Berdasarkan hasil sidang Itsbat hari Selasa (11/05), yang dipimpin oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas hari raya Lebaran atau hari raya Idul Fitri tahun ini, Â jatuh pada hari Kamis, 13 Mei 2021. Walau pun ada juga beberapa kelompok Islam yang menetapkan hari raya Lebaran berbeda dengan keputusan pemerintah.
Kelompok Tarekat Naqsabandiyah di Sumatera Barat misalnya. Mereka telah menetapkan hari  raya Lebaran jatuh pada hari Rabu, tanggal 12 Mei 2021.
Adanya perbedaan seperti itu tentu bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan, apalagi dipertentangkan. Selama bisa dipertanggungjawabkan, perbedaan itu tetap harus kita hormati.
Lebaran tahun ini merupakan tahun kedua dalam situasi pandemi covid-19 (virus corona). Sampai saat ini virus corona masih ada dan  masih menjadi ancaman bagi siapa saja. Baik  mereka yang ada di perkotaan  maupun mereka yang  ada di pedesaan.
Oleh karena itu dalam merayakan Lebaran dalam situasi pandemi ini harus senantiasa mematuhi protokol kesehatan dengan menerapkan 5 M. Yaitu memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak, Â menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas.
Artinya dalam merayakan Lebaran tidak dilakukan seperti dalam situasi normal sebelum adanya pandemi. Hal itu demi mendukung pemerintah mengatasi pandemi supaya cepat berlalu.
Seperti tidak melakukan tradisi saling bersalaman, apalagi saling  berpelukan di hari Lebaran. Sebab kontak fisik dengan orang lain dalam sitausi saat ini berpotensi makin meningkatnya kasus positif covid-19.
Bersalaman di hari Lebaran adalah sebuah simbol saling memaafkan satu sama lain. Dengan saling bersalaman masing-masing pihak saling memberi sekaligus meminta maaf satu sama lain.
Bersalaman hanya sebuah simbol, Esensinya adalah saling memaafkan satu sama lain. Berarti kalau pun tidak saling bersalaman tapi hati masing-masing sudah saling memaafkan, itu sudah cukup.
Dengan kata lain saling memaafkan bukan soal saling bertemunya dua telapak tangan. Saling memaafkan adalah soal hati.
Sesungguhnya ada hal yang lebih tinggi lagi levelnya dari memberi maaf kepada orang lain setelah orang itu meminta maaf. Hal yang levelnya lebih tinggi itu adalah memberi maaf  kepada orang lain sekali pun orang itu tidak pernah meminta maaf kepadanya.
Orang yang bisa memberi maaf kepada orang lain sekali pun orang itu tidak pernah meminta maaf merupakan ciri bahwa yang bersangkutan memiliki sifat dan sikap yang terpuji. Â Sebab tidak semua orang mampu melakukannya.
Dalam hal ini ada sebuah kisah di zaman Rasulullah SAW. yang bisa dijadikan rujukan bahwa memberi maaf kepada orang lain tanpa orang lain meminta maaf terlebih dahulu merupakan  hal yang luar biasa. Hal ini juga menjadi rujukan bahwa meminta atau memberi maaf tidak harus dengan saling  bersalaman.
Dikisahkan suatu hari Rasulullah SAW. sehabis sholat beliau berkata kepada para sahabat bahwa sebentar lagi akan datang seseorang yang dirindukan surga. Para sahabat  pun penasaran siapa orang yang dimaksud.
Para sahabat Rasulullah SAW. menunggu siapa yang akan datang. Tak lama kemudian datang seseorang melakukan sholat dan setelah selesai berlalu begitu saja. Orang itu tidak seperti pada umumnya, setelah sholat berdzikir dan berdoa terlebih dahulu.
Esok harinya Rasulullah SAW. mengatakan hal yang sama dan kejadian pun sama. Setelah Rasulullah SAW. berkata ada orang datang melakukan sholat. Orang yang datang itu adalah orang yang sama, orang yang datang sebelumnya.
Kejadian itu berulang sampai tiga kali. Sampai-sampai salah seorang sahabat Rasulullah SAW. yang bernama Abdullah Bin Amr merasa penasaran. Amalan istimewa apa yang telah dilakukan orang  itu sehingga Rasulullah SAW. menyebut orang itu sebagai orang yang dirindukan surga.
Abdullah Bin Amr dan para sahabat Rasulullah SAW. melihat amalan orang itu biasa-biasa saja. Amalan orang itu tidak istimewa menurut pandangan Abdullah Bin Amr dan para sahabat Rasulullah SAW. yang lain.
Saking penasarannya, sampai-sampai Abdullah Bin Amr ingin mencari tahu lebih jauh tentang aktvitas keseharian yang dilakukan oleh orang yang disebut Rasulullah SAW. sebagai dirindukan surga itu. Abdullah bin Amr pun meminta izin untuk mengnap di rumah orang itu.
Abdullah bin Amr menginap di rumah orang itu selama tiga hari. Â Namun selama tiga hari itu Abdullah bin Amr tidak menemukan amalan istimewa yang dilakukan oleh orang tersebut. Dalam pandangan Abdullah bin Amr, shalat dan badah orang itu biasa-biasa saja, tidak istimewa.
Akhirnya Abdullah bin Amr bertanya langsung kepada orang itu mengenai amalan istimewa apa yang dilakukannya. Orang itu menjawab  bahwa sebelum tidur (setiap malam) ia memaafkan kesalahan semua orang.
Kisah tersebut mengandung pesan yang sangat jelas bagi kita bahwa ternyata memberikan maaf kepada orang lain sekali pun orang lain itu tidak meminta maaf, merupakan amalan yang istimewa. Selain itu  pesan yang bisa diambil adalah memberi maaf tidak harus bertemu dua telapak tangan alias bersalaman terlebih dahulu.
Dalam hal ini kisah tersebut harusnya menjadi inspirasi pula bagi seluruh umat Islam, bahwa tradisi saling bersalaman di hari Lebaran bukan sebuah esensi dari saling memaafkan. Terlebih masih dalam situasi pandemi, tradisi saling bersalaman cukup dilakukan dengan isyarat.
Hari raya Lebaran atau hari raya Idul Fitri memang momen yang tepat untuk saling memaafkan. Akan tetapi saling memaafkan tidak hanya dilakukan ketika hari raya Lebaran saja. Saling memaafkan atau memberikan maaf bahkan sebaiknya dilakukan di setiap saat di luar hari raya Lebaran. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI