Beberapa hari yang lalu persis di awal bulan Pebruari, saya datang memenuhi  undangan pernikahan di suatu dusun yang agak jauh dari pusat kota (kecamatan). Tiba di sana ternyata prosesi upacara pernikahan belum beres dilangsungkan. Mungkin saya terlalu awal datang, atau memang prosesi upacara pernikahan molor dari waktu yang telah dijadwalkan.
Saya "terpaksa" duduk menunggu ikut menyaksikan prosesi upacara pernikahan. Sekira 30 menit kemudian prosesi upacara pernikahan selesai dilaksanakan. Para tamu undangan pun dipersilahkan untuk memberi selamat kepada pasangan pengantin, sekalian mencicipi hidangan.
Saya pun bangkit dari "kursi tunggu". Kemudian saya masuk barisan antrean, bergabung dengan para tamu undangan lainnya.
Antrean cukup padat dan mengular. Maklum para tamu undangan sudah cukup banyak yang hadir.
Sekira 5 menit saya mengantre. Antrean seperti tidak bergerak, macet. Mungkin antrean di depan kursi pengantin tidak diatur dengan baik.
Sebagian besar tamu undangan terlihat taat aturan dan menerapkan protokol  kesehatan dengan memakai masker dan menjaga jarak.  Namun  sebagian lagi terlihat kurang menaati protokol kesehatan. Mereka tidak memakai masker atau menjaga jarak sewaktu dalam antrean.
Tiba-tiba saya dikejutkan dengan suara batuk, tepat di belakang kepala saya. Saya tidak menoleh dan tidak berusaha mencari tahu siapa yang batuk tadi.
Namun saya merasa cukup cemas dan khawatir. Maklum lagi ramai pemberitaan merebaknya virus varian baru, omicron. Saya berpikir jangan-jangan orang yang batuk tadi terinfeksi omicron.
Dalam hati saya berharap mudah-mudahan orang yang batuk tadi mengenakan masker dan berjarak cukup aman.
Tidak lama kemudian saya kembali mendengar orang yang di belakang tadi batuk lagi. Bahkan saya mendengar nafasnya seperti tersengal sesak.
Saya semakin cemas dan khawatir. Tapi lagi-lagi saya berharap mudah-mudahan orang yang batuk tadi mengenakan masker dan berjarak cukup aman.
Belum lagi saya selesai menenangkan diri, saya kembali mendengar orang yang di belakang tadi batuk lagi. Bahkan berkali-kali. Hidungnya sekarang terdengar seperti mampat tersumbat.
Dengan perasaan cemas, jengkel, dan marah, saya pun penasaran dan menoleh ke belakang mencari tahu siapa yang batuk tadi. Betapa terkejut dan khawatirnya saya saat itu. Saya melihat orang yang batuk tadi ternyata tidak memakai masker sama sekali. Jaraknya pun cukup rapat dengan punggung saya, tidak lebih dari 30 centi meter.
Terus terang perasaan saya waktu itu tidak karuan, antara cemas, jengkel, dan marah. Sebab saya perkirakan droplets dari batuk orang tadi yang berkali-kali itu pasti banyak yang menempel di rambut dan punggung saya.
Saya coba menoleh kembali ke belakang sambil menunjukkan gestur tidak suka. Tapi orang yang di belakang itu seolah-olah tak mau melihat gestur ketidaksukaan saya.
Disertai perasaan cemas, jengkel, dan marah, saya pun memutuskan untuk keluar dari antrean. Kemudian saya duduk kembali di kursi  yang ada di sana.
Setelah duduk di kursi, saya bisa melihat dengan jelas siapa  orang yang batuk tadi. Seorang laki-laki muda. Saya kemudian tahu bahwa orang-orang yang mengantre di belakang saya itu adalah guru-guru sekolah dasar, temasuk orang yang batuk tadi.
Saya pun kemudian tahu bahwa orang yang  batuk tadi adalah seorang  guru honorer fresh graduate dari salah sebuah perguruan tinggi swasta lokal. Menurut informasi yang saya terima kemudian, orang yang batuk tadi mengajar mata pelajaran PJOK (pendidikan jasmani, olah  raga, dan kesehatan).
Saya merasa heran dan hanya geleng-geleng kepala. Saya tidak habis fikir, kok ada seorang guru olah raga seperti itu, sangat tidak taat protokol kesehatan. Padahal apa yang dia lakukan itu sangat membahayakan orang lain.
Sebagai seorang guru, batuk "di atas kepala" orang lain juga merupakan perilaku yang sangat tidak beretika dan tidak terpuji. Perilaku yang tidak patut dicontoh oleh siapa pun.
Apa yang saya sampaikan tersebut  bukan bermaksud untuk mendiskreditkan seorang guru. Saya hanya ingin memberikan sebuah gambaran, bahwa tidak semua orang mampu memiliki sikap waspada terhadap bahaya virus corona. Jangankan orang biasa, orang yang berpendidikan pun ternyata seperti itu. Menyedihkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H