Sabtu, 30 Juli 2022 merupakan tanggal merah. Hal itu berarti tanggal 30 Juli 2022 merupakan hari libur nasional.
Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Indonesia Republik Indonesia Nomor 375 Tahun 2022, Nomor 1 Tahun 2022, dan Nomor 1 Tahun 2022, tanggal 30 Juli 2022 memang merupakan salah satu hari libur nasional.
Tanggal 30 Juli 2022 dijadikan hari libur nasional karena bertepatan dengan pergantian tahun baru Islam, yakni 1 Muharaam 1444 Hijriah. Antara tahun Hijriah dengan tahun Masehi saat ini memiliki selisih waktu sekira 578 tahun (2.022 dikurangi 1.444).
Hal itu karena antara tahun Hijriah dengan tahun Masehi memiliki perbedaan "metode" penentuan kalender. Tahun Hijriah berdasarkan peredaran/rotasi bulan yang mengelilingi bumi. Sedangkan tahun Masehi berdasarkan peredaran/rotasi bumi yang mengelilingi matahari. Â Â Â Â
Konsekuensi dari perbedaan "metode" penentuan kalender tersebut, ada selisih waktu antara tahun Hijriah dengan tahun Masehi. Satu tahun kalender tahun Hijriah 354 hari, sedangkan satu tahun kalender tahun Masehi 365 hari. Artinya selisih waktu antara tahun Hijriah dengan tahun Masehi sebanyak 11 hari.
Sejarah Tahun HijriahÂ
Tahun Hijriah sebagai tahun Islam dirumuskan dan ditentukan bukan pada zaman Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup. Tahun Hijriah dirumuskan dan ditentukan semasa pemerintahan Khalifah ar-Rasyidin yang ke-2, yakni Khalifah Umar Ibn Khattab yang memerintah pada tahun 634-644 M/13-23 H.
Penanggalan tahun Hijriah merupakan sebuah produk politik. Disebut demikian karena motivasi dibuatnya penanggalan tahun Hijriah adalah untuk tujuan kelancaran sistem kenegaraan saat itu.
Penanggalan tahun Hijriah bermula dari usulan salah seorang gubernur Khalifah Umar Ibn Khattab yang bernama Abu Musa Al-'Asyari. Abu Musa Al-'Asyari adalah gubernur wilayah Basrah dan pernah pula menjadi gubernur wilayah Kufah.
Saat itu Abu Musa Al-'Asyari mengajukan komplain kepada Khalifah Umar Ibn Khattab. Komplain Abu Musa Al-'Asyari disampaikan di masa 2,5 tahun berlangsungnya pemerntahan Khalifah Umar Ibn Khattab.
Abu Musa Al-'Asyari mengajukan komplain kepada Khalifah Umar Ibn Khattab terkait banyaknya surat yang dikirim oleh Khalifah Umar Ibn Khattab kepada dirinya. Surat-surat dari Khalifah Umar Ibn Khattab yang menumpuk di rak membuat Abu Musa Al-'Asyari bingung.
Abu Musa Al-'Asyari merasa bingung untuk menentukan mana surat yang baru mana surat yang lama, mana perintah terbaru mana perintah yang usang. Hal itu dikarenakan surat-surat dari Khalifah Umar Ibn Khattab tidak ada tanggalnya.
Oleh karena itu Abu Musa Al-'Asyari kemudian menyarankan kepada Khalifah Umar Ibn Khattab untuk membuat sebuah penanggalan. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi lagi kebingungan mengenai surat-surat yang dikirim khalifah kepada para gubernurnya.
Mendapat komplain sekaligus usulan dari Abu Musa Al-'Asyari, Khalifah Umar Ibn Khattab kemudian memanggil dan mengumpulkan semua stafnya, semua orang-orang pentingnya untuk merumuskan dan memformulasikan sebuah penanggalan.
Setelah berdiskusi akhirnya mereka bersepakat untuk membuat sebuah penanggalan dan standarisasi penanggalan. Namun mereka berselisih pendapat tentang penentuan tahun pertama itu dimulai.
Diantara mereka ada yang berpendapat dan mengusulkan, tahun pertama dimulai dari tahun Gajah (yaitu tahun terjadinya penyerangan Ka'bah oleh Abrahah Al-Asyram dan tentaranya di tahun 570 M, persis tahun Nabi SAW dilahirkan). Ada yang mengusulkan tahun pertama dimulai dari tahun wafatnya Nabi SAW. Â Â Â
Selanjutnya ada yang mengusulkan tahun pertama dimulai dari tahun Nabi SAW diangkat menjadi Rasul dan menerima wahyu pertama. Terakhir, Â diantara mereka ada yang mengusulkan tahun pertama dimulai dari tahun hijrahnya Nabi SAW dan para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah.
Khalifah Umar Ibn Khattab harus memilih satu dari 4 opsi yang diusulkan. Atas usulan Usman Ibn Affan, Khalifah Umar Ibn Khattab akhirnya memilih dan memutuskan tahun pertama penanggalan dimulai dari tahun hijrahnya Nabi SAW dan para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah.
Oleh karena itu penanggalan yang didiskusikan dan dirumuskan disebut dengan tahun atau kalender Hijriah. Sebab yang menjadi acuan atau dasar adalah tahun hijrahnya Nabi SAW dan para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah.
Selesai penentuan nama tahun atau kalender. Masalah baru muncul. Para staf dan orang-orang penting Khalifah Umar Ibn Khattab kembali berdiskusi panas mengenai penentuan awal bulan tahun Hijriah.
Diantara staf dan orang-orang penting Khalifah Umar Ibn Khattab ada yang mengusulkan bulan Rabiul Awwal sebagai awal tahun Hijriah. Hal itu dikarenakan Rabiul Awwal memang bulan hijrahnya Nabi SAW dan para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah.
Selain itu ada pula diantara mereka yang mengusulkan bulan Muharram sebagai awal tahun Hijriah. Hal itu dikarenakan bulan Muharram merupakan permulaan munculnya wacana hijrah.
Lagi-lagi atas usulan Usman Ibn Affan, Khalifah Umar Ibn Khattab kemudian memilih dan menentukan bulan Muharram sebagai bulan pertama tahun Hijriah. Khalifah Umar Ibn Khattab menerima usulan Usman Ibn Affan karena argumentasi yang disampaikan cukup logis dan rasional.
Penanggalan tahun Hijriah yang ditentukan di masa Khalifah Umar Ibn Khattab sesungguhnya "tidak orisinil". Sebab sejak berabad-abad bangsa Arab telah menggunakannya.
Sejak lama bangsa Arab telah terbiasa menggunakan bulan sebagai media untuk menentukan waktu. Oleh karena itu penanggalan mereka disebut al-Taqwim al-Qomari (kalender bulan), karena basis perhitungannya bergantung pada peredaran/rotasi bulan.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H