Menyeruaknya kasus pelecehan seksual, atau lebih tepatnya kejahatan seksual yang dilakukan oleh salah seorang oknum ustadz bernama Herry Wirawan di salah satu lembaga pendidikan keagamaan di Bandung beberapa waktu yang lalu, telah membuat banyak orang merasa geram.
Bagaimana tidak, sebagai seorang ustadz Herry Wirawan dengan tega merudapaksa puluhan santrinya selama bertahun-tahun. Bahkan sebagian dari santri-santri yang dirudapaksa itu  hamil dan melahirkan anak.
Dengan berkedok sebagai seorang agamawan, Herry Wirawan dengan leluasa menyalahkgunakan statusnya itu untuk melancarkan kejahatan seksualnya. Para santri yang menjadi korban kejahatan seksual Herry Wirawan saat ini harus menanggung beban berat dan penderitaan  seumur hidup.
Oleh karena itu banyak pihak menginginkan Herry Wirawan untuk diganjar hukuman yang berat. Mulai dari hukuman kebiri, hukuman penjara yang lama, sampai hukuman mati.
Fenomena Herry Wirawan bisa jadi merupakan fenomena gunung es. Mungkin masih banyak lagi kasus serupa yang belum terkuak. Baik yang terjadi di lembaga pendidikan umum, lembaga pendidikan keagamaan, tempat kerja, bahkan di tempat ibadah.
Pelecehan seksual atau kejahatan seksual bisa terjadi di mana dan kapan saja. Pelaku dan korbannya pun bisa siapa saja. Baik laki-laki mau pun perempuan. Bisa orang dewasa, remaja, atau anak. Semua serba mungkin.
Namun biasanya, korban pelecehan seksual atau kejahatan seksual lebih banyak kaum perempuan dibanding kaum laki-laki. Korban pelecehan seksual atau kejahatan seksual juga lebih banyak remaja atau anak-anak dibanding dengan orang dewasa. Hal itu mungkin karena kaum perempuan dan kelompok remaja atau anak-anak dianggap "lebih mudah" diperdaya.
Dulu saya pernah punya pengalaman cukup menarik. Setelah lulus kuliah dulu, saya sempat mengajar di sebuah sekolah negeri, sekolah lanjutan tingkat pertama.
Di sana ada seorang rekan guru laki-laki. Sebut saja pak XY. Dia mengajar mata pelajaran olah raga dan menjadi pembina pramuka. Dia berusia hampir 40 tahun tapi belum menikah.
Dia menerapkan kedisiplinan cukup ketat kepada para siswa. Dia juga cukup "berwibawa" dan juga cukup "ditakuti" oleh para siswa.
Namun setelah beberapa saat, ada satu dua rekan guru lain menceritakan bahwa pak XY ini suka "mengundang" beberapa orang siswi tertentu untuk menginap di rumahnya. Biasanya pak XY "mengundang" beberapa orang siswi tertentu di akhir pekan.
Alasan pak XY "mengundang" beberapa orang siswi tertentu itu bermacam-macam. Kadang pak XY beralasan bahwa para siswi yang "diundang" itu diminta untuk membantunya memeriksa hasil ulangan.
Alasan pak XY ini memang cenderung mengada-ada. Masa siswa disuruh memeriksa hasil ulangan. Memeriksa hasil ulangan kan tugas guru, bukan tugas siswa.
Alasan lain pak XY "mengundang" beberapa orang siswi tertentu untuk menginap di rumahnya juga adalah agar mereka yang diundang itu terpantau olehnya sehingga tidak "pacaran sembarangan".
Alasan pak XY yang ini juga agak aneh. Masa hanya sebagian siswi saja yang dia pantau agar tidak "pacaran sembarangan" sampai di  luar jam sekolah, tapi siswi yang lain tidak. Mereka kan punya orang tua yang pasti akan lebih ketat memantau anak-anaknya.
Selain itu ada alasan lain pak XY "mengundang" beberapa orang siswi untuk menginap di rumahnya itu, yakni untuk sekedar ngaliwet. Yaitu masak nasi liwet bersama-sama dan kemudian setelah matang dimakan bersama-sama.
Alasan pak XY yang ini juga sama anehnya. Masa yang  diajak ngaliwet hanya siswi tertentu saja. Sementara siswi lainnya tidak. Pak XY mungkin tidak sadar bahwa perilakunya itu bisa dikategorikan diskriminatif.
Waktu pun terus berlalu. Banyak pihak mulai merasakan ada kejanggalan dengan pak XY. Banyak pihak mulai menaruh curiga kepada pak XY.
Desas desus dan "bisik-bisik tetangga" pun mulai terdengar di telinga. Ada indikasi pak XY telah melakukan pelecehan seksual kepada sebagian anak didiknya yang sering dia "undang" ke rumahnya.
Pihak sekolah pun bertindak cepat. Beberapa orang siswi yang pernah "diundang" oleh pak XY pun diajak  bicara dan diminta keterangan. Ternyata benar, bahwa sebagian dari mereka yang "diundang" itu telah mengalami pelecehan seksual dari pak XY.
Hanya saja  mereka bungkam tidak melaporkan apa yang mereka alami kepada orang tua mereka atau guru yang lain karena takut oleh pak XY. Selain itu mereka juga merasa malu telah mengalami pelecehan seksual dari pak XY.
Akhirnya pihak sekolah mengambil tindakan tegas. Pak XY pun kemudian dikeluarkan dari sekolah.
Nah kasus pak XY itu semakin lebih menguatkan, bahwa kaum wanita dan anak-anak memang seringkali menjadi objek pelecehan seksual. Sebab mereka dianggap "lebih mudah" diperdaya. Sama halnya seperti yang  dilakukan oleh Herry Wiirawan terhadap santri-santrinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI