Tentu saja proyek terowongan air dan jembatan air yang sangat berat dan seperti hampir tidak mungkin itu memakan banyak korban jiwa dari rakyat Indonesia sendiri. Khususnya penduduk yang ada di sekitar Kecamatan Bojongpicung, Cianjur.
Mereka adalah rakyat yang dijadikan pekerja paksa oleh kolonial Belanda untuk melubangi tebing dan membuat terowongan air berdiameter 3 meter sepanjang 1.200 meter. Kemudian membuat jembatan air dan setelah itu membuat saluran irigasi sepanjang puluhan kilo meter dengan lebar 5-10 meter.
Sebagian pekerja yang tewas saat itu memang bukan semata-mata karena kelelahan dijadikan pekerja paksa, tapi karena wabah malaria yang mengganas. Penduduk setempat juga tidak sedikit yang meninggal akibat wabah malaria tersebut.
Pengorbanan para pekerja yang membuat terowongan air dan saluran irigasi Cihea tidaklah sia-sia. Pengorbanan mereka bahkan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Cianjur, khususnya penduduk yang ada di kecamatan Bojongpicung dan sekitarnya sampai saat ini.
Bendungan Cisuru yang menjadi pemasok utama air Irigasi Cihea menjadi salah satu bukti keberadaan dan peninggalan kolonial Belanda di wilayah kecamatan Bojongpicung, Cianjur. Peninggalan kolonial Belanda tersebut benar-benar sarat manfaat. Terutama bagi sektor pertanian di wilayah kecamatan Bojongpicung dan sekitarnya.
Penulis membayangkan seandainya Bendungan Cisuru dan Irigasi Cihea tidak ada, maka daerah Bojongpicung dan sekitarnya akan menjadi daerah rawan air. Sebab wilayah itu tidak memiliki sumber air lain yang cukup memadai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI