Keberadaan pengurus RT atau RW di lingkungan tempat tinggal sangatlah penting dan dibutuhkan oleh warga masyarakat. Bisa dibayangkan bagaimana seandainya tidak ada orang yang mau menjadi ketua atau pengurus RT/RW.
Pemerintahan desa, kabupaten, provinsi, bahkan pusat, dalam hal tertentu sangat tergantung kepada para pengurus RT/RW yang berada di lapisan  bawah masyarakat. Misalnya mengenai akurasi data penduduk, data lembaga sosial atau keagamaan, atau hal lainnya yang membutuhkan "verifikasi" dari ketua RT/RW. Â
Menjadi ketua atau pengurus RT/RW itu sebuah pengabdian yang sungguh sangat mulia. Kendati tidak mendapatkan gaji tapi mereka dituntut untuk melayani warga masyarakat, baik siang maupun malam. Â Â
Beberapa pemerintah daerah saat ini memang ada yang mengalokasikan anggaran untuk insentif ketua RT/RW. Namun nominalnya tak seberapa jika dibandingkan dengan tugas yang harus dijalankan oleh ketua atau pengurus RT/RW.
Ketika ketua RT/RW sedang tidur nyenyak misalnya, tak jarang ada warga datang malam-malam mengetuk pintu untuk minta surat pengantar atau tanda tangan. Warga yang datang bukan tidak tahu etika, tapi mungkin karena mereka "tidak punya waktu lagi" sehingga harus datang di malam hari. Â Â
Sialnya, ketua RT/RW juga tak jarang jadi sasaran makian warga. Ketika ada warga yang  tidak mendapat bansos (bantuan sosial) dari pemerintah pusat misalnya, ketua dan pengurus RT/RW lainnya sering menjadi sasaran caci maki warga. Ketua atau pengurus RT/RW lainnya sering dituding sebagai pihak yang pilih kasih dan tidak adil.
Padahal tidak semua orang bisa mendapatkan bansos. Sebab bansos bukanlah saweran dari pemerintah kepada rakyatnya. Hanya mereka yang memenuhi persyaratan tertentu yang bisa mendapatkan bansos.
Jika kebetulan ada kerabat RT/RW yang mendapat bansos karena memang mereka memenuhi persyaratan dan layak menerimanya, ada saja warga yang melakukan protes habis-habisan seraya menuding ketua RT/RW melakukan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme).
Sewaktu ada ewuh pakewuh di lingkungan ke-RT an atau ke-RW an, ketua RT/RW seringkali jadi pihak yang cukup direpotkan. Ketua RT/RW harus terlibat dan tampil paling depan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang  terjadi.
Ada kasus tetangga yang cekcok, ketua RT/RW harus bisa menengahi. Ada kasus asusila atau kriminal, ketua RT/RW harus bisa menyelesaikan. Begitu pula dengan kasus-kasus lainnya, ketua RT/RW dituntut untuk menjadi juru damai dan memberikan solusi.Â
Dalam berbagai kegiatan yang ada di di lingkungan ke-RT an atau ke-RW an baik kegiatan keagamaan atau sosial, ketua RT/RW dituntut harus jadi pelopor dan hadir dalam kegiatan itu. Kalau tidak, akan dicap sebagai ketua RT/RW yang tidak memiliki kepedulian atau tidak peka.
Padahal kalau dipikir-pikir, apa haknya warga masyarakat memaki-maki atau memarahi ketua atau pengurus RT/RW ketika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan atau tidak mereka sepakati. Sebab warga masyarakat tidak memberi gaji atas pekerjaan yang dilakukan ketua atau pengurus RT/RW.
Para ketua atau pengurus RT/RW mau mengambil posisi itu semata-mata untuk kepentingan warga masyarakat sendiri. Dalam hal ini masih untung ada orang yang mau menjadi ketua atau pengurus RT/RW. Kalau tidak, bisa dibayangkan bagaimana semrawutnya kehidupan di  tengah-tengah masyarakat.
Tugas menjadi ketua atau pengurus RT/RW sesungguhnya cukup berat. Dalam istilah Sunda, "mimiti sajadah tepi ka haram jadah". Maknanya, tugas RT/RW itu mulai dari hal-hal yang baik sampai hal-hal buruk.
Jadi, jangan pernah menganggap atau menyepelekan peran seorang ketua atau pengurus RT/RW. Berempati lah sedikit. Kalau perlu bisa mencoba menjadi ketua atau pengurus RT/RW di lingkungan sendiri. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H