Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pemilu Merepotkan, Kenapa Tidak Mencoba Kembali ke Sistem Proporsional Tertutup?

22 Februari 2024   11:31 Diperbarui: 22 Februari 2024   11:31 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pernah mengalami dan menyimak pemilu (pemilihan umum) di masa Orde Baru dan pemilu pasca reformasi tahun 1999. Saat itu sistem pemilu masih menggunakan Sistem Proporsional Tertutup.

Saya juga tentu saja mengalami dan menyimak pemilu pasca reformasi mulai Pemilu tahun 2004 sampai Pemilu tahun 2024 yang baru saja berlalu. Pada saat pemilu pasca reformasi tersebut sistem pemilu sudah berganti menjadi Sistem Proporsional Terbuka.

Pada pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup pemilih tidak memilih caleg (calon anggota legislatif), tapi memilih parpol (partai politik). Sedangkan pada pemilu dengan Sistem Proporsional Terbuka pemilih memilih caleg, tapi bisa juga memilih parpol.

Saya membandingkan output pemilu dengan dua sistem tersebut. Menilik outputnya, pemilu dengan Sistem Proporsional Terbuka bagi saya tidak lebih baik dari pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup.

Ouput yang saya maksud adalah anggota legislatif yang duduk di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), mulai dari tingkat kabupaten sampai tingkat pusat (nasional). Artinya anggota legislatif terpilih dari hasil pemilu dengan Sistem Proporsional Terbuka bagi saya tidak lebih baik dari anggota legislatif terpilih hasil pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup.

Indikator sederhananya adalah masalah kualitas berpikir dan moral para anggota legislatif. Menurut saya kualitas berpikir anggota legislatif hasil pemilu dengan Sistem Proporsional Terbuka tidak lebih bagus dari anggota legislatif hasil pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup.

Sedangkan indikator moral adalah dengan lebih banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota legislatif legislatif hasil pemilu dengan Sistem Proporsional Terbuka. Mereka lebih sistematis dan masif dalam hal mencuri uang rakyat.

Lantas saya berpikir, kalau begitu mengapa pemilu harus menggunakan Sistem Proporsional Terbuka? Padahal sistem tersebut sangat merepotkan penyelenggara pemilu, terutama penyelenggara pemilu di lapisan paling bawah dan paling depan, yakni para anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara).

Tidak hanya penyelenggara pemilu, pemilu dengan menggunakan Sistem Proporsional Terbuka juga sangat merepotkan rakyat sebagai pemilih. Mereka harus mencari satu nama caleg dari sekian ratus nama caleg.

Bagi pemilih yang sehat dan pemilih yang belum terlalu tua mungkin tak terlalu masalah. Tapi bagi pemilih yang sakit dan berusia cukup tua, yang penglihatannya sudah kurang normal misalnya, hal itu merupakan kesulitan tersendiri.

Pemilu dengan menggunakan Sistem Proporsional Terbuka terbukti bukan hanya merepotkan, tapi juga telah makan banyak korban. Di Pemilu 2019 lalu misalnya. Menurut data KPU (Komisi Pemilihan Umum) ada 894 orang petugas KPPS meninggal dunia akibat sakit dan kelelahan.

Kemudian di pemilu 2024 yang baru saja dilangsungkan, menurut Kemenkes (Kementerian Kesehatan) telah ada 94 orang petugas KPPS meninggal dunia. Angka ini kemungkinan besar akan terus bertambah, mengingat proses pemilu, yakni penghitungan suara masih berjalan, belum selesai.

Saya juga pernah mengalami sebagai penyelenggara pemilu. Mulai tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara) sampai tingkat kecamatan, yakni PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan).

Hal yang sangat merepotkan bagi penyelenggara pemilu, terutama para anggota KPPS adalah dalam hal penghitungan suara para caleg. Itu benar-benar menguras tenaga dan memakan waktu.

Tak jarang proses penghitungan suara ini berlangsung sampai larut malam. Bahkan tak sedikit pula KPPS yang baru bisa menyelesaikan proses penghitungan suara menjelang waktu subuh.

Belum lagi jika ada tekanan dari tim sukses atau saksi dari para caleg, proses penghitungan suara akan semakin molor. Petugas KPPS pun jadi semakin tertekan dan mengalami kelelahan fisik dan mental.

Dengan demikian para elit politik seharusnya bisa berpikir ulang untuk meninjau kembali sistem pemilu yang sudah dilaksanakan dan berjalan di beberapa kali pemilu. Dalam hal ini para elit politik bisa membuka wacana untuk kembali kepada sistem pemilu sebelumnya, yakni Sistem Proporsional Tertutup.

Wacana ini mungkin kurang populer. Tapi demi kebaikan semua mengapa tidak? Penyelenggara pemilu tidak terlalu repot dan rakyat pemilih juga tidak terlalu repot.

Masalah caleg biarlah itu urusan parpol. Toh ketika rakyat pemilih langsung memilih caleg yang bersangkutan juga kadang tidak berdasarkan pertimbangan kualitas, objektif, dan logis.

Artinya caleg yang dipilih langsung oleh rakyat pemilih juga belum tentu berkualitas. Bisa saja caleg yang tidak terpilih justru lebih berkualitas daripada caleg yang terpilih.

Ingat pemilu itu pesta demokrasi. Pesta artinya sesuatu yang menyenangkan. Jika pesta tidak menyenangkan, apalagi malah merepotkan, menyusahkan, dan bahkan bikin madharat tentu bukan lah pesta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun