Padahal melaksanakan ibadah haji adalah suatu kewajiban. Melaksanakannya tidak boleh disertai dengan sikap riya' (ingin mendapat pujian/apresiasi dari orang lain) atau pamrih. Melaksanakannya harus ikhlas, semata-mata hanya karena Allah "Azza wajalla.
Hal itu sebagaimana melaksanakan Rukun Islam lainnya. Yakni seperti melaksanakan salat, zakat, atau puasa.
Gelar "haji" bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah haji ternyata tidak dipakai atau disematkan oleh setiap orang dari setiap suku bangsa yang telah melaksanakan ibadah haji. Konon, gelar "haji" pada umumnya dipakai oleh orang-orang Asia dan Afrika. Lebih khusus lagi, Â gelar "haji" dipakai atau disematkan oleh bangsa Melayu, termasuk Indonesia di dalamnya.
Dalam hal ini orang-orang  Arab sendiri tak pernah memakai gelar "haji" di depan nama mereka. Padahal bisa jadi mereka lebih dari satu kali melaksanakan ibadah haji.
Di Indonesia, menurut sejarahnya gelar "haji" dipakai atau disematkan pada waktu penjajahan Belanda. Saat itu pemerintah Belanda merasa risau oleh aktivitas dan gerakan tokoh-tokoh Islam yang telah pulang menunaikan ibadah haji di Mekkah. Sepulang dari menunaikan ibadah haji banyak tokoh Islam membawa banyak perubahan.
Sebut saja seperti Samanhudi. Sepulang menunaikan ibadah haji dari Mekkah ke tanah air, Samanhudi kemudian membentuk dan mendirikan sebuah organisasi Sarekat Dagang Islam.
Cokroaminoto pun demikian. Sepulang menunaikan ibadah haji dari Mekkah ke tanah air, Cokroaminoto kemudian membentuk dan mendirikan Sarekat Islam.
Ada pula Muhammad Darwis. Sepulang menunaikan ibadah haji dari Mekkah ke tanah air, Muhammad Darwis kemudian mendirikan organisasi massa Islam bernama Muhammadiyah.
Termasuk Hasyim Asy'ari. Sepulang menunaikan ibadah haji dari Mekkah ke tanah air, Hasyim Asy'ari kemudian mendirikan organisasi massa Islam bernama Nahdhatul Ulama. Â
Pemerintah Belanda waktu itu kemudian membuat sebuah upaya untuk mengontrol dan mengawasi gerak-gerik mereka yang telah pulang dari menunaikan ibadah haji. Caranya dengan mengharuskan penambahan gelar "haji" di depan nama orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji.
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Belanda Staatsblad tahun 1903. Pemerintah kolonial Belanda pun mengkhususkan Pulau Onrust dan Pulau Khayangan di Kepulauan Seribu jadi gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.