Menurut Antropolog ternama Amerika Serikat, Clifford Geertz, santri adalah varian masyarakat di Jawa yang taat kepada ajaran Islam. Hal itu sebagaimana Geertz jelaskan dalam bukunya yang cukup monumental, "Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa".
Definisi yang diberikan Geertz mungkin terlalu sederhana. Sebab dalam pemahaman masyarakat Islam, tidak setiap masyarakat yang taat kepada ajaran Islam bisa disebut sebagai santri.
Dalam pemahaman masyarakat Islam pada umumnya, santri adalah orang yang belajar atau memperdalam agama di pesantren-pesantren. Kata "pesantren" sendiri berasal dari kata "santri", yakni "pesantrian".
Kata yang mendapat imbuhan pe - an mengandung arti menyatakan tempat, menyatakan alat, menyatakan hasil perbuatan, menyatakan peristiwa itu sendiri, atau menyatakan kumpulan. Pesantren dengan demikian bisa diartikan sebagai tempat berkumpulnya para santri atau tempat santri itu sendiri.
Bagi sebagian orang, kata "santri" mungkin identik dengan sosok berpenampilan kumuh, jorok, katro, gaptek, tidak disiplin, dan gambaran minor lainnya. Gambaran tentang santri seperti itu untuk saat ini bukan hanya tidak tepat, tapi juga agak merendahkan.
Faktanya santri zaman now bahkan tak sedikit malah jauh lebih keren dari mereka yang belajar di sekolah umum pada umumnya. Intelektualitas, skill, dan kompetensi mereka juga terbilang mumpuni.
Tak sedikit santri yang berprestasi dalam bidang IT, robotik, olimpiade matematika, fisika, kimia, dan sebagainya. Tak sedikit pula santri yang unggul dalam karya tulis ilmiah, jago dalam diskusi/debat, atau mahir berpidato menggunakan bahasa asing.
Hal itu dikarenakan para santri saat ini tidak melulu mempelajari "kitab kuning". Para santri juga mempelajari berbagai disiplin ilmu umum, sehingga mereka menguasai disiplin ilmu agama sekaligus disiplin ilmu umum.
Banyak pesantren saat ini mengadopsi sistem pendidikan modern. Sistem pendidikan modern tersebut dipadukan dengan sistem pendidikan tradisional pesantren.Â
Oleh karena itu tak mengherankan jika banyak santri alumni pesantren memiliki nilai plus dibanding mereka yang belajar di sekolah umum pada umumnya.
Selain itu ada nilai plus alumni pesantren yang bisa jadi tidak dimiliki oleh mereka yang belajar di sekolah umum pada umumnya. Apa itu? Kemandirian.
Hampir semua pesantren menerapkan sistem asrama. Artinya para santri semuanya tinggal di asrama pesantren. Kecuali mereka yang rumahnya sangat dekat dengan pesantren.
Bagi mereka biasanya ada "dispensasi" untuk menjadi "santri kalong", yaitu santri yang belajar di pesantren di siang hari saja. Sedangkan di malam hari mereka pulang ke rumah masing-masing, karena memang jaraknya dekat dengan pesantren.
Oleh karena para santri tinggal di pesantren siang dan malam, mau tidak mau mereka dituntut untuk bisa lebih mandiri. Para santri tidak bisa bermanja-manja kepada orang tua seperti di rumah masing-masing.
Para santri juga harus bisa mengurus diri sendiri, mengurus kebersihan ruangan, tempat tidur, lingkungan, dan sebagainya. Kadang ada juga sebagian santri yang harus mencuci baju sendiri. Namun untuk hal ini biasanya ada juga jasa laundry di dalam pesantren.
Hal tersebut jelas akan menempa karakter para santri menjadi lebih mandiri, tidak manja, dan juga tidak cengeng. Hal itu bisa menjadi attitude para santri alumni pesantren dalam kehidupan setelah mereka tidak lagi menimba ilmu di pesantren.
Secara langsung atau tidak langsung, para santri alumni pesantren terbukti sudah banyak memberikan kontribusi bagi masyarakat di lingkungan tempat mereka berada. Peran para santri tidak bisa dinafikan begitu saja.
Pemerintah dalam hal ini telah pula mengakui kontribusi dan peran santri, baik dulu maupun kini. Sehingga pemerintah kemudian menjadikan santri sebagai salah satu hari dari "hari nasional".Â
Ya, pemerintah telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai "Hari Santri Nasional".
Semoga di hari santri 2022 ini para santri semakin bisa memberikan kontribusi dan perannya bagi negeri ini. Semoga para santri juga bisa memberikan manfaat lebih besar bagi diri dan lingkungannya. Â Â
