Hal itu berdasarkan pengalaman penulis sendiri di masa kecil. Ya, penulis sendiri pernah mengalami "jengkoleun" sekira usia 10 tahunan (ini rahasia ya, jangan bilang-bilang yang lain).
Saat itu penulis masih ingat, siang menjelang sore. Penulis sedang main kucing-kucingan dengan teman-teman sebaya. Tak jauh dari rumah.
Kemudian semua beristirahat terlebih dahulu. Sebagian pulang dulu ke rumah masing-masing untuk makan siang. Termasuk penulis.
Kebetulan menu makan siang waktu itu diantaranya ada sambel terasi dan jengkol muda. Tentu saja sebagai orang Sunda penulis sangat suka. Penulis pun makan dengan lahap.
Nah habis makan penulis dan teman-teman sebaya yang lain kembali bermain kucing-kucingan. Namun tak lama kemudian penulis merasa mual dan mulas. Penulis juga merasa sangat ingin buang air.
Hal yang tak pernah penulis alami sebelumnya terjadi. Waktu buang air terasa panas dan sakit. Penasaran penulis perhatikan warna air seni. Ternyata berwarna keruh dan banyak serbuk putih seperti serbuk kapur tulis.
Tentu saja waktu itu penulis panik. Saat itu fixed penulis keracunan jengkol alias "jengkoleun".
Waktu itu penulis dikasih air kelapa dan disuruh minum banyak air putih oleh ibu. Alhamdulillah esok harinya penulis sembuh dari "jengkoleun".
Setelah kejadian itu ibu memberi semacam "tips" dan menasehati penulis untuk tidak mengonsumsi jengkol terlalu banyak (harus beraturan). Selain itu tidak melakukan aktifitas fisik yang berat atau aktivitas yang menguras keringat setelah mengonsumsi jengkol.
Ibu juga memberi tahu bahwa jika mau mengonsumsi jengkol mentah, harus yang masih muda. Cirinya renyah, tidak alot.
Namun jika jengkol sudah agak alot, sebaiknya ditanam dulu barang dua atau tiga hari di dalam tanah. Istilah ibu, jengkol itu supaya "ngambeu" (mencium) bau tanah terlebih dahulu, sehingga getah atau "aci"nya tidak menyebabkan keracunan.