Kemudian dalam Perang Banten antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan kolonial Belanda (1656-1692). Saat itu kolonial Belanda kewalahan menghadapi perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa.
Namun kolonial Belanda kemudian menggunakan politik "devide et impera". Saat itu kolonial Belanda memecah belah istana Bangten, yakni memecah belah antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Pangeran Abdul Kahar (Sultan Haji). Kolonial Belanda menghasut Sultan Haji dan merangkulnya untuk bersama melawan Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada masa perjuangan pergerakan nasional di awal abad ke-20, kolonial Belanda juga tidak terlepas menggunakan politik "devide et impera". Seperti ketika kekuatan Syarikat Islam (SI) semakin kuat dan militan. Kolonial Belanda ketakutan.
Saat itu kolonial Belanda kemudian merongrong dan menginfiltrasi SI, dengan menyelundupkan "orang-orang kiri", yakni mereka yang berhaluan komunis seperti Semaun dan Darsono.
Tujuan kolonial Belanda waktu itu tak lain untuk melemahkan SI. Tak lama kemudian SI pun terpecah menjadi dua, yakni SI "putih" dan SI "merah". SI "putih" dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan SI "merah" dipimpin oleh Semaun.
Kolonial Belanda juga menggunakan politik "devide et impera" untuk memecah belah dan mencegah rakyat Nusantara yang sangat plural bersatu. Dimainkan lah isu sara oleh kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda membagi penduduk Indonesia menjadi tiga kelompok. Pertama, golongan Eropa. Kedua, golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab, India, Pakistan). Ketiga, golongan Pribumi.
Itulah beberapa contoh kasus politik "devide et impera" yang digunakan kolonial Belanda untuk melancarkan dan melanggengkan cengkeraman kuku penjajahan mereka di Nusantara. Dan ternyata hasil politik "devide et impera" tersebut mendapatkan hasil baik sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Sebagian orang percaya dan yakin bahwa politik "devide et impera" yang biasa digunakan oleh kolonial Belanda saat ini masih ada. Bangsa Belanda memang sudah angkat kaki dari bumi Nusantara, tapi politik "devide et impera"nya tidak.
Lantas siapa yang menggunakan politik "devide et impera" saat ini? Tentu saja mereka yang memiliki kepentingan dalam suatu hal atau dalam beberapa hal. Mungkin dalam hal politik, ekonomi, atau hal lainnya.
Politik "devide et impera" ini penulis angkat dalam rangka Hari Uang Tahun Ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT 77 RI) untuk mengingatkan kembali kolonialisme Belanda di Nusantara (Indonesia). Semoga menjadi bahan renungan bagi kita semua.