Al-Qur'an sebagai kalamullah, yang merupakan kitab suci umat Islam diturunkan kepada Rasulullah saw tidak sekaligus dalam satu waktu. Al-Qur'an diturunkan secara bertahap dan dalam jangka waktu yang cukup panjang, yakni 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Menurut pendapat dari jumhur (mayoritas) para ulama termasuk di Indonesia, ayat Al-Qur'an yang pertama kali diturunkan adalah Surat Al-'Alaq ayat 1-5. Peristiwa itu terjadi ketika Rasulullah saw sedang berkhalwat/ber-tahannuts (menyendiri/melakukan kontemplasi) di Gua Hira yang berada di atas Jabal Nur di Kota Mekkah.
Namun ada tiga pendapat lain yang berbeda. Ada sebagian ulama yang menyebut bahwa ayat Al-Qur'an yang pertama kali diturunkan adalah Surat Al-Mudatstsir.
Ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat Al-Qur'an yang pertama kali diturunkan adalah Surat Al-Fatihah. Selain itu ada juga sebagian ulama yang berpandangan bahwa ayat Al-Qur'an yang pertama kali diturunkan adalah bismillahirrahmanirrahim. Â
Adanya perbedaan pendapat mengenai ayat Al-Qur'an yang pertama kali diturunkan merupakan hal yang wajar, mengingat tidak ada keterangan yang pasti tentang ayat yang pertama kali diturunkan itu.
Al-Qur'an yang pertama kali diturunkan tersebut terjadi di malam lailatul qadar (malam kemuliaan) dan di malam lailatul mubarokah (malam yang diberkati). Hal itu diyakini oleh jumhur (mayoritas) para ulama terjadi pada tanggal 17 Ramadan tahun 610 M.
Di Indonesia sendiri, peristiwa diturunkannya Al-Qur'an untuk pertama kali biasa diperingati dan sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun sejak lama. Tradisi peringatan peristiwa diturunkannya Al-Qur'an itu biasa disebut sebagai Nuzulul Qur'an.
Kegiatan peringatan Nuzulul Qur'an biasa dirayakan di masjid-masjid atau tempat pengajian. Dimulai dari masjid negara sampai masjid yang ada di desa-desa atau bahkan masjid yang ada di kampung-kampung.
Dalam kegiatan tersebut pada umumnya diisi dengan ceramah-ceramah mengenai historis diturunkannya Al-Qur'an, hikmah diturunkannya Al-Qur'an, atau mengupas tentang ayat-ayat Al-Qur'an. Tentu saja Surat Al-'Alaq ayat 1-5 hampir selalu disampaikan dan menjadi bahan pembahasan.
Namun di beberapa daerah, ada semacam "ritual" khusus ketika melakukan peringatan Nuzulul Qur'an. Di Kesultanan Yogyakarta misalnya, ada tradisi yang disebut "selikuran".
Sesuai namanya selikuran (bilangan 21), peringatan Nuzulul Qur'an di sana tidak dirayakan pada tanggal 17 Ramadan, melainkan tanggal 21 Ramadan. Di malam selikuran, umat Islam dan seluruh lapisan masyarakat menyelenggarakan selamatan.
Di Lombok ada tradisi yang disebut maleman ketika menyelenggarakan peringatan Nuzulul Qur'an. Tradisi tersebut dimulai dengan menyalakan semacam alat penerang semacam obor yang dibuat secara tradisional dari buah jamplung. Alat penerang tersebut dinamakan Dilah Jojor.
Dilah Jojor tersebut dinyalakan setelah salat magrib. Kemudian mereka yang hadir melantunkan salawat bersama-sama.
Di Keraton Kasunanan Surakarta ada tradisi "seribu tumpeng" atau "Maleman Sriwedari" ketika melakukan peringatan Nuzulul Qur'an. Ini juga digelar bukan pada tanggal 17 Ramadan, melainkan tanggal 21 Ramadan.
Saat kegiatan berlangsung, tumpeng diarak dari keraton menuju Joglo Sriwedari Solo. Setelah warga mengarak tumpeng, mereka boleh memakai nasi tumpeng tersebut bersama-sama.
Kemudian di Aceh, ada tradisi yang disebut dengan "kuwah beulangong". Tradisi tersebut merupakan semacam kenduri untuk memperingati Nuzulul Qur'an. Tradisi "kuwah beulangong" disebut juga dengan "tammat daruh".
Tradisi tersebut disebut "kuwah beulangong" karena dalam kegiatan tersebut disajikan "kuwah beulangong" sebagai sajian atau menu utama. Selain itu disajikan pula aneka masakan dan berbagai jenis kue.
"Kuwah beulangong" adalah sejenis makanan berbahan daging sapi atau kambing yang dicampur dengan nangka muda dan bumbu yang khas. "Kuwah beulangong" dimasak di dalam kuali besar/belanga secara gotong royong di masjid tempat mengadakan peringatan Nuzulul Qur'an. Setelah itu "kuwah beulangong" Â dimakan bersama-sama.
Selanjutnya di Nagari Taram, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, ada tradisi "membantai" sewaktu memperingati Nuzulul Qur'an. Tradisi "membantai" ini memang terdengar menyeramkan, tapi hal itu bukan sebuah tindakan sadis terhadap manusia.
Tradisi "membantai" adalah tradisi menyembelih kambing. Kambing yang disembelih adalah kambing hasil sumbangan warga atau donatur. Kambing disembelih dan dimasak secara gotong royong, kemudian dimakan bersama-sama.
Itulah beberapa tradisi khas dari beberapa daerah berkaitan dengan tradisi peringatan Nuzulul Qur'an. Di beberapa daerah lain, mungkin ada juga tradisi khas yang berkaitan dengan tradisi peringatan Nuzulul Qur'an tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H