Dalam hal ini petugas kloter harus mampu mengedukasi jamaahnya. Sebab pihak maktab atau Daker (Daerah Kerja) biasanya sudah mengatur dan membuat jadwal bagi tiap kloter, kapan harus melontar jumrah.
Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukkan di jamarat dan di perjalanan menuju jamarat. Terutama di terowongan Mina.
Kalau terjadi penumpukkan di jamarat apalagi di terowongan Mina, tentu akan membahayakan keselamatan jamaah haji itu sendiri. Hal itu sebagaimana tragedi yang terjadi pada tahun 2004 lalu. Saat itu sebanyak 251 jamaah haji meninggal karena terinjak-injak saat melakukan lempar jumrah.
Salah satu faktor terjadinya tragedi Mina saat itu adalah karena ketidakdisiplinan sebagian jamaah haji. Mereka melakukan lempar jumrah di luar jadwal atau di luar waktu yang telah ditentukan.
Di Mina, jamaah haji melakukan mabit pada tanggal 10-13 Dzulhijjah. Itu jika jamaah haji mengambil nafar tsani. Tapi bagi jamaah haji yang mengambil nafar awwal, mereka berada di Mina hanya sampai tanggal 12 Dzulhijjah saja.
Apabila jamaah haji mengambil nafar tsani, maka mereka pergi ke jamarat untuk melempar tiga jumrah, yakni Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah selama tiga hari. Yaitu pada tanggal 11, tanggal 12, dan tanggal 13 Dzulhijjah.
Sedangkan jika jamaah haji mengambil nafar awwal, maka mereka pergi ke jamarat untuk melempar tiga jumrah selama dua hari saja, yakni tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah.
Mabit di Muzdalifah, Mabit di Mina, dan Melempar Jumrah adalah sebagian dari "Wajib Haji", bukan "Rukun Haji". Kalau pun tidak dilaksanakan, hal itu tidak akan membatalkan ibadah haji.
Hanya saja dalam hal ini jamaah haji yang tidak melaksanakan wajib haji harus membayar Dam (denda, sanksi). Jenis Dam yang harus dibayar ketika tidak melaksanakan "Wajib Haji" adalah Dam Isa'ah.