Anak bernama Ali menimpali. Dirinya juga sudah punya baju lebaran. Ayahnya yang bekerja di kota telah membelikan baju lebaran tiga hari yang lalu.
Kemudian anak yang bernama Ridho juga tak mau kalah. Ridho menyebut bahwa baju lebarannya kali ini sangat bagus dan mahal. Baju lebaran itu pemberian dari pamannya yang baru pulang ibadah umrah.
Sementara itu Mukhlis hanya diam. Ia hanya menyimak pembicaraan teman-temannya yang terlihat senang dan gembira telah punya baju lebaran. Hanya Mukhlis yang belum punya baju lebaran.
Maklum, kakek Mukhlis tak punya cukup uang untuk membelikan cucunya itu baju lebaran. Penghasilan kakek Mukhlis yang tak seberapa hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Diam-diam kakek Mukhlis menguping pembicaraan anak-anak itu. Sebab kebetulan kakek Mukhlis sedang mengasah pisau di arah belakang anak-anak yang sedang mengobrol tersebut.
Kakek Mukhlis merasa sedih. Hatinya pilu karena tak mampu membelikan baju lebaran untuk cucu satu-satunya itu. Tak terasa air mata kakek Mukhlis jatuh bersamaan dengan tepukan tangan mungil di pundaknya.
Ternyata Mukhlis yang menepuk pundak si kakek. "Kenapa menangis Kek?", tanya Mukhlis. Si kakek menjawab, "Gak apa-apa Cu, hanya kelilipan debu". Jawab si kakek. Kakek Mukhlis tak mau berterus terang dengan apa yang ada dalam pikirannya.
Karena waktu sebentar lagi adzan maghrib, Mukhlis dan kakeknya kemudian bergegas masuk rumah. Mukhlis mengambil handuk untuk mandi dan si kakek ke dapur menyiapkan makanan seadanya untuk berbuka puasa.
Setelah berbuka puasa dengan air putih hangat, Mukhlis dan kakeknya kemudian salat maghrib berjamaah. Kemudian mereka berdua makan bersama-sama.
Setelah waktu isya tiba, Mukhlis dan kakeknya bergegas pergi ke masjid untuk melaksanakan salat isya berjamaah dan salat tarawih. Singkat cerita mereka pun selesai melaksanakan salat isya dan salat tarawih. Â
Ketika Mukhlis dan kakeknya akan keluar dari masjid untuk pulang, ada suara memanggil Mukhlis. Ternyata pa Haji yang rumahnya persis di depan masjid.