Pemilu (Pemilihan Umum) Presiden dan Legislatif tahun 2024 masih cukup jauh, namun aromanya sudah mulai tercium saat ini. Hal itu seiring dengan bermunculannya baliho-baliho yang menampilkan wajah beberapa ketua umum partai politik dan elit partai politik lainnya.
Beberapa ketua umum partai politik yang wajahnya sudah banyak terpampang di baliho-baliho yang bertebaran dan mudah dijumpai sebut saja ketua umum Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto.
Kemudian ada ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa(PKB) Muhaimin Iskandar dan ketua umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Selain itu ada juga ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bidang Politik dan Keamanan, sekaligus Ketua DPR RI Puan Maharani.
Baliho-baliho yang menampilkan wajah nama terakhir ini bahkan terbilang cukup banyak dan masif. Bisa jadi jumlahnya mengalahkan baliho para ketua umum partai politik yang telah disebutkan.
Di sebagian baliho-baliho itu jelas tercantum angka "2024". Hal itu jelas sebuah pesan verbal bahwa proyeksi mereka adalah Pemilu 2024.
Oleh karena itu agak menggelikan dan absurd jika ada elit partai atau politisi yang mengatakan bahwa baliho-baliho itu tidak terkait dengan Pemilu 2024. Tidak masuk akal pula jika mereka mau menghambur-hamburkan uang begitu saja dengan memasang baliho jika tidak ada yang ingin mereka maksudkan.   Â
Ini baru tahun 2021, masih tiga tahun lagi untuk sampai di tahun 2024. Akan tetapi baliho-baliho yang menampikan wajah-wajah politisi sudah semarak bertebaran di mana-mana. Masih jauh saja sudah ramai, apalagi nanti jika sudah dekat pemilu.
Tahun depan dan selanjutnya, dengan demikian hampir bisa dipastikan ruang-ruang  kosong atau kota-kota akan "dihiasi" lebih banyak lagi baliho politisi. Tidak hanya menampilkan wajah Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, AHY, atau Puan Maharani, tapi juga akan ada baliho-baliho yang menampilkan wajah tokoh lain.
Nanti mungkin akan muncul baliho Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Tri Rismaharini atau Khofifah Indar Parawansa. Bisa juga muncul baliho Gatot Nurmantyo, Surya Paloh, Erick Tohir, atau bahkan tidak menutup kemungkinan baliho Habib Rizieq atau siapa pun.
Belum lagi baliho-baliho yang menampilkan wajah politisi yang menjadi caleg (calon anggota legislatif), mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, sampai pusat. Â Jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Â Satu partai saja jumlahnya bisa ribuan orang.
Maraknya baliho-baliho politisi menjelang pemilu, di satu sisi menambah meriahnya suasana kota. Namun di sisi lain baliho-baliho politisi juga seringkali mengganggu, merusak pemandangan, dan bahkan membahayakan.
Tak sedikit baliho-baliho politisi dipasang sembarangan, tidak pada tempatnya. Seperti ada baliho yang menghalangi papan nama kantor pelayanan umum, sehingga mereka yang berkepentingan dengan kantor itu kesusahan mencarinya.
Ada baliho dipasang di pohon-pohon di pinggir jalan dengan cara dipaku atau diikat dengan tambang/tali ke dahan pohon itu. Hal itu jelas merusak lingkungan.
Ada pula baliho yang membahayakan para pengendara karena baliho itu dipasang terlalu menjorok ke jalan atau baliho itu menutup rambu-rambu lalu lintas. Misalnya menutup tanda "tidak boleh berhenti", tanda "hati-hati tikungan tajam", tanda "jalan licin", dan sebagainya.
Aturan pemasangan baliho atau alat kampanye biasanya sudah jelas ada dalam peraturan KPU (Komisi Pemllihan Umum). Namun pengawasan terhadap implementasi aturan itu yang biasanya masih kurang. Â Â
Termasuk dalam hal penertiban dan pemberian sangsi kepada para  pemasang baliho sembarangan, masih ada semacam pilih kasih atau "pandang bulu". Sebagian ditertibkan atau disangsi, tapi sebagian lainnya tidak.
Pemilu alias pemilihan umum yang penuh kemeriahan memang tidak salah disebut sebagai "pesta demokrasi". Namun sesungguhnya yang berpesta bukanlah rakyat tapi para elit politik sendiri. Mereka yang wajah-wajahnya terpasang di banyak baliho itulah yang paling berkepentingan dengan "pesta demokrasi". Â Â
Rakyat sesungguhnya tidak terlalu berkepentingan dan tidak terlalu peduli siapa yang akan menjadi pemimpin atau wakilnya. Siapa pun asal mampu membuat negeri ini aman, tenteram, adil dan sejahtera, serta bisa menjadi sarana penyalur aspirasi. Hal itu bagi rakyat sudah cukup.
Setelah "pesta demokrasi" usai, urusan rakyat pun selesai. Tak ada pesta pora bagi mereka.
Pesta pora adalah milik para elit partai politik. Setelah "pesta demokrasi" usai, mereka, Â para elit partai politik yang berhasil memenangkan kontestasi itulah yang akan berpesta pora.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H