa makan lebih dari dua kali. Mungkin rata-rata tiga kali. Makan pagi (sarapan), makan siang, dan makan malam. Belum lagi jajan makanan atau cemilan. Bisa bakso, mie ayam, kue-kue, atau yang lainnya. Â
Namun faktanya tidak begitu. Pengeluaran di bulan ramadan justru meningkat. Sebab terkadang kita suka mengada-adakan makanan yang banyak. Itu karena godaan hawa nafsu kita yang sedang berpuasa.
Padahal setelah makanan itu terkumpul, tidak semua bisa dikonsumsi. Daya tampung perut kita terbatas, tidak sebesar hawa nafsu kita.
Akhirnya makanan banyak tersisa. Kalau sudah begitu, makanan terkadang jadi mubazir. Mungkin jadi pengisi tong sampah.
Nah, untuk menghindari hal tersebut kita harus bijak dan cerdas. Kita hanya mengadakan makanan yang benar-benar kita butuhkan dan akan bisa kita konsumsi. Kita harus bisa menekan hawa nafsu kita.
Akan tetapi selain pengeluaran untuk makanan, tidak bisa dipungkiri juga bahwa di bulan ramadan ada pengeluaran ekstra lainnya yang mungkin tidak ada di bulan lain selain bulan ramadan. Salah satunya adalah membeli pakaian baru untuk lebaran idul fitri.
Membeli baju lebaran jelas hanya khas ada di bulan ramadan. Sebab di bulan lain kita tidak akan membeli baju lebaran idul fitri. Sebab idul fitri itu hanya terjadi setelah berakhirnya bulan ramadan.
Apakah di bulan lain selain bulan ramadan kita tidak membeli pakaian baru? Tentu saja tidak. Di bulan lain selain bulan ramadan kita juga tetap membeli pakaian yang kita butuhkan. Akan tetapi nuansanya berbeda dengan ketika membeli baju untuk lebaran.
Membeli baju untuk lebaran itu pada umumnya dilakukan secara "berjamaah" dengan anggota keluarga lainnya. Hampir dipastikan semua anggota keluarga "wajib" membeli pakaian baru di bulan ramadan untuk lebaran.
Sedangkan di bulan lain selain bulan ramadan, membeli pakaian itu sesuai kebutuhan masing-masing. Walau pun kadang bisa juga secara "berjamaah". Misalnya ketika mau ada acara keluarga, seperti pernikahan misalnya.
Membeli baju untuk lebaran tentu boleh-boleh saja dan merupakan hal yang lumrah. Akan tetapi tidak jarang ada sebagian orang yang berlebihan dalam membeli baju lebaran. Misalnya membeli baju lebaran cukup banyak sampai beberapa pasang. Padahal mungkin baju lebaran cukup satu atau maksimal dua pasang saja.
Hal lain yang membuat pengeluaran di bulan ramadan jadi meningkat alias lebih besar dari bulan biasanya adalah karena di bulan ramadan kita sering bersedekah atau berderma.
Nah untuk yang ini kita tidak perlu "mempermasalahkannya". Sebab berderma di bulan ramadan merupakan sebuah kebaikan yang luar biasa tinggi nilai kebaikannya. Justru ini merupakan sebuah kesempatan bagi kita. Kalau bisa dan memungkinkannya kita bisa berderma sebanyak mungkin di bulan ramadan.
Berderma di bulan ramadan dari sudut pandang agama memiliki nilai pahala yang luar biasa besar. Bahkan dalam banyak referensi, pahala kebaikan di bulan ramadan bisa berpuluh-puluh atau beratus-ratus lipat kali pahalanya.
Pahala merupakan sesuatu yang abstrak. Kita tidak tahu berapa ukuran atau nilai satu pahala itu misalnya.
Akan tetapi pahala itu merupakan sebuah kebaikan bagi si orang yang berderma (dan perbuatan baik lainnya). Nanti kebaikan itu akan jadi "tabungan" amal setelah dia meninggal dunia. Sebagian dari kebaikan pahala itu malah akan bisa dirasakan ketika masih di dunia sebagai "DP" (Down Payment) dari perbuatan baik yang dilakukan.
Ini merupakan sesuatu yang logis adanya. Sebab sebagaimana pernah dikatakan salah seorang cendekiawan muslim Indonesia ternama, yakni Nurcholish Madjid bahwa perbuatan itu ibarat bola pantul. Baik atau buruk perbuatan itu akibatnya akan kembali memantul kepada orang yang melakukannya.
Ketika kita bersikap sopan kepada orang lain, maka orang lain pun akan bersikap sopan kepada kita. Itu merupakan balasan dari perbuatan atau sikap sopan kita.
Sebaliknya ketika kita bersikap buruk kepada orang lain, maka orang lain pun akan bersikap buruk kepada kita. Itu merupakan balasan dari perbuatan atau sikap buruk kita.
Bagaimana dengan pahala yang jadi "tabungan" amal setelah meninggal dunia? Apakah kita akan benar-benar merasakannya?
Jika kita orang beriman tentu kita harus mempercayai dan meyakini bahwa memang hal itu akan kita rasakan nanti. Keimanan menuntun atau mengarahkan kita untuk percaya dan yakin akan hal itu. Hanya dengan keimanan lah kita bisa "menjangkau" sesuatu yang tidak empiris, seperti kehidupan setelah mati dan merasakan pahala dari kebaikan yang kita lakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H